Perguruan tinggi ditantang untuk beradaptasi dengan perubahan digital dan kebutuhan revolusi industri 4.0. Pemanfataan teknologi digital semakin penting. Namun, yang mendesak juga agar birokrasi perguruan tinggi luwes untuk menyesuiakan dengan perubahan.
JAKARTA, KOMPAS — Gagasan Presiden Joko Widodo agar perguruan tinggi lebih luwes dalam membuka program studi sesuai tuntutan revolusi industri 4.0 terbentur birokrasi. Otoritas perguruan tinggi terjebak fokus pada teknis perkuliahan ketimbang menjabarkan substansi gagasan kepala negara tersebut.
Anggota Dewan Pertimbangan Forum Rektor Indonesia, Asep Saefudin, Jumat (18/10/2018), di Jakarta mengatakan, perguruan tinggi memang pada dasarnya harus siap mengantisipasi perubahan zaman. Akan tetapi, di sisi lain, perguruan tinggi juga masih terkendala regulasi dan birokrasi.
Dia menilai, selama ini Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi sangat dominan dalam pemberian izin pembukaan program studi (prodi). Begitu nama prodi yang diusulkan itu tidak ada dalam nomenklatur, sulit mendapat izin. Bahkan, yang ada nomenklaturnya saja masih dipersulit.
Menurut dia, birokrasi pendidikan tinggi yang masih membatasi keluwesan perguruan tinggi untuk berinovasi juga harus dibenahi. ”Saatnya birokrasi perguruan tinggi luwes untuk menyesuaikan dengan perubahan,” kata Asep yang juga menjabat Rektor Universitas Al Azhar Indonesia.
Menurut amatan Kompas, salah satu contoh kekacauan birokrasi adalah kualifikasi dosen yang mensyaratkan kualifikasi pendidikan minimal S-2. Aturan normatif ini berlaku sama untuk semua perguruan tinggi.
Padahal, untuk vokasi, seperti politeknik, ada kewajiban untuk merekrut praktisi di industri sebagai dosen. Namun, hal ini tidak mudah dipenuhi kalangan praktisi. Padahal, di sisi lain, keahlian praktisi industri selalu mengikuti perkembangan zaman.
Tiga tahun tak direspons
Presiden Joko Widodo dalam beberapa kesempatan mengingatkan agar perguruan tinggi (PT) inovatif menawarkan prodi yang selaras dengan tuntutan kecakapan di era Revolusi Industri 4.0. ”Saya heran, zaman sudah berubah, tetapi fakultas dan program studi di perguruan tinggi tidak banyak berubah. Ini sudah tiga tahun saya ulang-ulang, tetapi belum ada respons sesuai dengan harapan,” ujarnya (Kompas, 11/10/2018).
Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Mohamad
Nasir dalam Seminar Nasional dan Lokakarya Satu Abad Nahdlatul Ulama: Perguruan Tinggi NU dan Revolusi Industri 4.0, Rabu lalu, di Jakarta mengatakan, PT harus mau mengubah sistem pembelajaran maupun prodi. Kebutuhan untuk profesionalisme yang terkait digital, e-dagang, hingga manajemen logistik semakin tinggi.
Terkait dengan sistem pembelajaran, Nasir meminta perguruan tinggi menerapkan pembelajaran daring. Untuk itu, pendidikan jarak jauh, baik yang sistem blended learning (tatap muka dan daring) maupun daring penuh, harus serius diwujudkan.
Ia mendorong perguruan tinggi menyiapkan infrastruktur,
sistem, dan sumber daya manusianya. Kelak, perguruan tinggi tak lagi diukur dari banyaknya dosen dan lahan atau gedung luas. Pembelajaran akan bisa dilakukan kapan dan di mana saja dengan sistem daring yang berkualitas.
Menurut Nasir, sistem pendidikan jarak jauh yang dilakukan perguruan tinggi bisa dilakukan secara bertahap. Mulai dari mata kuliah, program studi, fakultas, hingga universitas harus mendapat sertifikasi atau lolos uji dari Cyber Institute atau Cyber University dari Kemristek dan Dikti.
Direktur Jenderal Sumber Daya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Kemristek dan Dikti, Ali Ghufron Mukti mengatakan, tantangan untuk transformasi digital tak mudah. Sekitar 60 persen dosen yang ada di PT berusia 40 tahun ke atas. (ELN).