JAKARTA, KOMPAS—Data stok perikanan yang menggunakan pendekatan jenis-jenis ikan umum tidak bisa menjadi pijakan akurat dalam pengambilan kebijakan pengelolaan di perairan tersebut. Kementerian Kelautan dan Perikanan didorong memfasilitasi pendetailan stok jenis ikan pada level spesies, minimal pada ikan-ikan target penangkapan.
Stok ikan terakhir, menurut Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), mencapai 12,5 juta ton. Angka ini jauh meningkat dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya yang hanya 7,3 juta dan 9,3 juta ton. Data stok ikan ini hanya dibagi menjadi ikan pelagis besar, ikan pelagis kecil, ikan demersal, ikan karang, udang penaeid, lobster, kepiting, rajungan, dan cumi-cumi. Penggolongan ini terlalu umum sehingga sulit menjadi pijakan bagi pengelolaan wilayah penangkapan ataupun wilayah konservasi.
”Untuk pengelolaan harus ada target spesies apa. Setiap ikan punya karakter beda-beda,” kata Abdul Halim, pakar perikanan yang juga kandidat doktor perikanan Institut Pertanian Bogor, Selasa (16/10/2018), di Jakarta dalam Lokakarya untuk Wartawan Perikanan Berkelanjutan dan Konservasi Perairan di Indonesia yang diselenggarakan Coral Triangle Center (CTC).
Untuk pengelolaan harus ada target spesies apa. Setiap ikan punya karakter beda-beda.
Selain Abdul Halim, lokakarya ini juga menghadirkan Kepala Pusat Riset Perikanan Badan Riset dan Sumber Daya Manusia KKP Toni Ruchimat, Direktur Eksekutif CTC Rili Djohani, serta Senior Program Manager CTC Hesti Widodo. Lokakarya ini untuk membekali wartawan terkait penyelenggaraan Our Ocean Conference pada 29-30 Oktober 2018 di Bali.
Toni mengatakan, peningkatan stok ikan (maximum sustainable yield) merupakan dampak positif dari langkah pemerintah memerangi perikanan ilegal dan moratorium kapal. Peningkatan stok ikan juga berasal dari pendataan yang semakin baik. Selain itu, kepatuhan pendaratan ikan ke pusat pendaratan ikan juga meningkat.
Menurut Abdul Halim, data stok ikan tersebut merupakan data tersedia saat ini yang paling optimum. Ia merekomendasikan agar data stok ikan yang bersifat ”gelondongan” dibuat lebih detail pada jenis spesies. Pendataan ini bisa dilakukan nelayan ataupun petugas tempat pelelangan ikan.
Metode baru
Abdul Halim mengakui pendataan detail membutuhkan biaya lebih tinggi. Ia menyarankan metode baru yang mudah dan murah untuk diterapkan, yaitu length-based spawning potential ratio (LBSPR) atau rasio potensial ukuran ikan saat memijah.
Pengelola wilayah bisa memilih jenis ikan tertentu, khususnya ikan yang menjadi target utama nelayan setempat, sebagai patokan pengukuran. Ia mencontohkan ikan kerapu sunu (Plectropmus maculatus) yang banyak diburu karena memiliki nilai ekonomi tinggi.
Dengan menggunakan sistem penghitungan otomatis secara daring, pendata tinggal memasukkan rata-rata panjang ikan yang tertangkap, misalnya di tempat pelelangan ikan. Data lain yang diperlukan adalah panjang ikan saat dewasa/mampu bereproduksi, angka kematian ikan alami, dan indikator-indikator lain yang bisa didapatkan dari referensi.
” Idealnya data ini harus dilakukan di Indonesia yang sangat kaya jenis ikan karena data referensi dari luar bisa berbeda. Namun, setidaknya data itu bisa kita gunakan sambil melengkapi data kita sendiri,” kata Abdul Halim.
Idealnya data ini harus dilakukan di Indonesia yang sangat kaya jenis ikan karena data referensi dari luar bisa berbeda. Namun, setidaknya data itu bisa kita gunakan sambil melengkapi data kita sendiri.
Ia mengatakan, angka LBSPR di bawah 20 menunjukkan tanda berbahaya bagi keberlangsungan ikan tersebut karena tertangkap sebelum memiliki kesempatan bereproduksi. Artinya, ikan-ikan yang tertangkap belum sempat beregenerasi sehingga mengancam kelestarian ikan dan ekosistem perairan setempat.
Hal ini bisa menjadi acuan bagi pengelola kawasan atau komunitas masyarakat untuk mengambil kebijakan dan kesepakatan yang tepat, misalnya menentukan kuota penangkapan, ukuran ikan yang ditangkap, serta alat penangkapan.