Kerentanan Papua Mesti Diatasi
Derajat kesehatan di Provinsi Papua perlu dibenahi agar kerentanan masyarakat terhadap penyakit, termasuk polio, menurun. Itu bisa dilakukan melalui menggalakkan imunisasi dasar lengkap dan perilaku hidup bersih.
JAKARTA, KOMPAS—Untuk mengantisipasi ancaman virus polio yang mewabah di Papua Niugini, Pemerintah Indonesia akan mengoptimalkan tindakan pencegahan di wilayah perbatasan Indonesia, terutama Papua. Itu dilakukan dengan terus menggalakkan program imunisasi dasar lengkap dan perilaku hidup bersih.
Menteri Kesehatan Nila Djuwita F Moeloek menyampaikan hal itu, Kamis (18/10/2018), di Jakarta seusai memberikan penghargaan kepada sejumlah pemerintah daerah yang berhasil melaksanakan sanitasi total berbasis masyarakat.
Derajat kesehatan Provinsi Papua juga perlu dibenahi agar kerentanan masyarakat terhadap penyakit menurun. ”Caranya adalah menyediakan air bersih dan sanitasi serta bebas dari buang air besar sembarangan,” kata pengajar Departemen Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga, Surabaya, Santi Martini, Kamis, terkait ancaman polio di Papua.
Menurut laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Unicef, Inisiatif Eradikasi Polio Global, dan Pemerintah Papua Niugini, polio di Papua Niugini muncul pada Juni 2018. Padahal, negara itu dinyatakan bebas dari polio oleh WHO tahun 2000 (Kompas, 17/10/2018).
”Kita tetap berhati-hati. Karena itu, kami menjaga Papua dengan memberikan imunisasi dasar lengkap untuk menjaga agar virus polio jangan menyebar ke Papua,” kata Nila.
Kita tetap berhati-hati. Karena itu, kami menjaga Papua dengan memberikan imunisasi dasar lengkap untuk menjaga agar virus polio jangan menyebar ke Papua.
Terkait hal itu, Kemenkes berkoordinasi dengan pemerintah provinsi dan kabupaten di Papua agar virus polio dari Papua Niugini tak masuk ke Indonesia. Jika imunisasi dasar dan lanjutan lengkap dilakukan merata, itu membentuk kekebalan tubuh agar tak terinfeksi virus, termasuk polio.
Cakupan rendah
Kemunculan kasus polio di Papua Niugini mengancam daerah yang berbatasan. Ada lima kabupaten/kota di Papua yang berbatasan dengan Papua Niugini. Cakupan imunisasi dasar lengkap (IDL) di banyak kabupaten/kota di Papua pada 2017 di bawah 80 persen.
Di antara lima daerah yang berbatasan dengan Papua Niugini, Kabupaten Keerom memiliki cakupan IDL tertinggi, yakni 74,9 persen. Adapun cakupan IDL empat daerah lain adalah Kabupaten Merauke 68,7 persen, Kota Jayapura 51,5 persen, Kabupaten Boven Digoel 32,4 persen, dan Kabupaten Pegunungan Bintang 8,7 persen.
Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes Anung Sugihantono mengatakan, cakupan imunisasi polio pada anak usia di bawah 15 tahun di Papua 56,42 persen. Cakupan imunisasi polio di Merauke 73,24 persen, Keerom 71,14 persen, Boven Digoel 63,96 persen, Jayapura 54,24 persen, dan Pegunungan Bintang 25,29 persen.
Karena itu, imunisasi polio diintegrasikan dengan campak rubela (MR) di perbatasan. Per 17 Oktober 2018, cakupannya 111,14 persen di Keerom, 96,27 persen di Boven Digoel, 94,02 persen di Merauke, 86,89 persen di Jayapura, dan 32,83 persen di Pegunungan Bintang.
Selain itu, pemeriksaan spesimen lingkungan dilakukan untuk mendeteksi virus polio liar maupun vaccine-derived polio virus (VDPV) di tiga lokasi di Jayapura. Hasilnya, tak ditemukan virus polio di sana. Lokasi pemeriksaan ditambah di perbatasan berkala. Pihaknya juga akan mengkaji rekam medik di rumah sakit perbatasan.
Menurut Santi, polio menyebar lewat makanan. Virus polio dari saluran cerna keluar lewat kotoran dan masuk ke tubuh melalui makanan. Karena itu, perilaku hidup bersih, penyediaan air bersih dan sanitasi, serta tak buang air besar sembarangan penting dilakukan.
Nila mengatakan, pemerintah saat ini menjadikan sanitasi dan air bersih sebagai tujuan pembangunan berkelanjutan yang harus dicapai (SDGs). Sanitasi dan perilaku kebersihan yang buruk menjadi penyebab terjadinya persebaran berbagai bakteri yang menjadi sumber penyakit termasuk polio.
Untuk mewujudkannya, Kemenkes bersama kementerian dan mitra lainnya meluncurkan STBM sejak tahun 2008. Ada lima pilar STBM, yaitu stop buang air besar (BAB) sembarangan, cuci tangan pakai sabun, pengelolaan air minum dan makanan, serta pengelolaan limbah cair.
Data e-monev STBM, menyebutkan hingga Oktober 2018 baru 23 kabupaten atau kota dan satu provinsi yang telah 100 persen memenuhi STBM pilar pertama, yaitu warganya tidak lagi BAB sembarangan. Adapun pilar lainnya juga sudah diterapkan namun belum mencapai angka 100 persen.
Minimnya kesadaran masyarakat untuk tidak BAB sembarangan menimbulkan keprihatinan karena Indonesia telah merdeka 73 tahun. Padahal perilaku BAB tidak pada tempatnya berisiko terjadinya penularan berbagai jenis penyakit termasuk polio yang dapat menyebar melalui kotoran manusia.
Studi WHO pada 2007 menyebutkan, jika setiap keluarga dalam komunitas menerapkan lima pilar STBM, itu bisa menurunkan angka risiko terjangkit penyakit diare 94 persen. Selain itu, Riset Kesehatan Dasar 2013 mengatakan, satu dari tiga anak Indonesia menderita stunting. Padahal akses terhadap sanitasi yang baik berkontribusi dalam penurunan stunting 27 persen. "Sanitasi dan air bersih jadi tujuan keenam SDGs," kata Nila. (STEFANUS ATO)