Persoalan Sertifikat Ganda Harus Segera Diselesaikan
JAKARTA, KOMPAS -- Terbitnya sertifikat ganda dari Badan Pertanahan Nasional menjadi salah satu penghambat dalam pembebasan lahan untuk proyek pembangun Tol Serpong - Cinere. Badan Pertanahan Nasional diharapkan segera menyelesaikan persoalan ini.
Hal itu dikatakan oleh Pengamat Tata Kota Universitas Trisakti, Yayat Supriatna. Berdasarkan temuan di lapangan, lahan seluas 1865 meter persegi yang sekarang menjadi Perumahan Villa Asean Pondok Cabe memiliki dua sertifikat berbeda.
Sertifikat pertama atas nama Harry Lewianto dikeluarkan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Tangerang Selatan pada tahun 1996, kemudian sertifikat kedua dikeluarkan BPN Tangerang Selatan pada tahun 2007 dan 2010 atas nama warga Perumahan Villa Asean. Hal ini kini menjadi penghambat dalam proses pemberian ganti rugi pembebasan lahan.
Menurut Yayat, persoalan sertifikat ganda seperti ini seharusnya tidak terjadi. "Untuk menerbitkan sertifikat itu kan langkahnya panjang, ada proses verifikasinya juga. Kalau langkah-langkahnya benar seharusnya tidak mungkin ada satu lahan dengan dua sertifikat berbeda," jelas Yayat Selasa (16/10/2018).
Adanya sertifikat ganda menurut Yayat patut dicurigai. "Kalau misalnya tahu ada dua sertifikat kenapa tidak yang satunya dibatalkan saja? Kenapa malah membiarkan masyarakat berkonflik karena ada dua sertifikat ? Kesalahan administrasi dari negara seperti ini berimplikasi terhadap kerugian masyarakat," tambah Yayat. Ia mendesak Badan Pertanahan Nasional (BPN) Tangerang Selatan untuk bertanggung jawab.
Kalau misalnya tahu ada dua sertifikat kenapa tidak yang satunya dibatalkan saja? Kenapa malah membiarkan masyarakat berkonflik karena ada dua sertifikat ? Kesalahan administrasi dari negara seperti ini berimplikasi terhadap kerugian masyarakat
Taufik (54) warga perumahan Villa Asean meminta BPN untuk segera memutuskan langkah selanjutnya. Pasalnya Taufik dan warga lain sudah tidak ingin tinggal lebih lama lagi di tempat itu. "Bising dan berdebu. Tidak nyaman untuk istirahat," ucap Taufik.
Kepala Seksi Penanganan Masalah dan Pengendalian Pertanahan BPN Tangerang Selatan Kadi Mulyono saat dihubungi Kompas Senin (15/10/2018) menjelaskan bahwa perubahan sistem pemetaan tanah menjadi penyebab terbitnya sertifikat ganda. BPN mengatakan telah memberi kesempatan dua pihak pemilik untuk mediasi hingga empat kali. Dalam mediasi tersebut salah satu pihak tidak pernah hadir sehingga titik temu belum bisa dicapai.
"Dulu janji BPN kalau tiga kali mediasi pihak sana (pihak Harry Lewianto) tidak datang artinya kami menang. Kalau kami menang yang berhak atas ganti rugi kami, tapi mediasi sudah sampai 4 kali belum ada juga keputusan," kata Taufik geram.
Taufik dan warga lain kini telah mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Tangerang agar pihak BPN dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat segera membayarkan ganti rugi. "Tanggal 22 Oktober mendatang kami akan menghadiri sidang pertama, semoga segera ada titik terang," tambah dia.
Meskipun belum ada pembayaran ganti rugi pekerjaan proyek tetap berjalan. Selama 24 jam alat-alat berat dan pekerja proyek bekerja tiada henti. Hal itu membuat warga, terutama anak-anak dan lansia di perumahan Villa Asean terganggu.
Libatkan masyarakat
Masyarakat sebagai pihak yang terdampak langsung seharusnya dilibatkan dalam setiap pengambilan keputusan pembangunan. "Paling tidak diberi penyuluhan, diminta mengecek status kepemilikan tanah, diajak berdiskusi terkait ganti rugi, diberi ganti rugi yang layak, seperti itu," jelas Yayat.
Menurut Yayat membebaskan lahan memang bukan suatu perkara yang mudah. Lebih dari nilai ekonomis, nilai historis dan budaya suatu lahan bisa jadi menjadi pertimbangan masyarakat untuk berat hati melepaskan tanahnya. Yayat menyarankan pemerintah mengajak masyarakt untuk terlibat sehingga mereka juga bisa merasa memiliki.
"Sebenarnya masyarakat itu memiliki rasa kawatir setelah melepaskan tanahnya. Mereka takut menjadi miskin dan kehilangan setelah menjual tanahnya. Mereka membutuhkan jaminan, sandaran ekonomi lebih tepatnya," imbuh dia.
Cara yang bisa dipilih pemerintah menurut Yayat adalah dengan memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk menjadi pemegang saham proyek. "Jika itu terlalu jauh, berikan mereka rumah pengganti, tambahan aset atau lapangan pekerjaan. Libatkan mereka atau keluarga mereka sebagai pekerja setelah proyek itu jadi misalnya," pungkas Yayat.
Permasalahan terkait pembebasan lahan dalam proyek pembangunan Jakarta Outer Ring Road(JORR) II memang masih menjadi penghambat pengerjaan konstruksi. Berdasarkan data yang dihimpun dari Badan Pengatur Jalan Tol Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, dari 12 ruas jalan tol yang dikerjakan belum ada satupun yang mencapai angka 80 persen untuk progres konstruksi.
Proyek tol Bekasi - Cawang - Kampung Melayu yang ditargetkan beroperasi pada tahun 2019 mencapai progres paling cepat yaitu 78.14 persen. Sementara proyek ruas tol Jakarta - Cikampek II Sisi Selatan yang ditargetkan beroperasi pada 2020 belum ada progres konstruksi sama sekali. (KRISTI DWI UTAMI)