JAKARTA, KOMPAS—Gugatan perbuatan melawan hukum yang dilayangkan perusahaan kepada saksi ahli berdampak pada psikologis kaum akademisi yang seharusnya memiliki kebebasan mimbar akademis. Jika gugatan tersebut diteruskan, hal itu menjadi preseden buruk sehingga para pakar enggan diminta sebagai saksi ahli dan merugikan kualitas persidangan.
Saat ini, Bambang Hero Saharjo, Guru Besar Kehutanan Institut Pertanian Bogor dan saksi ahli kasus-kasus lingkungan, menghadapi gugatan perbuatan melawan hukum senilai Rp 510 miliar di Pengadilan Negeri Cibinong. Ia digugat PT Jatim Jaya Perkasa (JJP), perusahaan kelapa sawit yang beperkara dalam pidana perseorangan, pidana korporasi, dan perdata kasus kebakaran hutan dan lahan seluas 1.000 hektar pada tahun 2013.
Bambang Hero sebagai saksi ahli Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam perkara itu. Kesaksian Bambang Hero digunakan sebagai pertimbangan dalam vonis hakim di PN Rokan Hilir, PN Cibinong, hingga Mahkamah Agung.
Dalam kasus perdata, Mahkamah Agung mengganjar PT JJP agar membayar ganti rugi biaya pemulihan lingkungan Rp 491,03 miliar. Bukannya menjalankan putusan pengadilan, perusahaan ini menyeret Bambang Hero dalam gugatan perbuatan melawan hukum ke PN Cibinong.
”Salah satu kekhawatiran kita adalah efek psikologis. Ini Prof Hero dari IPB saja digugat. Padahal, kasus lingkungan banyak sekali di daerah yang universitasnya tak sekuat IPB. Makin takutlah mereka membantu pemerintah dan negara dalam membela lingkungan,” kata Wiwiek Awiati, pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jumat (19/10/2018), di Jakarta.
Wiwiek bergabung dalam Forum Akademisi dan Masyarakat Sipil Peduli Basuki-Bambang. Forum itu gabungan sivitas akademika dan organisasi masyarakat sipil yang menyatakan sikap dan dukungan kepada saksi ahli Bambang Hero dan Basuki Wasis. Kini Basuki menjalani gugatan oleh mantan Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam di PN Cibinong karena kesaksiannya bagi Komisi Pemberantasan Korupsi.
Azwar Maas, Guru Besar Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, resah dengan kriminalisasi terhadap para akademisi. Karena itu, Azwar yang juga menjadi saksi ahli kasus lain bergabung dengan forum tersebut agar menghentikan upaya intimidasi dan kriminalisasi terhadap kaum akademisi yang bersaksi di pengadilan.
Asmadi Saad, akademisi dari Universitas Jambi, mengatakan menyesal menjadi saksi ahli karena harus menyediakan waktu dan tenaga di luar aktivitas kampus untuk mengikuti sidang dan pemeriksaan penyidik. ”Menjadi saksi ahli tak mudah. Saya terpancing jadi saksi ahli itu panggilan,” ujarnya.
Wiwiek menegaskan, sikap forum yang meminta stop intimidasi hukum bagi sivitas akademika itu akan disampaikan ke PN Cibinong dan ditembuskan ke Mahkamah Agung. Ia berharap majelis hakim dalam putusan sela menolak gugatan.
Surat edaran
Agar kriminalisasi serupa tak terulang, Charles Simabura dari Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, meminta Mahkamah Agung mengeluarkan surat edaran. ”Kami berharap MA mengeluarkan edaran bahwa orang-orang yang memberi keterangannya di pengadilan tidak bisa digugat, baik pidana maupun perdata,” katanya.
Kami berharap MA mengeluarkan edaran bahwa orang-orang yang memberi keterangannya di pengadilan tidak bisa digugat, baik pidana maupun perdata.
Gugatan kepada Bambang Hero dilayangkan karena PT JJP memanfaatkan celah hukum pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 6 Tahun 2009 tentang Laboratorium Lingkungan. Regulasi itu mewajibkan laboratorium lingkungan memiliki sertifikat akreditasi dan laboratorium IPB belum memilikinya.
Bambang Hero mengatakan, perdebatan terkait hal ini telah selesai dibahas di semua tahapan pengadilan. Hasilnya, majelis hakim memakai penjelasannya dalam pertimbangan putusan.
Sebagai institusi perguruan tinggi, IPB patuh pada Peraturan Pemerintah No 66/2013 tentang Statuta IPB. Akreditasi dilakukan pada program studi yang antara lain menilai sarana-prasarana kampus, termasuk laboratorium. ”Kami mendapat akreditasi A, laboratorium otomatis juga terakreditasi,” katanya.