Bangkitkan Kesadaran Budaya Kolektif
Dari sejarahnya, masyarakat Nusantara adalah masyarakat yang majemuk, egaliter, dan saling menghargai. Namun kesadaran budaya kolektif ini memudar karena diredam pada masa Orde Baru.
JAKARTA KOMPAS – Bangsa Indonesia mengalami krisis kepercayaan terhadap sesama dan krisis kemampuan mengelola konflik. Hal ini rawan menimbulkan ketakutan terhadap perbedaan alamiah Nusantara dan mengakibatkan perpecahan di masyarakat. Penyadaran kembali sejarah terbentuknya masyarakat Nusantara yang majemuk, egaliter, dan saling menghargai harus dilakukan untuk mengatasi krisis ini.
Masyarakat Indonesia juga perlu kembali mengenali potensi kultural nenek moyang yang bisa memberi kekuatan dan modal dalam menghadapi tantangan masa kini. Keterbukaan, keberagaman, kesetaraan, dan kerendahan hati yang menjadi karakteristik Indonesia memudar karena struktur pendidikan, hukum, ekonomi, dan politik yang bertolak belakang dengan karakter itu.
“Kita lupa bahwa negara dan bangsa Indonesia berdiri karena adanya jaringan ingatan kolektif,” kata budayawan dan sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Taufik Abdullah dalam Diskusi Publik Mufakat Budaya Indonesia III 2018 yang bertema “Memufakatkan Kebudayaan Indonesia: Apa Sebenarnya Kebudayaan Indonesia?” di Bentara Budaya Jakarta, Kamis (18/10/2018). Narasumber lainnya adalah budayawan Erros Djarot, Radhar Panca Dahana, dan Mohammad Sobary.
Kita lupa bahwa negara dan bangsa Indonesia berdiri karena adanya jaringan ingatan kolektif.
Taufik menjabarkan, selama 32 tahun rezim pemerintahan Orde Baru, bangsa Indonesia dipaksa untuk meyakini satu ingatan yang seragam. Berbagai wujud perbedaan adat istiadat masyarakat Nusantara diredam. Pada masa Reformasi dan sesudahnya, kemerdekaan berekspresi kembali dialami rakyat Indonesia.
“Kemerdekaan ini disambut secara tidak siap oleh masyarakat sehingga menimbulkan saling tidak percaya. Contohnya, dari tiga partai politik langsung berkembang menjadi 150 partai karena tidak mau untuk bekerja sama. Muncul berbagai kerusuhan di Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku,” paparnya. Rasa saling tidak percaya ini membuat penanganan konflik tidak maksimal.
Selain itu, perilaku pejabat publik juga tidak bisa menjadi teladan, seperti korupsi, menyebar fitnah, dan menjelek-jelekkan saingan politik. Padahal, sejatinya tanda bangsa yang berbudaya adalah mengedepankan falsafah kemanusiaan. Artinya, masyarakat dinamis dalam berpikir, mencari ilmu pengetahuan, dan mengekspresikannya dengan beradab.
Pada level negara, kata Taufik, perbedaan kebudayaan dari suku-suku bangsa ini tidak masalah. Akan tetapi pada level masyarakat, masih banyak yang mempermasalahkan keragaman karena menampilkan simbol-simbol yang berbeda. Misalnya, bahasa, kuliner, pakaian adat, agama dan kepercayaan, serta pranata sosial yang berbeda-beda.
“Kebudayaan merupakan kesepakatan bersama. Tidak apa-apa ada beberapa simbol yang berbeda, yang penting adalah mayoritas simbol diterima dan disepakati bersama oleh penduduk Nusantara,” ucapnya.
Egaliter
Radhar mengatakan, budaya Nusantara merupakan budaya yang dibentuk dari adat istiadat masyarakat bahari. Ciri khas masyarakat ini adalah pranata sosial yang egaliter. Sistem ini berbeda dengan budaya kontinental di masyarakat Eropa. Pranata sosialnya menghasilkan hierarki, ada kelas atas dan kelas bawah. Cara untuk sukses adalah dengan mengalahkan saingan dan pemenang mendapatkan segalanya.
Budaya Nusantara merupakan budaya yang dibentuk dari adat istiadat masyarakat bahari. Ciri khas masyarakat ini adalah pranata sosial yang egaliter.
“Dalam budaya bahari, samudera tidak mengenal hierarki karena semua harus bekerja sama sehingga muncul tatanan yang egaliter,” ujarnya.
Budaya bahari membuat daerah-daerah yang maju berada di pesisir, seperti ribuan kota bandar di Nusantara. Di kota-kota bandar itu orang dari berbagai suku bangsa, ras, dan agama bertemu untuk melakukan transaksi barang dan jasa tanpa rasa saling mengasingkan, apalagi memusuhi. Kemajuan sebuah bandar merupakan wujud dari kerja sama tersebut.
“Dalam proses itu, setiap suku membentuk dirinya, jati dirinya, dengan elemen-elemen dari hal yang ada di luarnya. Eksistensi basis kebudayaan itu adalah aku itu adakah kamu, karena ada kamu dalam aku, dan ada aku dalam kamu,” kata Radhar.
Sementara itu, Sobary mengatakan bahwa dengan bertambahnya pengalaman juga mematangkan kebijaksanaan bangsa. Caranya adalah dengan membuka ruang-ruang pertemuan dan diskusi. Hal ini membuat wawasan masyarakat terhadap keragaman budaya bertambah. Dalam sebuah kebudayaan tidak ada adat istiadat yang lebih unggul daripada yang lain, yang adalah adalah keragaman.
Secara konstitusional, bangsa Indonesia sudah memiliki pijakan-pijakan kebudayaan nasional. Erros menuturkan, pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 mengandung rumusan kehendak kebudayaan bangsa Indonesia. Sebagai contoh, di dalam pembukaan UUD 1945, Indonesia disebut sebagai bangsa yang anti penjajahan, negara yang berketuhanan, serta butir-butir Pancasila juga masuk di situ. Dilema kebudayaan muncul sebagai turunan dari ketidakpahaman bangsa terhadap kebudayaan yang dicanangkan oleh para pendiri bangsa.
“Sikap-sikap itu perlu dipahami semua pejabat di negeri ini, tetapi karena tidak dipahami, akhirnya menjadi kacau seperti sekarang,” katanya.
Untuk menanamkan kembali pijakan kebudayaan itu, kata Erros, diperlukan figur, institusi, serta kebijakan kebudayaan. Dia mencontohkan, beberapa negara seperti Inggris dan Jerman, memiliki lembaga yang memberikan pemahaman mengenai siapa diri mereka, melalui produk kebudayaan seperti teater, musik, buku-buku yang dipublikasikan secara teratur untuk mempertahankan identitas mereka.