Muncul Gejala Xenofobia pada Pengungsi Yaman di Korsel
Oleh
Benny D Koestanto
·4 menit baca
SEOUL, KAMIS – Sekitar 550 orang pencari suaka dari Yaman telah memicu gelombang xenofobia atau ketakutan terhadap hal-hal yang berbau asing di Korea Selatan yang secara etnis homogen. Gejala itu pun menggemakan sentimen anti-imigran yang sebelumnya telah menyapu Eropa, dan relatif ikut membantu mendorong Donald Trump ke Gedung Putih di Amerika Serikat.
Berkaca dari pengalaman Eropa, terdapat lebih dari satu juta migran tiba di Jerman setelah perbatasan negara itu dibuka pada tahun 2015 untuk pencari suaka. Amerika Serikat juga sejauh ini merupakan tujuan paling populer di dunia bagi para migran.
Namun sejak era - terutama - kepemimpinan Trump, AS menahan ribuan pendatang ilegal di perbatasan mereka dengan Meksiko. Trump pun telah bersumpah untuk membangun tembok guna menjauhkan mereka dari negara itu. Di Korsel sendiri, meski jumlah pengungsi dan atau pencari suaka di negara itu jauh lebih sedikit dibanding dengan jumlah pengungsi di Eropa dan AS, nyatanya isu pengungsi telah menimbulkan ketakutan sejumlah warga.
"Apakah pemerintah gila? Orang-orang itu bisa memperkosa anak-anak perempuan kami!" adalah salah satu komentar teratas, disukai oleh ribuan orang pengguna Naver, portal Internet teratas di Korsel. Komentar itu seakan menjadi penegas setelah bulan lalu ratusan demonstran di Seoul mendesak pihak berwenang untuk mengusir apa yang mereka sebut sebagai "pengungsi palsu" itu.
Sejauh ini hampir 700.000 orang menandatangani petisi di situs web presidensial menyerukan pengetatan penerimaan warga-warga pencari suaka itu. "Eropa mungkin memiliki sejarah dengan negara-negara (bekas koloni) ... tetapi Korsel tidak memiliki kewajiban moral seperti itu," kata petisi itu.
Pengungsi sebagian besar merupakan konsep asing di negara Asia di mana hanya sekitar empat persen dari populasi adalah orang asing, sebagian besar dari China dan Asia Tenggara. Diskriminasi terhadap mereka tersebar luas.
Banyak yang secara terbuka mengejek, transportasi umum menjadi "kotor" atau "bau", dan menolak masuk ke restoran mewah atau pemandian umum. Sebuah survei pemerintah pada 2015 menunjukkan bahwa 32 persen warga Korea Selatan tidak menginginkan orang asing sebagai tetangga - jauh lebih tinggi dari 14 persen di AS dan China 12,2 persen.
Sebuah jajak pendapat baru-baru ini menunjukkan sekitar separuh warga Korsel menentang menerima pencari suaka Yaman, dengan 39 persen setuju dan 12 persen ragu-ragu. Sebelumnya dikabarkan, sejumlah pencari suaka asal Yaman menggunakan akses bebas visa untuk masuk ke pulau wisata, Jeju. Kebijakan bebas visa disebutkan diarahkan untuk meningkatkan kunjungan wisata ke pulau tersebut.
Park Seo-young, seorang mahasiswa 20 tahun dari Daejeon, adalah salah satu warga yang menentang proses itu. "Saya mendengar bahwa Yaman memiliki catatan yang sangat buruk dalam hak-hak perempuan ... dan saya khawatir bahwa pulau itu akan menjadi lebih berbahaya daripada sebelumnya dan tingkat kejahatan akan naik," katanya kepada AFP. Siswa lain, Han Eui-mi, menambahkan: "Mengapa mereka harus datang ke Korea ketika ada banyak negara di dekatnya?"
Sekitar 40 dari pendatang baru menginap di hotel yang tidak mencolok di Kota Jeju. Tinggal di sebuah ruangan untuk menghemat uang, mereka bergantian memasak makanan tradisional Yaman. Mohammed Salem Duhaish, salah satunya, telah diberi perlindungan oleh keluarga setempat, bersama dengan istri dan putranya yang berusia delapan bulan. Ia dulu seorang pekerja di bandara internasional Sana\'a. Ia melarikan diri setelah pemberontak Houthi - yang memerangi aliansi militer Saudi - meledakkan pangkalan udara di dekatnya.
Duhaish membayar broker 600 dollar AS untuk mendapatkan visa ke Oman. Dari sana, ia pergi ke Malaysia dan bekerja secara ilegal selama tiga tahun. Pria 33 tahun itu pernah berharap untuk pergi ke AS, di mana ia memiliki beberapa kerabat, tetapi menyerah pada rencana itu setelah Trump menerapkan kebijakan anti-imigrasi saat menjadi presiden. Lalu ia pun memutuskan menuju Korea Selatan. Duhaish mengaku tahu tentang negara itu dari drama televisi Korea yang populer di Asia.
Banyak warga Yaman lainnya yang tinggal di Jeju, sebelumnya juga menghabiskan waktu bertahun-tahun di Malaysia. Mereka bertanya apakah sudah memiliki kesempatan untuk meminta suaka.
Cara memperlakukan orang seperti Duhaish akan menjadi ujian kunci implementasi hak asasi manusia di Korsel, demikian dikatakan Kyunghyang yang berhaluan kiri di Seoul. Ia menilai warga Korsel patut melihat kembali pengalaman serupa di negerinya. Jutaan orang diyakini telah melarikan diri dari Semenanjung Korea selama penjajahan brutal 1910-1945 oleh Jepang dan Perang Korea 1950-1953.
"Semua peristiwa tragis dalam sejarah modern kami mendorong orang-orang yang tak terhitung jumlahnya meninggalkan negara itu bertentangan dengan keinginan mereka dan bergantung pada niat baik orang lain di negara lain," katanya. "Merangkul para pengungsi ini adalah kesempatan bagi kami untuk membayar kembali utang yang kami miliki kepada masyarakat internasional." kata Kyunghyang. (AFP)