NAMLEA, KOMPAS - Penyelidikan kasus tambang liar di Gunung Botak, Pulau Buru, Maluku, oleh Badan Reserse Kriminal Polri dan Polda Maluku masih berlangsung. Terungkap dugaan setoran dari para pengelola tambang kepada sejumlah pihak minimal Rp 16 miliar setiap bulan.
Informasi setoran terungkap dari dialog singkat Kepala Polda Maluku Inspektur Jenderal Royke Lumowa dengan Ajun Komisaris Besar Aditya Budi Satrio, yang baru saja diganti dari jabatan Kepala Polres Buru. Hingga Kamis (18/10/2018), Royke ada di Pulau Buru untuk melihat langsung kondisi Gunung Botak.
“Berapa banyak rendaman?” tanya Royke kepada Aditya. “Sekitar 2.000 buah, Jenderal. Katanya Rp 4 juta per bulan untuk satu rendaman. Satu bulan rendaman dipanen dua kali, jadi setor juga dua kali,” jawab Aditya. Dialog itu di salah satu rumah makan di Pulau Buru.
Dengan demikian, dalam satu bulan, total setoran dari pengolah emas yang menggunakan metode rendaman sebesar Rp 16 miliar. Padahal, metode rendaman yang menggunakan sianida itu hanyalah satu dari tiga metode yang dipakai di Gunung Botak. Dua metode lain metode tromol menggunakan merkuri dan metode dompeng menggunakan karpet penyerap emas.
Pengolah emas dengan metode tromol dan dompeng, yang berjumlah ribuan itu, juga turut menyetor. Artinya, Rp 16 miliar itu jumlah setoran paling minim. Itu belum termasuk biaya masuk ke areal tambang.
“Setoran itu diberikan kepada siapa?” tanya Royke dengan mimik serius serta tatapan tajam ke arah Aditya. “Siap, diberikan kepada koordinator tambang, warga yang mengaku punya lahan,” jawab Aditya. Royke mengaku mendengar informasi setoran juga untuk aparat.
Royke menegaskan akan menyelidiki informasi tentang setoran dan memprosesnya. Kondisi saling menguntungkan itu menyebabkan tambang liar langgeng. Aktivitas tambang liar yang beroperasi sejak Oktober 2011 itu puluhan kali ditutup, tapi kembali dibuka petambang.
“Kami akan cari tahu siapa broker, koordinator, donatur, dan penerima setoran,” ujar Royke. Keberadaannya di Gunung Botak untuk memastikan tidak ada lagi aktivitas tambang liar. Penutupan dilakukan di tengah pesimisme dan ketidakpercayaan publik terhadap kinerja aparat menyelesaikan kasus Gunung Botak.
Berdasar kesepakatan forum komunikasi pimpinan daerah di Maluku pekan lalu, aktivitas perusahaan-perusahaan pengolah emas di Gunung Botak juga dihentikan sementara untuk dievaluasi. Evaluasi terkait perijinan dan pelaksanaan di lapangan. Sejumlah pimpinan perusahaan dipanggil Badan Reserse Kriminal Polri untuk diperiksa.
Penghentian sementara operasional perusahaan itu harus melalui surat keputusan gubernur. Namun, hingga Kamis malam, surat belum ditandatangani Gubernur Maluku Said Assagaff. “Draf surat keputusan sudah selesai, menunggu tanda tangan Pak Gubernur. Beliau sedang bertugas di luar daerah,” kata Kepala Biro Hukum Pemerintah Provinsi Maluku Hendry Far Far.