Membangun Huntara, Memupus Trauma
Mata Sujono (49) berbinar saat menatap layar komputer jinjing yang menampilkan bakal rumah sementaranya. Ukurannya bakal 6 meter x 4 meter, karya Muhammad Ramdani (25), arsitek asal Palu. Interaksi itu awal melawan trauma.
"Apakah tinggi rumah bisa dikurangi? Di sini angin lembahnya kencang. Saya khawatir rumah bisa terbang ditiup angin," kata Sujono, berdiskusi di teras rumah lama yang ambruk akibat gempa, Selasa (16/10/2018) siang.
"Bisa, pak. Paling tinggi 2,5 meter. Terasnya juga dibuat tidak langsung hadap ke lembah untuk kurangi tiupan angin," kata Dani. Sujono mengangguk.
Diskusi semacam ini lazim dilakukan Dani saat menyodorkan desain pada konsumennya. Kali ini beda. Tanpa imbalan, ia berbagi keahlian pada Sujono, penyintas gempa Magnitudo 7,4 asal Loru, Kabupaten Sigi.
"Semoga apa yang saya bisa turut meringankan penyintas bencana," kata Dani yang urung mengungsi ke rumah kerabat di Bandung, Jawa Barat, demi mendampingi para penyintas.
Dihajar gempa, rumah Sujono nyaris rata tanah. Tak ada korban jiwa. Sejak itu juga ia tinggal di pengungsian padat dan minim sanitasi. Padahal, ia butuh lingkungan sehat. Setahun terakhir, ia menderita kanker getah bening.
Atas dasar itu, Sujono memupuk harapan membuat hunian sementara sendiri. Di tengah sisa tenaga, ia kumpulkan barang-barang yang masih layak pakai. Masalahnya, ia tak punya cukup tenaga.
Ketekunan mengangkat kayu dan batako bekas itu dilihat Sopyan dan Rizki, relawan Kotaku Siaga Makassar. "Kebetulan kami berjejaring dengan relawan berlatar belakang arsitektur. Ada gerakan pilih, pilah, pulih yang kami gagas bersama untuk membangun hunian sementara," kata Sopyan.
Gayung bersambut, Sujono menerima ajakan itu. Ia juga tak keberatan dengan syarat harus ikut bekerja membangun huntara. Ia ingin melanjutkan hidup pascabencana, mandiri tanpa bergantung di pengungsian.
"Saya terbiasa bekerja, sulit kalau diam saja. Bahkan, saat kena kanker, saya masih bekerja di ladang agar tubuh dan otak tetap sehat," ujar petani dan penjual bensin eceran ini.
Hadapi trauma
Gerakan pilah, pilih, dan pulih inisiasi beragam pihak dari berbagai komunitas. Banyak relawannya arsitek. Mereka bergabung dalam Ikatan Arsitek Indonesia (IAI), Mahasiswa Arsitek Indonesia (MAI), hingga Arsitektur Komunitas (Arkom).
Riswandi Syam (25) relawan MAI, mengatakan, gerakan ini kerja swadaya bersama memanfaatkan material reruntuhan pascagempa untuk membuat hunian sementara. Selain di Loru, mereka juga berkarya di Tompe dan Wani (Donggala), serta Mamboro (Palu).
Akan tetapi, kata Riswandi, hunian sementara bukan satu-satunya tujuan utama. Pelibatan masyarakat dan mengajak mereka kembali bekerja jadi nilai penting. Dengan kembali membangun daerah bencana lewat tangan sendiri, trauma diharapkan ditekan. "Ini juga jadi cara saya bangkit, setelah kehilangan ibu yang jadi korban gempa. Semua karya di sini diberikan untuk almarhumah ibu dan semua korban gempa-tsunami Sulteng," katanya.
Manfaat gerakan ini mulai dirasakan M Amin (25) warga Loru lainnya, saat ikut mendirikan septiktank MCK menggunakan batako reruntuhan rumah. Tubuhnya kembali aktif bergerak setelah hanya menganggur di pengungsian. Pilah, pilih, pulih membuat keringatnya menetes dan otot lengannya kembali menegang melawan hantu trauma.
Pendamping gerakan ini, Mohamad Nawir mengatakan, keresahan sebagian korban bencana Sulteng, jamak terjadi di tempat lain. Ia saksi mata, mulai Aceh pascatsunami 2004 hingga pascagempa Lombok 2018. Terlalu lama tinggal di pengungsian membuat trauma sulit pulih.
"Bekerja bersama-sama efektif menekan trauma. Komunikasi antarwarga yang sempat hilang terbangun. Tak hanya sekadar mengungkit masa lalu, tapi membuka ruang dialog cara melangkah ke depan,” katanya.
Di Aceh, ia dan relawan lain bergerak dalam program “People Driven” mempopulerkan slogan woe gampong (pulang kampung) mendampingi banyak pengungsi tsunami membangun huntara di Aceh Besar dan Banda Aceh. Ada 3.331 huntara dibuat dengan bahan bangunan sisa tanpa kontraktor.
“Bagian tak kalah penting, saat kami mempromosikan rumah bercakar ayam. Mangrove kembali ditanam guna mengurangi dampak bencana di kemudian hari,” katanya.
Sekitar 14 tahun kemudian, cara serupa diterapkan di Lombok. Lewat gerakan Lombok Bangkit, ia kembali turut mempromosikan pembuatan huntara bergaya rumah sasak khas Lombok. Rangkanya bambu beratap sirap. Bahan-bahannya juga diambil dari sisa reruntuhan.
"Saat ini sudah berdiri 20 huntara di tiga desa di Lombok Barat. Masih ada warga tiga desa lain yang sudah mengajukan diri. Semoga jadi pelatuk agar warga hidup aman bersama bencana," kata dia.
Tambah ilmu
Peran jadi pelatuk itu juga yang dibangun relawan lewat huntara bagi Sujono. "Sudah ada tetangga yang datang bertanya tentang rumah saya. Perlahan, pasti ada yang tertarik," kata dia, Kamis (18/10/2018).
Kemarin, tangan-tangan cekatan Sujono bekerja dibantu relawan. Semangat seperti melawan kanker yang menggerogoti tubuhnya. Diantara terik matahari, tiang-tiang kayu ukuran 57 ditegakan jadi pondasi. Seng, papan, dan terpal yang sudah dipilih dan dipilah seminggu sebelumnya, digunakan sebagai atap dan dinding.
Tak hanya rumah baru baginya, Sujono mengaku banyak transfer ilmu membangun rumah di daerah gempa, termasuk soal pondasi rumah. Membangun huntara, bagi Sujono, juga terapi atas trauma.