Seorang pengguna narkoba yang dipenjara, sebut saja namanya Bitoy Paras, tampak bersemangat ketika menjelaskan dukungannya terhadap perang mematikan yang dilancarkan Presiden Filipina Rodrigo Duterte terhadap narkoba. ”Duterte berbicara keras, mengatakan akan menyingkirkan para pencandu .... Saya senang dia melakukan itu,” katanya kepada AFP di penjara utama Manila yang penuh dengan para tersangka narkoba. ”Tetapi, saya merasa tidak nyaman dengan pembunuhan itu,” kata pengemudi rickshaw berusia 22 tahun tersebut.
Dukungan Paras yang tampak paradoksal itu menggemakan pandangan jutaan warga Filipina. Mereka umumnya berpendapat perang narkoba yang dilakukan Duterte perlu, tetapi tidak untuk ribuan pembunuhan yang menyertainya.
Tetapi, saya merasa tidak nyaman dengan pembunuhan itu.
Perang narkoba Duterte telah membantu membawanya ke tampuk kekuasaan pada pertengahan 2016. Ia berjanji membersihkan masyarakat yang dipenuhi kubangan narkoba dengan cara apa pun yang diperlukan. Sejak itu, polisi mengatakan telah membunuh 4.854 orang yang diduga pengguna narkoba atau bandar, dengan alasan membela diri. Kelompok-kelompok hak asasi memperkirakan jumlah korban sebenarnya adalah setidaknya tiga kali lipat lebih banyak dari jumlah itu.
Menurut survei terbaru oleh lembaga SWS, perang narkoba masih mendapat dukungan 78 persen dari warga Filipina. Para pendukungnya secara teratur menunjukkan statistik ini sebagai bukti bahwa tindakan keras yang dikecam secara internasional adalah kehendak rakyat. Akan tetapi, jajak-jajak pendapat yang sama menunjukkan sebanyak 96 persen mengatakan, para tersangka harus ditangkap dalam kondisi hidup-hidup.
Para ahli mengatakan, Duterte telah memanfaatkan kemarahan meluas warga terhadap kekacauan dan kejahatan di sebuah negara berkembang dengan jutaan orang miskin dan masa lalu politik yang bergejolak. ”Hal ini tidak berarti mereka menutup mata (untuk pembunuhan), tetapi mereka benar-benar khawatir tentang masalah narkoba,” kata Steven Rood dari lembaga survei SWS.
Bagi keluarga pemilih Duterte, Katherine Bautista, keyakinan semacam itu tiba-tiba berubah menjadi tragedi tahun lalu. Bautista mendukung tindakan keras Duterte sampai anak tirinya, John Jezreel David, ditembak mati dalam sebuah aksi yang dikatakan polisi sebagai operasi antinarkoba meski ketika dia sudah bersikeras bahwa putranya bukan pengguna narkoba. ”Saya bahkan dulu mengatakan, air mata keluarga (dari mereka yang tewas) tampak palsu. Namun, ketika hal itu terjadi pada kami, saya merasakan rasa sakit yang mereka rasakan,” kata Bautista kepada AFP.
Ungkapan seperti itu menjadi jamak di Filipina. Mereka mendukung tindakan negara, tapi pada saat bersamaan sangat takut orang-orang tercinta mereka terbunuh hanya dengan berada di tempat yang salah dan tidak harus karena terlibat dalam narkoba.
”Orang-orang merasa sangat takut bahwa keluarga atau kerabat mereka mungkin ditempatkan dalam situasi di mana mereka bisa menjadi sasaran,” kata Randy David, sosiolog dan kolumnis surat kabar di Manila. ”Namun, bagaimana mungkin Anda tidak setuju atau tidak mendukung kampanye untuk menyingkirkan negara ini dari obat-obatan terlarang?”
Protes keras diadakan di Filipina tahun lalu menyusul kematian seorang remaja dalam kasus narkoba. Pada saat yang sama, kemarahan atas dugaan pelanggaran oleh pihak kepolisian telah mendorong Duterte untuk dua kali memindahkan polisi dari garis depan kampanye. Akan tetapi, mereka hanya dipindah dan sang presiden berjanji mengampuni para perwira yang dihukum karena pembunuhan.
Pengadilan Kriminal Internasional telah meluncurkan pemeriksaan awal terhadap pembunuhan, sementara kelompok-kelompok hak asasi manusia mengatakan Duterte mungkin melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan. Para analis menilai, Duterte menggunakan pesan yang jelas dan berulang dalam upaya mendapatkan dukungan bagi apa yang dilakukannya.
”Cara yang disampaikan adalah bahwa ada ancaman yang sangat besar. Jadi, yang pertama, ada produksi ketakutan besar,” kata profesor psikologi Ateneo de Manila University, Cristina Montiel. ”Kemudian (datang) pesan penyelamatan bahwa program ini atau pemimpin ini ada di sini untuk menyelamatkan Anda. Itulah bagaimana dukungan rakyat dihasilkan.”
Dilihat dari jumlah korban dalam perang melawan narkoba, korban tewas kampanye antinarkoba di Filipina melebihi catatan Amnesti Internasional tentang korban tewas akibat sembilan tahun masa pemerintahan darurat militer oleh diktator Ferdinand Marcos. Namun, Duterte bergeming. Ia mengatakan, mereka yang dibunuh adalah yang dicurigai terlibat dalam aktivitas narkoba. ”Apa dosa saya? Apakah saya mencuri uang? Bahkan hanya satu peso? Apakah saya mengadili seseorang yang saya kirim ke penjara? Satu-satunya dosa saya adalah pembunuhan di luar hukum,” katanya. (AFP)