Seluruh kalangan harus bergerak untuk menyegarkan kembali kesadaran pendidikan yang menjunjung tinggi hak asasi manusia, demokratis, bernilai keagamaan, dan kemajemukan.
JAKARTA, KOMPAS — Guru sebagai pendidik generasi penerus bangsa menghadapi masalah serius, yaitu kecenderungan berpikir intoleran terhadap perbedaan yang ada di masyarakat. Dibutuhkan kebijakan publik serta gerakan masyarakat yang memungkinkan terjadinya pertemuan antara anggota masyarakat yang berlatar belakang berbeda-beda agar guru nyaman dan menghargai kemajemukan.
Hal tersebut terungkap melalui survei Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatulah berjudul "Pelita yang Meredup: Potret Keberagaman Guru Indonesia" yang hasilnya diluncurkan di Jakarta, Selasa (16/10/2018). Survei ini merupakan kelanjutan dari survei tahun 2017 yang berjudul "Api dalam Sekam" yang mengukur tingkat intoleransi di kalangan siswa pendidikan menengah.
"Sebanyak 2.237 guru muslim dari 34 provinsi ikut secara sukarela dalam survei ini. Mereka mengajar berbagai mata pelajaran di sekolah TK hingga SMA dan SMK, juga Raudhatul Adfal hingga Madrasah Aliyah. Jenis sekolahnya mencakup negeri dan swasta," tutur Direktur Eksekutif PPIM UIN Syarif Hidayatulah, Saiful Umam.
Ia menjabarkan, tingkat pemikiran intoleran dimiliki oleh 53,06 persen guru. Intoleran dalam survei ini didefinisikan antara lain tidak mau jika ada tetangga yang berbeda agama mengadakan kegiatan rohani di lingkungan sekitar, tidak setuju dengan pendirian sekolah maupun rumah ibadah berbasis agama lain, dan memiliki atasan seperti kepala sekolah ataupun pengawas yang berbeda agama.
Jumlah guru yang memiliki pemikiran toleran adalah 32,99 persen. Adapun guru yang sangat toleran jumlahnya hanya 3,93 persen.
Bahkan diteliti lebih mendalam, 29 persen guru yang intoleran ini setuju dengan pendirian negara Islam dan 27 persen guru bersedia untuk menganjurkan orang lain agar pergi berperang mendirikan negara Islam.
"Lebih jauh, ada 13,30 persen guru yang menyetujui menyerang polisi karena dianggap musuh agama," papar Saiful.
Homogen
Saiful menjelaskan, penyebab intoleransi terbagi menjadi dua. Pertama, guru tinggal di masyarakat yang homogen. Ia lahir, tinggal, dan bekerja di komunitas yang sama seperti dia. Hal ini diperlihatkan dalam survei bahwa guru-guru di madrasah dan sekolah swasta memiliki kecenderungan intoleransi lebih tinggi daripada guru-guru di sekolah negeri.
Kedua, tinggal di kota besar yang majemuk tidak menjamin guru bergaul dengan orang-orang yang berbeda dengannya. "Penggunaan media sosial semakin menyempitkan persepsi karena guru hanya bergaul dengan segelintir orang yang memiliki pemikiran sama dengannya," tutur Saiful.
Di samping itu, survei menunjukkan bahwa guru-guru TK dan Raudhatul Athfal (RA) juga cenderung lebih intoleran daripada tingkat sekolah yang lebih tinggi. Dugaannya adalah karena TK dan RA belum masuk ke dalam skema wajib belajar pemerintah dan mengikuti pendidikan ini masih bersifat pilihan, sehingga belum ada kurikulum baku mengenai pendidikan anak usia dini.
Guru Besar Antropologi UIN Syarif Hidayatulah, Jamhari Makruf berpendapat, selama ini proses pengawasan sekolah bersifat pada unsur administratif seperti ketersediaan sarana prasarana dan rencana pembelajaran. Belum ada pengawasan dalam konteks kualitatif, yaitu cara mengajar, materi yang diajar, dan contoh yang dipakai untuk menjelaskan materi tersebut.
"Tingkat paling minimal ialah kesadaran kepala sekolah untuk memastikan paham ekstrem tidak masuk ke lingkungan sekolah. Keaktifan komite sekolah juga penting guna memastikan sekolah membuka wawasan kebangsaan," ucapnya.
Temani guru
Ketua Yayasan Cahaya Guru Henny Supolo menekankan, hendaknya survei ini jangan sampai memojokkan guru. "Guru memiliki beban tanggung jawab yang besar. Masyarakat jangan menuntut, tetapi sekaligus membiarkan guru berjalan sendiri. Mereka harus ditemani dan terus diajak berdialog karena sejatinya tripusat pendidikan adalah guru, orangtua siswa, dan masyarakat sekitar," ujarnya.
Ia menerangkan bahwa Bhinneka Tunggal Ika adalah kesadaran, bukan pengetahuan apalagi hafalan. Seluruh elemen masyarakat harus bergerak untuk menyegarkan kembali kesadaran pendidikan harus menjunjung tinggi hak asasi manusia, demokratis, bernilai keagamaan, dan kemajemukan bangsa. Prinsip ini sesuai dengan pasal 4 Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional.
"Toleran saja tidak cukup karena bisa bersifat pasif. Penting memastikan kemampuan guru untuk hidup dan bekerja sama dengan orang-orang yang berbeda suku bangsa, serta agama dan kepercayaan," tutur Henny.
Sementara itu, Sekretaris Ikatan Guru TK Indonesia Ernywati yang dihubungi secara terpisah mengatakan bahwa seluruh guru TK kini wajib berpendidikan minimal sarjana pendidikan anak usia dini agar memahami ilmu pedagogi. Dari segi penyampaian materi, juga diadakan pendampingan agar enam bidang pengembangan, yakni bahasa, kognitif, seni, sosial-emosional, moral keagamaan, dan fisik-motorik sesuai dengan Pancasila. (DNE)