Merajut Tenun-tenun Bertutur
Dua perempuan itu berhadap-hadapan. Kedua kakinya nyaris saling bertumpu. Sudah tiga jam mereka terlarut dalam keasyikan gemelitik alat tenun bedog. Mereka tengah menyiapkan kain ulos untuk pernikahan saudara.
Pesta Boru Manalu (57) dan putri ketiganya Elni Simorangkir (30) seperti berbagi tugas. Sang ibu melaksanakan tugas paling sulit dalam proses menenun, yaitu membuat pola, sementara Elni tinggal menenun untaian benang yang sudah ditata motifnya menggunakan 10 batang lidi.
“Ini pola yang tergolong masih sederhana dengan 10 lidi. Motif yang paling rumit sampai menggunakan 60 batang lidi,” ujar Elni yang setahun terakhir pulang kampung ke Tarutung, Tapanuli Utara setelah 10 tahun lebih merantau di Jakarta.
Ibunya berkata, 10 tahun bekerja di ibu kota, Elni tak juga ada perkembangan. Karena itulah, Pesta langsung menelepon putrinya agar segera pulang ke kampung halaman membantu dirinya menenun.
Dengan gaji standar UMR DKI Jakarta waktu itu Rp 3,3 juta per bulan, pendapatan Elni di ibu kota jauh di bawah hasil menenun di Tarutung. Bagaimana tidak, dari hasil menenun selama satu hingga dua minggu dia bisa menghasilkan satu stel (tiga lembar) kain tenun seharga Rp 2-2,5 juta atau Rp 4,5 juta per stel untuk tenun pengantin. Dalam waktu sebulan, tentu produksi tenun dan uang yang dihasilkan semakin banyak.
Setahun lalu, Elni akhirnya pulang ke Tarutung dan memulai kegiatan lamanya, menenun sembari membuka usaha salon dan rias pengantin di kota. Bagi keluarga Elni, menenun adalah kegiatan turun-temurun, tujuh dari anak putri dari 10 anak di keluarganya semua mahir menenun.
Kepada anak-anaknya, Pesta dan suaminya Radiel Simorangkir (63) selalu memberikan pehamanan tentang makna di setiap pola-pola dan warna tenun yang mereka rajut. Kain ulos atau tenun dengan warna-warna gelap biasanya digunakan dalam upacara kematian, sementara warna-warna cerah lebih banyak dipakai di upacara-upacara pernikahan.
Tanda saluran berkat
Tradisi menenun kain ulos masih terus-menerus diturunkan dari generasi satu ke generasi berikutnya di daerah Tapanuli Utara dan sekitarnya. Bagi masyarakat Batak, ulos menjadi saluran berkat dari orang tua ke anak-anak mereka.
Terkesan dengan aneka macam tenun Batak dengan segala makna di dalamnya, Kolektor tenun Vilidius R.P Siburian selama bertahun-tahun setia mengumpulkan aneka macam ulos Batak. Puluhan kain ulos koleksinya turut memeriahkan Pameran Tenun Nusantara yang menjadi salah satu rangkaian dari Festival Tenun Nusantara di Sopo Partukkoan,Tarutung, Tapanuli Utara 13-17 Oktober 2018.
Pameran tersebut menampilkan satu kain ulos tertua bernama Ulos Runjat khas Batak Toba berumur sekitar 150 tahun. Ulos Runjat merupakan ulos khas daerah Porsea dan sekitarnya yang pada zaman dahulu menjadi penunjuk status sosial seseorang. Dulu, kain ini dimanfaatkan sebagai sarung atau selendang oleh kalangan kaum Bangsawan Batak Toba.
Tampak dipamerkan pula di Sopo Partukkoan, kain Uis Julu khas Karo. Kain ini dipakai sebagai sarung bagi pria maupun wanita. Dalam ritual, Uis Julu biasa diberikan oleh orang tua kepada anak perempuannya yang hendak melahirkan. Harapannya, sang ibu dan bayi nantinya akan terlindungi. Pada upacara ritual kematian, kain ini akan dikembalikan kepada pihak perempuan apabila sang suami meninggal dunia.
Ada pula Ulos Heteran khas Batak Toba yang juga disebut Ulos Sibolang Marheter. Kain ini disebut Heteran karena motifnya berderet beriringan dari ujung ke ujung.
Ulos yang dipakai sebagai sarung ini biasa diberikan orang tua pengantin perempuan kepada anak perempuannya pada saat pesta pernikahan. Dengan memberikan ulos tersebut, orang tua berharap segala sesuatu yang baik akan datang berderetan atau beriringan setelah pernikahan.
“Ulos menjadi media penyampai doa-doa orang tua kepada anak-anaknya. Ulos berfungsi menjadi saluran berkat,” terang Vilidius.
Seiring perkembangan zaman, kini banyak motif-motif tenun tua Batak yang nyaris hilang atau tak pernah dibuat lagi oleh para petenun. Sebaliknya, karena tergoda membuat kreasi-kreasi baru, banyak petenun yang cenderung memilih membuat tenun dengan benang-benang pabrikan berwarna cerah mencolok.
Menurut Vilidius, pewarisan makna-makna tenun yang begitu dalam dan bermacam-macam menjadi sangat penting agar motif-motif tenun lama Batak tetap bisa dipertahankan. Dengan memahami makna serta proses panjang di baliknya, maka banyak penikmat tenun akan tertarik untuk membeli atau mengoleksi tenun-tenun tersebut.
Desakan ekonomi
Ketua Perkumpulan Wastra Indonesia Bhimanto Suwastoyo menambahkan, saat ini petenun memiliki tantangan riil yaitu desakan kebutuhan ekonomi. Dengan kebutuhan ekonomi, mereka kini dituntut untuk lebih cepat memproduksi dan kemudian segera menjual tenun-tenunnya ke toke atau pengepul.
Karena dikejar waktu dan kebutuhan ekonomi, banyak petenun akhirnya lebih memilih memanfaatkan benang dan bahan pabrikan agar kain tenun cepat jadi dan segera terjual. Sementara itu, jika mereka bertahan membuat tenun dengan bahan benang yang memanfaatkan pewarnaan alami, mereka mesti mewarnai dan menenun selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun.
“Di sinilah kita mesti lebih memahami proses panjang para petenun dalam berkarya. Wajar sekali jika tenun dengan bahan alami dijual mahal karena memang prosesnya panjang dan membutuhkan ketelatenan. Orang akan memahami bagaimana keagungan karya tenun jika tahu prosesnya,” ucapnya.
Sekarang, banyak pencinta tenun yang lebih memilih tenun-tenun dengan warna-warna lembut yang menggunakan pewarna alami dibanding tenun-tenun berbahan pewarna kimia. Ini peluang bagi para perajin tenun untuk kembali memproduksi tenun-tenun berbahan alami yang material dasarnya menggunakan bahan-bahan alami, seperti akar pohon mengkudu, daun indigo, lumpur dan sebagainya.
Dalam rangka mengangkat kembali derajat tenun tradisional, Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dengan platform kebudayaan Indonesiana menggelar Festival Tenun Nusantara di Tapanuli Utara. Festival ini diisi dengan sejumlah rangkaian kegiatan, seperti Pameran Tenun Nusantara, Permainan Tradisional Anak, Simposium Nasional Tenun Nusantara, Boot Camp Partonun, pesta budaya rakyat "Ulaon Matumona", pertunjukan tari, musik, teater tradisional, Opera Batak dan Fashion Show. Penghujung festival ini ditutup dengan meriah dengan fashion show yang mengangkat tema Ulos Batak in Innovation.