JAKARTA, KOMPAS — Presiden Joko Widodo menargetkan semua kabupaten dan kota ataupun gedung dan fasilitas publik ramah difabel. Untuk itu, dipertimbangkan instrumen-instrumen untuk mendorong realisasi ruang yang mengakses ini.
Presiden Joko Widodo meninjau fasilitas di sekitar Stadion Utama Gelora Bung Karno (GBK), Jakarta, Selasa (16/10/2018). Kehadiran Presiden di area GBK didampingi Gubernur DKI Anies Baswedan, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono, Menteri Sekretaris Negara Pratikno, serta Menteri Sosial Agus Gumiwang Kartasasmita.
Beberapa toilet dengan jalur yang melandai (ramp) dan bisa diakses difabel pengguna kursi roda dicek. Jalur pemandu (guiding block) untuk difabel dengan penglihatan terbatas juga dipantau. Secara kasatmata, di beberapa sudut, seperti di ujung trotoar dekat Pintu 5 GBK, paving trotoar dan jalur pemandu sudah mulai rusak. Semen di ujung jalur yang melandai salah satu toilet juga sudah mulai terlepas.
Di jalur pedestrian, dipasang tonggak-tonggak besi untuk menghalangi sepeda motor yang kerap melanggar jalur pejalan kaki. Hal ini sekaligus membuat trotoar ini tak bisa diakses pengguna kursi roda. Seusai peninjauan, Presiden menilai masih ada kekurangan untuk aksesibilitas GBK. ”Saya kira 80 persen sudah baik,” katanya.
Beberapa kekurangan yang masih harus diperbaiki antara lain wastafel yang masih ditempatkan terlampau tinggi dan pintu toilet difabel semestinya pintu geser. Ke depan, kata Presiden, semestinya semua bangunan publik, fasilitas umum, dan transportasi di semua kabupaten/kota ramah difabel. Cara mendorong realisasi hal ini, Presiden memperkirakan bisa dikaitkan dengan pajak atau insentif lain. Presiden juga akan mengundang warga difabel untuk membahas hal ini.
Menurut Sekretaris Pusat Studi dan Layanan Disabilitas Universitas Brawijaya Slamet Thohari, sesungguhnya sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Selain itu, terdapat dua peraturan menteri yang mengatur mengenai aksesibilitas bangunan dan fasilitas publik.
Pertama, Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 30 Tahun 2006 tentang Pedoman Teknis Fasilitas dan Aksesibilitas pada Bangunan Gedung dan Lingkungan. Kedua, Peraturan Menteri PUPR Nomor 20 Tahun 2017 tentang Penyediaan Rumah Khusus.
Aturan-aturan tersebut tidak jalan, kata konsultan senior Disabilitas dan Inklusi pada The Asia Foundation Bahrul Fuad, karena tidak diintegrasikan dalam sistem perizinan (IMB). Selain itu, tambah Slamet, tidak ada institusi yang menilai atau menegur rancangan atau gedung yang tidak memenuhi ketentuan.
”Yang memahami akses atau tidak, ya difabel. Karenanya itu salah satu tugas Komite Nasional Disabilitas seperti di Amerika Serikat, perlu ada ADA (Americans with Disabilities Act) Approved sebagai salah satu syarat bangunan umum,” kata Slamet.
Komite Nasional Disabilitas (KND) sudah diamanatkan dalam UU No 8/2016, tetapi sampai sekarang belum terwujud. Padahal, institusi KND yang independen ini diperlukan untuk mengoordinasikan berbagai urusan difabel secara lintas sektoral. Sebab, difabel bukan hanya urusan Kementerian Sosial.
Slamet mencontohkan, ketika ruang untuk difabel menjadi aparatur sipil negara dibuka karena diatur kuota 2 persen, hal ini menjadi urusan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, sedangkan urusan aksesibilitas fasillitas dan gedung publik berkaitan dengan Kementerian PUPR.
Di DKI, menurut Anies, pemprov memberikan porsi 2 persen untuk difabel dalam perekrutan CPNS. Selain itu, fasilitas umum, baik gedung pemerintah maupun BUMD, harus bisa diakses. Untuk gedung-gedung swasta, sertifikat layak fungsi (SLF) akan bisa diperbarui apabila kewajiban menyediakan aksesibilitas untuk difabel tersedia.
Model seperti ini, menurut Slamet, bisa jadi efektif. Namun, penilai aksesibilitas suatu gedung atau fasilitas publik semestinya tetap dilakukan kelompok difabel. Sebab, tanpa penilaian dari pengguna, fasilitas seperti GBK menjadi kurang akses kendati sudah berupaya menyediakan fasilitas untuk difabel.
Slamet dan Bahrul Fuad mencontohkan beberapa kekurangan pada GBK. Toilet di Stadion Utama GBK hanya berukuran 1 meter sehingga kursi roda hampir tak cukup. Pintu toilet berat dan bukan pintu geser. Penempatan wastafel pun terlalu tinggi. Penunjuk arah yang cukup besar untuk difabel dengan hambatan intelektual tak ada. Jalur pemandu untuk difabel dengan keterbatasan penglihatan semestinya juga mengarah ke toilet atau mushala. Selain itu, jalur pemandu juga seharusnya ada di dalam gedung.
”Di daerah, malah masih belum ada akses. Di Malang dan beberapa kota, trotoar malah diganti keramik. Bagi warga bukan difabel pun malah membahayakan. Selain itu, trotoar dipasangi tiang-tiang sehingga pengguna kursi roda tak bisa lewat,” katanya.