Perusakan hutan dan ekspansi perkebunan kelapa sawit mengancam kehidupan Punan Batu sebagai masyarakat pemburu dan peramu.
BULUNGAN, KOMPAS—Kehidupan warga Punan Batu di Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara, terancam akibat perusakan hutan dan ekspansi perkebunan kelapa sawit. Mereka kesulitan hidup karena hasil berburu dan meramu di hutan berkurang.
”Bagi kami, hutan adalah tempat tinggal dan mencari hidup sehingga pantang dirusak. Jika hutan rusak, kami mati lapar,” kata Maruf, anggota suku Punan Batu, Kamis (18/10/2018).
Maruf dan keluarga tinggal berpindah di hutan sekitar hulu Sungai Sajau. Mereka makan hewan buruan, ikan sungai, dan umbi-umbian hutan. Di masa lalu, mereka mencari gaharu, getah damar, dan madu. ”Kini makin susah hidup. Hewan buruan kian sedikit. Gaharu dan getah tak ada lagi, madu berkurang. Hutan rusak, terutama karena kebun sawit di mana-mana,” tuturnya.
Daerah yang dulu dihuni Punan Batu jadi perkebunan dan perladangan warga lain. Keberadaan Punan Batu terdesak ke pedalaman Sajau, Bulungan. Untuk mencapai hunian mereka, butuh tiga jam berperahu dan sehari jalan kaki.
Menurut Asut, warga Punan Batu, 10 tahun lalu panen madu hutan setahun sekali. ”Kini belum tentu tiga tahun sekali. Hasilnya kurang. Dulu satu keping dapat dua ember (10 liter), sekarang tak sampai separuh ember,” katanya.
Pohon-pohon bengkeris yang jadi sarang lebah madu ditebang perusahaan kayu. Tanaman penghasil bunga dijadikan kebun sawit. Sementara anggota suku Punan Batu yang keluar sulit beradaptasi dengan kehidupan di kota karena tak punya keahlian selain berburu dan meramu.
Mereka pun tak bisa baca-tulis. Kondisi ini dialami misalnya oleh keluarga Tilus dan Jago yang tinggal di tepi jalan lintas Tanjung Selor-Berau. ”Sepuluh tahun lalu daerah sini hutan tempat kami berburu. Kini jadi kebun orang dan perusahaan. Tiap hari kami berjalan berjam-jam ke hutan untuk berburu. Itu belum tentu dapat hasil,” kata Jago.
Menurut Maruf, dirinya melarang warga dan perusahaan merusak hutan yang jadi tempat tinggal Punan Batu. ”Mereka bilang ini tanah negara. Kami tidak diakui karena tak punya KTP (kartu tanda penduduk),” katanya.
Mereka bilang ini tanah negara. Kami tidak diakui karena tak punya KTP (kartu tanda penduduk).
Pendataan
Kepala Dinas Sosial Kalimantan Utara Sugiono mengatakan, menyusul pemberitaan di Kompas, Selasa (16/10), soal orang Punan Batu, pihaknya mendapat surat dari Direktorat Komunitas Adat Terpencil Kementerian Sosial untuk mendata dan melakukan pendampingan. ”Kami sulit mendata karena mereka berpindah di hutan, sedangkan jangkauan kami terbatas. Kami berjanji akan menindaklanjuti temuan ini,” ujarnya.
Sandi, tokoh pemuda Punan Batu, menuturkan, 10 tahun lalu Dinas Sosial membangun 16 rumah bagi mereka, tetapi ditinggalkan karena sekelilingnya jadi perkebunan sawit dan susah cari makan. Warga Punan Batu butuh identitas, jaminan kesehatan, dan pendidikan bagi anak-anak.
Selama mengikuti tim peneliti Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, yang melakukan survei genetika, banyak laporan perempuan warga Punan Batu melahirkan anaknya tanpa bantuan medis.
Lembaga Eijkman setahun terakhir melakukan pemetaan berbagai etnis di Kalimantan, termasuk di antaranya Punan Aput dan Punan Tubu di Kabupaten Malinau, selain Punan Batu di Bulungan.
Menurut Wakil Direktur Eijkman Herawati Sudoyo Supolo, masyarakat Punan memiliki ciri-ciri budaya berburu dan meramu, yang membedakan mereka dengan masyarakat lain di Kalimantan, termasuk dengan beragam etnis Dayak yang telah mengembangkan budaya bercocok tanam. Diduga mereka berasal dari gelombang migrasi yang berbeda.