JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengklaim berhasil menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 22,26 persen dari kondisi pada 2007. Adapun target penurunan emisi gas rumah kaca 30 persen tahun 2030. Penurunan tertinggi dicapai dengan program peningkatan efisiensi pembangkit listrik dengan penggantian bahan bakar dari fosil menjadi gas.
Pada tahun 2017, hasil pengukuran Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta memperlihatkan penurunan gas rumah kaca DKI Jakarta sebesar 7,8 juta ton menjadi 48,315 juta ton. Pada 2015, emisi gas rumah kaca terukur 50,93 juta ton.
”Dengan penurunan ini, pekerjaan rumah kita tinggal 8 persen,” kata Kepala Bidang Tata Lingkungan dan Kebersihan Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Fitra Tunisa pada konsultasi publik untuk peningkatan aksi iklim lokal yang partisipatif dan inklusif yang diselenggarakan International Council for Local Environmental Initiatives (ICLEI) di Balai Kota DKI Jakarta, Kamis (18/10/2018).
Komitmen Pemprov DKI Jakarta menurunkan emisi gas rumah kaca dicanangkan pada 2007 dan sudah dikukuhkan dalam rancangan tata ruang dan wilayah DKI Jakarta 2030. Sejumlah kebijakan dan program ditempuh untuk mencapai penurunan ini.
Di antaranya adanya Peraturan Gubernur DKI Jakarta mengenai gedung hijau dan penurunan emisi gas rumah kaca. Sejumlah program lain di antaranya penggunaan bus transjakarta yang berbahan bakar gas, penggantian lampu dengan LED di 200.000 titik, penggantian bahan bakar dua pembangkit listrik dari bahan bakar minyak menjadi gas, dan mendorong terbentuknya bank sampah di lingkungan.
Menurut data Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, selama ini, emisi gas rumah kaca tertinggi di DKI Jakarta dihasilkan dari konsumsi listrik sebesar 57, 4 persen pada 2017. Sementara pembangkit listrik menyumbang 13,44 persen.
Tantangan dalam penurunan emisi ini di antaranya adalah sulitnya mencari data. Dari 34 aksi di dalam penurunan emisi gas rumah kaca yang dicanangkan, baru 17 yang dapat berjalan dan terukur capaian reduksinya. Ada juga kegiatan yang tak didukung kebijakan instansi nasional, salah satunya sumbangan armada bus untuk transportasi umum yang masih berbahan bakar minyak.
Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta juga mendorong kendaraan-kendaraan untuk uji emisi dengan melakukan sertifikasi pada bengkel-bengkel guna melakukan uji emisi.
Namun, dari pengukuran kualitas udara, jumlah hari dengan kualitas udara tidak sehat pada 2017 justru bertambah menjadi 30 persen dari 2016 sebanyak 17 persen. Namun, kondisi ini masih jauh lebih baik daripada 2013 dengan jumlah hari dengan kualitas udara tak sehat mencapai 52 persen.
Di sisi lain, peningkatan jumlah ruang terbuka hijau yang vital untuk menekan emisi gas rumah kaca masih tersendat. Dari target 30 persen ruang terbuka hijau, Jakarta diperkirakan baru memiliki sekitar 7 persen. Komposisi ini terdiri dari 4,24 persen ruang terbuka hijau dikuasai Dinas Kehutanan DKI Jakarta, sedangkan sisanya dikuasai instansi pemerintah maupun pihak swasta.
Kepala Bidang Kehutanan Dinas Kehutanan DKI Jakarta Jaja Suarja mengatakan, kendala utama adalah sulitnya pembebasan lahan untuk meningkatkan ruang terbuka hijau. ”Jadi, kami butuh kolaborasi dengan warga untuk ini. Sebab, meningkatkan ruang terbuka hijau tidak harus dengan membebaskan lahan,” ujarnya.
Interim Country Manager ICLEI Indonesia Gina Karina mengatakan, ICLEI bekerja sama dengan Pemprov DKI Jakarta menggelar program Ikhtiar Jakarta. Program ini terinspirasi dari keberhasilan kota Seoul, Korea Selatan, yang berhasil mengajak warganya secara aktif untuk berkolaborasi menurunkan emisi gas rumah kaca. Konsultasi publik digelar untuk memetakan potensi dan hambatan yang ada.