Kabul, Kamis-Perempuan Afghanistan berharap bisa membuat perubahan lewat pemilu yang akan berlangsung pada Sabtu (18/10/2018). Legislator perempuan akan membuka peluang membuat peraturan yang ramah perempuan.
Salah seorang calon anggota legislatif Afghanistan, Hameeda Danesh (29), menyatakan ingin menjadi anggota parlemen karena ingin membuat perubahan. “Saya berjuang, karena seharusnya tidak ada perempuan boleh mengalami penyiksaan ini,” ujarnya.
Ia pernah dikurung dan disiksa keluarganya karena ingin sekolah. Parut bekas luka akibat siksaan itu masih ada sampai sekarang. Ia menyatakan pemilu sekarang penting. “kami membutuhkan generasi baru,” ujarnya.
Generasi baru
Generasi baru anggota parlemen itu untuk menghadang para panglima perang, komandan milisi, dan orang konservatif yang menguasai Afghanistan. Dalam penguasaan mereka, Afghanistan tidak banyak berubah soal perempuan. Sampai sekarang, masih ada diskriminasi terstruktur pada perempuan di Afghanistan.
Upaya meloloskan undang-undang yang menjamin perempuan mendapat perlindungan dari kekerasan dan hak bekerja serta pendidikan terus ditentang.
“Banyak anggota parlemen menentang aturan itu karena mereka tidak suka bagian yang membolehkan perempuan bekerja di luar rumah, jaminan pendidikan, hak perempuan untuk bercerai atau perlindungan dari suaminya,” kata penggiat HAM Afghanistan Abdul Wadood Pedram.
Undang-undang yang disinggung pimpinan organisasi yang fokus pada pengurangan kekerasan terhadap perempuan itu sudah 10 tahun diusulkan. Sampai sekarang, rancangan undang-undang itu tidak kunjung disetujui.
Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) mencatat 87 persen perempuan Afghanistan pernah mengalami kekerasan fisik, psikologis, dan seksual. Pengadilan tradisi, seperti forum Jirga di suku-suku, melemahkan upaya mereformasi hukum. Perempuan yang menghindari kekerasan malah dikenai dipidana dengan tuduhan melakukan kejahatan moral.
Banyak perempuan Afghanistan dipenjara karena dakwaan itu. Mereka dituduh berzinah oleh suami mereka yang kasar. Tuduhan itu dilontarkan bila mereka meminta cerai. Banyak perempuan dipenjara jika ingin meninggalkan pernikahan yang penuh kekerasan. Pihak yang paling sering memenjarakan mereka adalah orangtua atau mertua mereka. Kondisi itu masih terus terjadi, meski Taliban yang konservatif sudah tersingkir selama 17 tahun.
Pedram mengatakan, memang ada perubahan setelah Taliban tersingkir. Anak perempuan bisa sekolah dan perempuan bisa jadi penyiar televisi atau anggota parlemen.
Namun, perubahan itu rawan hilang. Sebab, banyak pihak menentang hak perempuan. Penentangan itu mengakar pada kebudayaan dan tradisi Afghanistan. “Ide Taliban bukan hal asing, itu dari masyarakat kami. Karena itu pemilu ini sangat penting. Kemampauan kita menjaga hak-hak ini, kemajuan ini, tergantung pada pemilu dan orang yang kita pilih,” ujarnya. (AP)