JAKARTA, KOMPAS — Usaha menghidupkan kembali becak di Jakarta belum terbukti meningkatkan kesejahteraan pengayuh becak. Selain itu, rancangan peraturan daerah yang juga bakal dijadikan dasar payung hukum melegalkan becak kembali beroperasi juga belum diterbitkan.
Koordinator Wilayah Serikat Becak Jakarta (Sebaja) Cabang Teluk Gong, Penjaringan, Jakarta Utara, Idim Saputra (53) mengatakan, rencana Gubernur Anies Baswedan menghidupkan kembali becak perlu diikuti langkah strategis untuk meningkatkan taraf hidup para pengayuh becak, Kamis (18/10/2018).
Sebelumnya, Anies berjanji memberikan keadilan bagi para pengayuh becak untuk mencari nafkah di Jakarta. Untuk itu, Anies mengizinkan kembali becak beroperasi di daerah tertentu. Syaratnya, ruang gerak becak dibatasi hanya pada wilayah sekitar pasar dan tidak boleh memasuki jalan protokol.
Saat ini, becak bisa ditemukan beroperasi di sejumlah lokasi, yaitu Tambora, Penjaringan, Muara Baru, Semper, dan Tanjung Priok. Di semua lokasi itu, para pengayuh becak biasanya memilih mangkal di lokasi yang berdekatan dengan pasar tradisional.
Idim, yang sehari-hari mangkal di Pasar Teluk Gong, mengeluhkan pendapatannya dalam sehari menurun dari Rp 75.000 menjadi Rp 40.000 setelah diwajibkan mangkal di shelter.
Yang dimaksud sebagai shelter atau tempat mangkal resmi para pengayuh becak di Pasar Teluk Gong adalah sebuah pelang besi bertuliskan ”Shelter Becak Terpadu”. Di tempat itu, pengayuh becak berkumpul menunggu penumpang datang.
Ia mengatakan, aturan itu membuatnya tak bisa leluasa mencari pelanggan yang rata-rata adalah pedagang dan tengkulak yang datang ke Pasar Teluk Gong. ”Sistem antre membuat kami harus gantian melayani penumpang yang datang,” kata Idim.
Fasilitas shelter tersebut disiapkan kelurahan setempat. Dalam setiap kelurahan dipilih koordinator wilayah yang bertugas mengawasi dan mengoordinasi para pengayuh becak agar tak mangkal sembarangan.
Selain itu, menurut Idim, tugasnya sebagai koordinator wilayah juga mencakup pengawasan terhadap para pengayuh becak yang datang dari wilayah di luar Jakarta. ”Enggak boleh ada orang baru, soal itu kami sudah sepakat dengan Pak Anies,” ujar Idim.
Menurut Idim, Teluk Gong merupakan salah satu lokasi dengan pengayuh becak terbanyak. Para pedagang ataupun pembeli masih kerap lalu lalang menumpang becak di jalanan pasar yang berlubang dan becek.
”Ada sekitar 286 pengayuh becak yang secara resmi terdaftar di sini,” kata Idim. Yang dimaksud pengayuh becak resmi adalah mereka yang memiliki kartu anggota organisasi Sebaja. Di seluruh Jakarta, tercatat ada 1.865 anggota Sebaja.
Meskipun tidak dalam jumlah banyak, menurut Idim, masih ada beberapa orang dari luar daerah yang datang ke Pasar Teluk Gong untuk mengayuh becak. ”Gampang ketahuan kok kan mereka enggak punya kartu anggota Sebaja, kalau udah gitu ya pasti dirazia dinas perhubungan,” ujar Idim.
Ponijan (72), yang telah 30 tahun menjadi pengayuh becak di Pasar Pekojan, Tambora, Jakarta Barat, mengatakan, saat ini, ia hanya bisa bergantung pada pelanggan lama yang juga sudah berusia lanjut sama sepertinya.
Di Pasar Pekojan, hanya ada 26 pengayuh becak yang secara resmi terdaftar. Dari jumlah itu, hanya separuh yang masih aktif bekerja setiap hari. ”Zaman sekarang enggak banyak orang yang mau naik becak,” ujar Ponijan.
Menurut dia, sudah tak ada lagi pengayuh becak baru yang datang ke Pasar Pekojan. ”Siapa sih sekarang yang mau jadi tukang becak, sehari palingan cuma dapat Rp 30.000,” katanya.
Payung hukum
Belum adanya revisi terhadap Peraturan Daerah (Perda) DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum menjadikan larangan untuk mengoperasikan dan memproduksi becak masih berlaku. Dalam perda itu disebutkan, pelanggar bisa dikenai ancaman pidana kurungan paling lama 90 hari dan denda paling banyak Rp 30 juta.
Saat ini, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta sedang menyiapkan perda tentang operasionalisasi becak. Pelaksana Tugas Kepala Dinas Perhubungan DKI Sigit Wijatmoko menjelaskan, perda yang dimaksud sedang disiapkan Biro Hukum Pemprov DKI. Terkait operasionalisasi becak, Sigit belum dapat menjelaskan secara detail (Kompas, 10/10/2018).
Menanggapi hal tersebut, pengamat transportasi Universitas Katolik Soegijapranata Semarang, Djoko Setiowarno, berpendapat, sebenarnya moda angkutan becak sudah tidak lagi bisa bersaing dengan moda lain, misalnya ojek daring. ”Rata-rata pengayuh becak merupakan orang yang usianya sudah lanjut, anak muda tidak lagi berminat,” ujar Djoko.
Selain itu, Djoko juga mengingatkan agar kebijakan menghidupkan kembali becak tak hanya menjadi perwujudan kontrak politik. Ia menilai seharusnya ada langkah strategis yang dipikirkan Pemprov Jakarta soal kebijakan itu, misalnya membatasi daerah operasi becak hanya di lokasi wisata.
”Titik pentingnya, saya rasa, kebijakan harus bisa menaikkan taraf hidup sasarannya,” kata Djoko. (PANDU WIYOGA)