JAKARTA, KOMPAS — Pembinaan berkelanjutan menjadi kunci untuk menghidupkan sektor usaha kecil menengah agar lebih berkontribusi terhadap peningkatan nilai produk domestik bruto. Sebab, permasalahan pelaku usaha tidak melulu datang dari modal, tetapi juga berkaitan dengan cara mengembangkan bisnis usaha menjadi lebih besar.
Dalam diskusi yang diselenggarakan PT HM Sampoerna Tbk, Kamis (18/10/2018), pakar pemasaran Yuswohady mengatakan, era digital membawa tren untuk berwirausaha. Namun, sebagian besar pelakunya tidak memiliki pengetahuan yang cukup untuk melebarkan skala usaha.
”Mayoritas pelaku usaha akhirnya berjejaring dan memasuki komunitas pelaku usaha karena yang bingung sama-sama ketemu bingung,” ujar Yuswohady.
Pendidikan untuk mengembangkan bisnis itu menjadi fokus Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) selama lima hingga tujuh tahun terakhir. Namun, Direktur Eksekutif Apindo Danang Girindrawardana mengatakan, hal itu dilakukan melalui pelatihan dan belum ada langkah yang berkelanjutan.
Danang merasa masih perlu belajar dari pembinaan pihak swasta karena hal itu membutuhkan proses panjang serta perencanaan yang matang. Pembinaan dari PT HM Sampoerna untuk pelaku usaha ritel dan wirausahawan dinilai dapat menjadi contoh karena telah dilakukan sejak 2007 serta diikuti 40.000 peserta dari 408 kota dan kabupaten seluruh Indonesia.
Ketua Pengembangan Bisnis Komersial PT HM Sampoerna Tbk Henny Susanto mengatakan, umumnya pelaku usaha tidak memiliki pengetahuan bisnis secara teori. Kemudian, hal itu ditanamkan melalui kegiatan yang bisa secara langsung diterapkan untuk usaha ritel atau produknya.
”Hal itu diterapkan melalui etika kebersihan, penataan produk yang dapat dijangkau pelanggan di toko, hingga lampu, dan cat ruangan yang lebih terang yang selalu kami sarankan kepada para peritel binaan,” kata Henny.
Ia melanjutkan, pembinaan itu juga dilakukan secara partisipatif dan inklusif. Artinya, proses pembinaan yang terjalin dilakukan dengan memberikan saran serta sesama pelaku usaha yang saling berbagi pengalaman wirausaha.
Danang berharap praktik pembinaan ini dapat dipelajari sehingga bentuk pembinaan tersebut dapat direfleksikan dalam kebijakan pemerintah. Seperti salah satu aturan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nomor 51 Tahun 2017 yang mengatur penerapan keuangan berkelanjutan bagi perusahaan.
Untuk langkah yang berkelanjutan, Yuswohady menekankan pelaku usaha dididik tidak sekadar berbisnis untuk mencari uang. Lebih jauh pelaku usaha diharapkan dapat melihat potensi usaha, lebih responsif terhadap peluang yang dimiliki di lingkungan mereka.
Ia memandang pendidikan itu juga semestinya diterapkan, tidak hanya diajarkan melalui sesi di dalam kelas. ”Karena wirausaha 90 persen merupakan praktik di lapangan,” ucapnya.
Salah satu pelaku ritel dari program pembinaan Sampoerna, Ketut Suarjana, merasakan sulitnya berbisnis tanpa pendidikan formal. Ia sempat frustrasi di tahun pertama berbisnis dan baru dapat memetik keuntungan usahanya di tahun kelima.
Berdasarkan data Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) pada 2016, sektor UKM merupakan penyumbang terbesar terhadap nilai produk domestik bruto sebanyak 60,34 persen. Penyerapan tenaga kerja dari sektor ini pun tinggi, yakni mencapai 97,22 persen.
Hingga 2017, rasio wirausaha Indonesia menurut data Kementerian Koperasi dan UKM menunjukkan angka 3,1 persen. Angka itu masih lebih rendah dibandingkan dengan Singapura yang mencapai 7 persen serta Jepang yang rasionya 14 persen (Kompas, 13/3/2017).
”Yang jelas, minat wirausaha perlu digenjot. Apindo saat ini berfokus pada kemudahan mekanisme kerja sama pengusaha dengan perusahaan skala besar,” kata Danang. (ADITYA DIVERANTA)