Tangan-tangan cekatan memilah kerang, menyikat sisik ikan, juga kuat meremas tang untuk pecahkan cangkang. Wajah-wajah ayu yang tak menunjukkan mata sayu harus menghadapi pembeli, yang kadang tak tahu diri dalam menawar harga dagangan mereka. Tanpa gentar, perempuan-perempuan Madura bergumul dengan bau amis dari sore hingga pagi hari.
"Yang perempuan yang rajin ajuel jukok (jual ikan)," ujar Asri Sastika (24) dengan aksen Madura yang kental, sambil menggendong bayi laki-lakinya yang baru berusia setahun. Kamis (18/10/2018) dini hari, ia membersihkan meja dagang yang telah kosong di dekat pintu masuk Pasar Kramat Jati setelah berjualan ikan sejak pukul lima sore.
Dari puluhan pedagang yang berjualan ikan di bahu Jalan Raya Bogor, Jakarta Timur, perempuan mendominasi. Banyak dari mereka mengaku memiliki hubungan dengan daerah Bangkalan di Madura. Namun, tidak sedikit dari mereka yang sudah belasan tahun menetap di Jakarta.
Rum (55) tidak ingat tahun berapa ia datang ke Jakarta untuk membantu ibunya berjualan ikan di kawasan tersebut. Ia hanya ingat ia datang ke ibu kota saat masih gadis. Kemudian, ia berkeluarga dan melahirkan putri-putri yang melanjutkan usahanya.
Rum berjualan ikan bersama anak tertuanya Rosidah (25), yang menamatkan sekolah hingga SMP di Madura. Sesekali putri bungsunya Lutfiyah (15) juga ikut membantu, meski tidak sampai larut malam karena harus sekolah keesokan harinya.
Setiap hari, Rum atau Rosidah pergi ke Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Muara Baru, Jakarta Utara. Bersama pedagang lain, mereka menyewa mobil bak terbuka dan membawa berember-ember ikan ke Kramat Jati, yang berjarak sekitar 30 kilometer dari tempat membeli ikan.
"Sehari bisa beli 10 sampai 15 ember. Satu jenis masing-masing 30 kilogram. Modal belinya sekian juta, lah," kata Rosidah.
Lapak seluas tiga meter persegi diisi nampan-nampan tempat menampung berbagai jenis udang, cumi, dan sotong, hingga tongkol, tenggiri, dan kakap. Ikan-ikan laut berukuran besar itu biasa dibeli dalam jumlah banyak oleh pengusaha katering atau rumah makan. Pada akhir pekan, lebih banyak yang membeli ikan untuk pesta makan.
Pada hari kerja, pembeli ikan tidak terlalu banyak. Kala sepi pembeli, Rosidah akan memainkan ponselnya atau mengobrol dengan pedagang lain di sekitarnya. Sementara Rum sesekali mencuri waktu untuk tidur di bangku kayu. Keduanya tidak terlalu khawatir jika barang dagangan mereka tidak habis dibeli.
"Kalau ada sisa, nanti dijual lagi ke pedagang eceran pada pagi hari," kata Rosidah.
Pendapatan berjualan ikan menurut ibu dan anak perempuannya itu, cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Mereka kadang tidak terlalu memikirkan berapa pemasukan yang didapat. Menjual ikan menjadi pekerjaan yang mudah karena telah menjadi tradisi di kalangan perempuan Madura.
"Perempuan Madura biasa berdagang karena dulu para suami biasa pergi berlayar," tutur Rum. Setelah menjadi kaum urban, laki-laki banyak yang tidak lagi melaut. Namun, sebagian besar kaum perempuan masih memilih jalan sebagai pedagang.
Profesi perempuan Madura tersebut tidak lepas dari latar belakang komunitas mereka yang sebagian besar bergantung pada kehidupan pesisir. Guna menunjang pekerjaan suami di laut, perempuan Madura memilih masuk ke sektor publik, seperti terungkap dalam buku "Madura 2045: Merayakan Peradaban" (2016) yang disunting Khoirul Rosyadi dan Iqbal Nurul Azhar.
Maka tak heran, jika perempuan Madura memiliki dua peran sekaligus. Mereka melakukan peran domestik sebagai istri sekaligus memiliki peran publik dengan mencari penghasilan tambahan. "Jika suami menangkap ikan, maka istri bertanggung jawab menjual ikan dan mengupayakan ketercukupan ekonomi keluarga," tulis Iskandar Dzulkarnain, peneliti dari Universitas Trunojoyo Madura dalam "Perempuan Pesisir Madura: Dulu, Kini, dan Yang Akan Datang".
Keinginan mengubah nasib
Tradisi bekerja sebagai penjual ikan nyatanya tidak diamini beberapa perempuan keturunan Madura. Bekerja kantoran dengan penghasilan tetap, dianggap menjanjikan untuk masa depan yang lebih terjamin. Salah satu cara untuk ke sana adalah dengan tuntas bersekolah.
Ummu Kulsum (40) mengaku hanya mampu menjadi penerus keluarganya sebagai pedagang kecil karena tidak tuntas bersekolah. Ia berharap, nasib yang sama tidak diteruskan anak-anaknya kelak. "Kalau blbisa anak-anak sekarang jangan kerja ini. Lebih baik kerja di tempat ber-AC saja," ucapnya sambil tersenyum ketir.
Usaha mengubah nasib telah dicoba Asri yang mencoba bekerja sebagai sales di satu pusat perbelanjaan grosir. Meski masih memiliki minat untuk membantu orangtua berjualan ikan, cita-cita yang lebih tinggi sudah dimiliki Lutfiyah.
Mengambil jurusan bisnis di satu sekolah kejuruan swasta, Lutfiyah berharap dirinya bisa meningkatkan derajat keluarganya. "Kalau pun jadi pedagang ikan, harus bisa jadi pedagang besar," ungkapnya. (ERIKA KURNIA)