JAKARTA, KOMPAS — Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia mengapresiasi komitmen politik pemerintahan Joko Widodo yang tercantum dalam Nawa Cita yang berbunyi ”Menghormati HAM dan penyelesaian secara berkeadilan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu”. Namun, untuk kasus pelanggaran HAM berat, rapornya masih merah.
”Sampai saat ini belum ada langkah konkret dari Jaksa Agung untuk menindaklanjuti hasil penyelidikan kasus pelanggaran HAM berat sejak 2002. Menurut saya, ini menjadi rapor merah bagi pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla selama empat tahun,” kata Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik, di Jakarta, Jumat (19/10/2018).
Berkas-berkas kasus yang telah diserahkan Komnas HAM kepada Jaksa Agung antara lain peristiwa 1965/1966, peristiwa penembakan misterius (petrus) 1982-1985, peristiwa penghilangan paksa aktivis tahun 1997-1998, peristiwa Trisakti, Semanggi I dan II tahun 1998, peristiwa Talangsari tahun 1989, peristiwa kerusuhan Mei 1998, dan peristiwa Wasior Wamena 2000-2003.
”Komnas HAM juga telah menambah tiga berkas lainnya, yaitu kasus Jambu Kepok di Aceh, kasus Simpang KAA, dan paling akhir kasus Rumah Geudong yang diserahkan kepada Jaksa Agung bulan Agustus lalu,” kata Taufan dalam keterangan pers mengenai Empat Tahun Pemerintahan Jokowi-JK dan Penegakan HAM.
Dari 11 laporan hasil penyelidikan, belum satu pun yang diselesaikan. Taufan mengemukakan, ketidakjelasan atas penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat adalah bentuk dari pengingkaran atas keadilan atau justice delayed is justice denied.
Ketidakjelasan atas penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat adalah bentuk dari pengingkaran atas keadilan atau justice delayed is justice denied.
Sebatas komitmen
Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM, Mohammad Choirul Anam, menyatakan, ada sinyal komitmen yang lumayan dari pemerintahan Jokowi-JK. Hal ini dibuktikan dari adanya pertemuan Jokowi dengan para korban kasus pelanggaran HAM berat pada Mei.
”Tak hanya itu, sinyal penyelesaian pun pernah disinggung dalam pidato kenegaraan Presiden Jokowi saat menyambut HUT Kemerdekaan RI di hadapan sidang bersama DPR dan DPD pada 16 Agustus lalu,” papar Anam.
Anam juga menegaskan, komitmen itu memang ada dalam level pemerintah. Namun, komitmen tentu tak efektif selama tak ada progres yang cukup signifikan dalam membenahi kasus-kasus pelanggaran HAM berat. ”Orientasi politik HAM masih sebatas perintah yang tidak ada tindak lanjutnya. Pengawasan pun tidak ada,” ucapnya.
Sebenarnya kasus-kasus pelanggaran HAM berat dapat segera diselesaikan. Presiden hanya perlu memerintahkan Jaksa Agung untuk segera membentuk tim penyidik. Namun, yang terjadi, pemerintah melalui Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan malah mewacanakan penyelesaian pelanggaran HAM berat melalui upaya rekonsiliasi dengan membentuk tim terpadu.
Berdasarkan catatan Kompas (20/9/2018), tim terpadu bentukan pemerintah terdiri dari Kejaksaan Agung serta Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Lembaga-lembaga ini baru mengkaji dua dari tujuh peristiwa yang telah diselidiki Komnas HAM, yaitu Wasior dan Wamena. Alasannya, dua peristiwa itu merupakan pelanggaran HAM berat masa lalu yang paling mungkin dikerjakan saat ini.
Pada sisi lain, Anam mengatakan, penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat sebaiknya tetap dituntaskan dalam yurisdiksi hukum nasional. Jangan sampai dunia internasional turut campur dalam menyelesaikannya. Sebab, dunia internasional telah berkomitmen meniadakan impunitas.
Hak korban terhambat
Wakil Ketua Komnas HAM Bidang Eksternal Sandrayati Moniaga mengapresiasi kinerja pemerintah saat ini. Tak dimungkiri, hak bagi para korban kasus pelanggaran HAM berat pun mulai diberikan sebagian.
”Memang baru sebagian kecil korban kasus pelanggaran HAM berat yang telah menerima hak bantuan medis, psikologis, dan rehabilitasi psikososial. Namun, untuk mendapat hak kompensasi dan restitusi, perlu adanya putusan pengadilan,” kata Sandrayati.
Ketidakjelasan status korban dari peristiwa penghilangan paksa aktivis tahun 1997-1998 juga menjadi persoalan. Komisioner Pemantauan dan Penyelidikan, Amiruddin, menyatakan, status korban hilang akan tetap seperti di dalam kartu keluarganya. ”Status hanya bisa dipastikan ketika ada pengadilan yang memutuskan,” ucapnya.
Taufan menambahkan, pekerjaan rumah yang menanti penyelesaian pemerintahan Jokowi-JK memang masih banyak, ditambah dengan sisa waktu pemerintahan yang tinggal beberapa bulan lagi. Pemerintah seharusnya menetapkan skala prioritas dalam penyelesaiannya.
”Terkait dengan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat, sebenarnya yang utama dibutuhkan adalah political will dari pemerintah. Hal ini penting sebagai wujud pelaksanaan amanah dari konstitusi UUD 1945,” kata Taufan tegas. (SHARON PATRICIA)