Mereka Rela Pertaruhkan Hidup demi Afghanistan yang Demokratis
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·3 menit baca
KABUL, SELASA — Geliat menyongsong pemilihan umum di Afghanistan terasa memuncak hari-hari ini. Dari seorang mahasiswa hingga seorang ibu rumah tangga paruh baya, warga Afghanistan berencana untuk memberikan suara dalam pemilihan parlemen, Sabtu (20/10/2018). Mereka bahkan mengaku bersedia mempertaruhkan hidup demi demokrasi.
Hampir sembilan juta orang telah terdaftar untuk memilih. Namun, diperkirakan jumlah pemilih yang menggunakan hak suaranya bakal jauh lebih sedikit karena adanya ancaman kekerasan dan perkiraan bakal adanya kecurangan besar-besaran. Enam orang di negara yang tengah dilanda perang itu menjelaskan mengapa suara mereka penting. Mereka menegaskan harapan-harapan mereka.
Mendapatkan anggota-anggota legislatif dengan tampilan sosok-sosok baru adalah harapan Omaid Sharifi untuk pemilu legislatif kali ini. Artis berusia 32 tahun, yang pertama kali memilih, itu ingin melihat generasi baru politisi mengambil kursi di parlemen periode berikutnya.
Sharifi, salah satu pendiri ArtLords seni rupa jalanan di Kabul, terinspirasi untuk memilih para calon muda berpendidikan di antara lebih dari 2.500 peserta pemilu. ”Saya khawatir (tentang keamanan), tetapi saya pikir ini adalah harga demokrasi yang harus kita bayar,” katanya.
Pemilih muda lain, Fatima Sadeqi, bercita-cita ingin menghentikan penjahat, pencuri, dan orang-orang korup dari daftar anggota parlemen berikutnya. Ibu rumah tangga berusia 55 tahun itu dan delapan anggota keluarganya berencana untuk mendukung kandidat yang sama di kota utara Mazar-i-Sharif.
”Kami lelah dengan kemiskinan dan rasa tidak aman,” kata Sadeqi. ”Saya berharap parlemen baru adalah tempat yang lebih baik, penuh dengan orang-orang baik.”
Jika suara saya dapat membawa perubahan ini, saya akan mengambil risiko. Saya akan mati atau memilih.
Sementara itu, Shirin Agha ingin 10 anaknya tumbuh di Afghanistan yang damai, dan dia bersedia mati untuk membantu mewujudkannya. Pembuat tembikar berusia 45 tahun di kota timur Jalalabad itu adalah pemilih pertama kali dan berencana untuk mendukung ”seorang Muslim yang baik dan orang yang jujur”.
”Saya ingin parlemen baru untuk membawa perubahan mendasar pada ekonomi, pendidikan, dan keamanan sehingga anak-anak kita dapat hidup dalam damai,” kata Agha. ”Jika suara saya dapat membawa perubahan ini, saya akan mengambil risiko. Saya akan mati atau memilih.”
Rasa ”tugas dan tanggung jawab” ikut mendorong mahasiswa sastra Inggris Zahra Faramarz untuk memilih kali ini. Namun, ia mengakui adanya kecemasan perihal keamanan. Tempat pemungutan suara yang akan didatangi Faramarz terletak di Kabul tempat kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) telah melancarkan serangan dahsyat dalam beberapa bulan terakhir.
Namun, pemilih berusia 21 tahun itu mengatakan, penting untuk memilih guna memastikan komunitasnya memiliki suara di majelis rendah. ”Jika tidak, orang lain akan memilih kandidat lain, dan itu tidak baik untuk kami,” kata Faramarz.
Setelah hasil mengecewakan dalam dua pemilihan sebelumnya, Ghulam Farooq Adil berharap, pemilu kali ini akan membawa keberuntungan. Pegawai negeri berusia 29 tahun dari kota barat Herat itu berencana untuk memilih calon jujur yang dapat membantu membawa perdamaian bagi Afghanistan.
”Saya ingin parlemen yang baru datang dengan rencana yang kuat untuk mengakhiri perang,” kata Adil. ”Aku perlu melihat perubahan, setidaknya untuk masa depan putraku.”
Abdul Karim percaya bahwa pemungutan suara adalah kewajiban agama bagi pria dan perempuan Muslim. ”Mereka harus memilih,” kata pensiunan berusia 85 tahun di Kabul, yang mengaku hanya pernah memilih untuk kedua kalinya dalam hidupnya. Ia berharap parlemen berikutnya harus melayani bangsa dan menyediakan kesempatan kerja bagi orang miskin. (AFP)