Mewujudkan Kampanye Bermutu
Kampanye Pemilu 2019 yang bermutu belum juga hadir. Dibutuhkan upaya dari berbagai pihak untuk tidak menganggap lumrah kondisi ini dan menghadirkan kampanye yang lebih bermutu.
Sekitar delapan bulan masa kampanye Pemilihan Presiden 2019, yaitu 23 September 2018-13 April 2018, semestinya menjadi saat untuk menyosialisasikan visi-misi serta program kerja para kandidat. Namun, nyaris satu bulan pertama masa kampanye berlangsung, suasana kontestasi di antara dua pasang kandidat peserta pemilihan presiden, yaitu Joko Widodo-Ma’ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, lebih diwarnai kegaduhan yang tak substantif serta saling serang tanpa berbasis data dan fakta.
Kondisi itu ikut membuat sampai hari ini publik pun belum memperoleh informasi memadai tentang visi, misi, dan program setiap pasangan calon (paslon).
Hasil jajak pendapat Litbang Kompas pada 10-11 Oktober 2018 terhadap 457 responden di 16 kota besar di Indonesia menunjukkan, hanya 15,8 persen responden yang mengetahui visi-misi Jokowi-Ma’ruf dan hanya 11,6 persen yang mengetahui visi-misi Prabowo-Sandiaga (Kompas, 15/10/2018).
Padahal, pengetahuan tentang misi-visi tersebut semestinya amat dibutuhkan masyarakat saat menentukan pilihannya dalam pemilu. Dalam bagian keenam dari buku Republik, filsuf Yunani, Plato, mendeskripsikan percakapan antara Socrates, gurunya, dan seorang bernama Adeimantus. Socrates mengibaratkan demokrasi seperti perjalanan kapal di tengah cuaca buruk.
Ia bertanya kepada Adeimantus, ”Idealnya, siapa yang sebaiknya menentukan sosok kapten yang akan memandu kapal itu? Siapa pun penumpang yang ada di kapal itu atau awak kapal dan orang-orang yang paham betul tentang teknik pelayaran?” Adeimantus menjawab, ”Tentu saja yang terakhir.”
Kemudian Socrates berkata, ”Lalu kenapa sosok pemimpin suatu negara bisa ditentukan oleh siapa pun secara acak, baik terdidik maupun tidak?”
Argumentasi Socrates, kegiatan memilih dalam pemilu adalah suatu bentuk keahlian. Masyarakat irasional yang mudah terbawa narasi dan manipulasi elite politik seharusnya tidak dibiarkan memilih karena itu ibarat membiarkan penumpang yang tidak tahu apa-apa memandu kapal di tengah badai.
Tanggung jawab bersama
Dalam acara bincang Satu Meja di KompasTV yang dipandu Pemimpin Redaksi Harian Kompas Budiman Tanuredjo, Rabu (17/10/2018), para narasumber yang hadir sepakat bahwa mewujudkan kampanye pemilu yang bermutu dan mendorong pendidikan politik bagi masyarakat pemilih menjadi tanggung jawab semua pihak.
Kampanye gaduh yang minim gagasan dan solusi saat ini muncul karena satu siklus kegaduhan yang diproduksi, didistribusi, dan ditelan mentah- mentah oleh elite politik, media massa, serta masyarakat.
Hadir dalam acara tersebut sebagai narasumber, anggota timses Jokowi-Ma’ruf, Inas Nasrullah dan Budiman Sudjatmiko; Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Andi Arief; anggota timses Prabowo-Sandiaga, Ferry Juliantono; sosiolog Universitas Indonesia Imam Prasodjo; serta pemerhati komunikasi politik Effendi Gazali.
Andi Arief menuturkan, para paslon memang belum mengeluarkan gagasan dan program intinya. Ini, antara lain, karena melihat masyarakat yang lebih menyukai isu-isu yang tidak substansial.
Inas mencontohkan, ketika ia menyosialisasikan program Jokowi-Ma’ruf berupa bantuan usaha untuk perempuan di daerah, peserta tidak bertanya tentang cara mereka mendaftar program tersebut.
”Yang ditanyakan adalah gosip politik, apakah benar Pak Prabowo itu begini, apa iya Pak Jokowi itu begitu? Ketika kami paparkan program, mereka mengantuk,” katanya.
Senada, Budiman, yang aktif di media sosial, mengatakan, setiap kali dia berkicau di Twitter tentang program Jokowi-Ma’ruf, jumlah retweet yang didapat lebih sedikit dibandingkan dengan jika ia mengomentari pernyataan lawan politik. ”Di medsos, siapa pun bisa menjadi produsen dan konsumen. Mau 100 orang cerdas berkumpul dalam jumlah banyak pun, kecerdasannya bisa berkurang dan ikut menjadi emosional,” ujarnya.
Ironisnya, institusi pers yang seharusnya menjadi pengontrol dan pelurus fakta ikut terbawa dalam kegaduhan yang diciptakan elite serta dinikmati publik.
”Kami melayani pertanyaan media daripada dianggap melarikan diri dari pertanyaan. Yang ditanya memang biasanya bukan gagasan dan program, melainkan isu-isu, hoaks, dan kegaduhan di medsos,” lanjut Budiman.
Sementara itu, Ferry menyoroti pemilik media yang juga terjun dalam politik praktis pada 2019 sehingga memengaruhi independensi medianya dalam pemberitaan.
Perlawanan
Menurut Effendi, pemilih rasional biasanya memang lebih sedikit. Akibatnya, nuansa kampanye umumnya ditentukan oleh mayoritas pemilih yang lebih menyukai isu nonsubstansial. Kendati demikian, diperlukan perlawanan dan pengawalan untuk tidak menganggap lumrah kondisi ini dan menghadirkan kampanye yang bermutu.
Terkait dengan hal tersebut, elite politik mesti dapat menahan diri untuk tidak berkampanye dengan menyebar informasi palsu atau serangan yang tidak berbasis data. Penantang memang boleh menagih janji kampanye yang dulu disampaikan calon petahana, tetapi belum direalisasikan. Akan tetapi, hal itu tetap harus berbasis data dan tidak mengandaikan sesuatu yang basisnya bersifat prediksi.
Di saat yang sama, pers juga perlu berpijak pada kepentingan publik, bukan kepentingan politik pemilik media massa. Sementara kelompok masyarakat sipil harus muncul sebagai pengontrol dan pelurus fakta. Ia mencontohkan, saat Pilpres Amerika Serikat 2016, sejumlah kelompok masyarakat sipil dan media yang tidak partisan meluruskan pernyataan dan klaim-klaim Donald Trump ataupun Hillary Clinton agar publik tidak mudah terbawa narasi para elite.
Sementara itu, Imam meyakini masih banyak pemilih yang rasional serta mengutamakan kampanye bermutu yang berbasis gagasan dan program kerja. Ia juga yakin mayoritas masyarakat mampu membedakan argumentasi valid dengan informasi palsu yang ditujukan untuk memanipulasi emosi pemilih.
”Pada satu titik, publik akan familier dan tahu pola permainan elite. Masyarakat akan tahu kapan ia sedang dieksploitasi dengan sentimen-sentimen emosional serta kapan disuguhi informasi dan gagasan yang mencerdaskan,” katanya.
Semoga....