Rencana operasionalisasi layanan taksi daring di Korsel menghadapi perlawanan dari sopir taksi konvensional yang merasa pekerjaan dan mata pencarian mereka terancam.
SEOUL, KAMIS Puluhan ribu sopir taksi konvensional di Korea Selatan, Kamis (18/10/2018), menolak rencana layanan taksi daring yang akan dioperasikan oleh Kakao Mobility, unit dalam perusahaan operator aplikasi obrolan atau chat Kakao Corp. Mereka khawatir taksi daring akan mematikan industri taksi dan, jika itu terjadi, sopir taksi akan kehilangan mata pencarian.
”Industri taksi pasti akan mati,” kata Lee Sun-joo yang sudah 30 tahun menjadi sopir taksi dan bekerja selama 12 jam setiap hari serta mendapatkan penghasilan 1.762 dollar AS (sekitar Rp 26,7 juta) per bulan itu.
Setelah mengakuisisi operator taksi daring domestik, Luxi, dari Hyundai Motor, Februari lalu, Kakao Mobility mulai merekrut sopir taksi daring. Agar tidak mematikan taksi konvensional, taksi daring Kakao berjanji hanya beroperasi pada jam sibuk, seperti berangkat dan pulang kantor, untuk membantu mengatasi tingkat kebutuhan taksi yang tinggi.
Taksi daring Kakao berjanji hanya beroperasi pada jam sibuk, seperti berangkat dan pulang kantor.
Selama ini, warga Seoul kerap mengeluh sulitnya mencari taksi di jam sibuk. Padahal, di Korsel sudah ada 270.000 sopir taksi.
Aplikasi taksi daring Kakao itu mencocokkan antara pengendara taksi daring dan penumpang yang mencari tumpangan ke arah yang sama. Dalam peraturan setempat, kendaraan pribadi tidak boleh digunakan sebagai kendaraan komersial. Namun, pemilik kendaraan pribadi itu boleh menawarkan jasa tumpangan kepada orang dengan perjalanan searah. Namun, itu hanya boleh dilakukan saat jam-jam sibuk.
Kakao berencana taksi daring akan dimulai pada akhir tahun ini. Namun, akan dirundingkan terlebih dahulu dengan industri taksi, asosiasi taksi, asosiasi pengendara taksi, dan pihak-pihak yang berkepentingan.
Penolakan dari taksi konvensional ini jadi tantangan bagi layanan transportasi daring. Pasar taksi daring di Seoul sangat besar. Hampir semua kini memanfaatkan aplikasi di telepon genggam. Usaha transportasi daring, seperti Uber Technology dari AS dan sejumlah usaha rintisan lain di Korsel, terganjal taksi konvensional dan aturan pemerintah.
Tanpa dukungan
Penolakan dari sopir taksi itu juga dilematis bagi Pemerintah Korsel yang mendukung peningkatan kesejahteraan buruh. Taksi daring ini diharapkan akan dapat mengatasi masalah pengangguran tinggi di Korsel.
Dengan kondisi perekonomian yang lesu, pemerintah berjanji mendorong industri baru supaya tidak selalu tergantung pada perusahaan besar, seperti Samsung dan Hyundai. ”Kalau pemerintah ribut terus soal peraturan, Korsel bisa tertinggal pasar global,” kata Kepala Penelitian Hi Investment & Securities Ko Tae-bong.
Kasus penolakan juga terjadi atas Uber pada 2015 karena ditentang taksi konvensional. Pada tahun lalu, pemerintah kota Seoul juga menuntut penyelidikan polisi terhadap Poolus, usaha taksi daring terkenal di Korsel, karena dianggap melanggar aturan transportasi. (REUTERS/LUK)