Pertama kali Isnada (25) merasakan perutnya disentuh perangkat ultrasonografi di tenda kesehatan posko pengungsian Balaroa, Palu Barat, Kota Palu, Sulawesi Tengah, Kamis (18/10/2018). Ada sedikit kekhawatiran saat melihat calon bayi berusia delapan bulan dalam kandungannya terekam bergerak di layar digital. Ia takut kandungannya bermasalah, buntut jadi korban gempa dan likuefaksi tiga pekan lalu.
Saat bencana, dia sempat terjebak di dalam rumahnya. Pintu rumah seperti terkunci rapat. Dia panik dan tegang, tetapi terus mencoba membuka pintu. Usahanya berhasil dan dia berhasil keluar dari rumah. Semua itu berjalan dalam waktu yang amat singkat, sekitar 10 detik. Namun, itu menjadi pengalaman luar biasa. Sejak itu pula, dia rela tinggal berdesakan di pengungsian bersama suami dan anak sulungnya.
Hidup di pengungsian jauh dari nyaman. Makanan seadanya. Sebelum bencana, ia mengatakan sangat jarang makan mi instan. Namun, di pengungsian, mi instan kerap disantapnya.
”Kandungannya sejauh ini sehat. Beratnya sekitar 2.500 gram, tetapi jaga kesehatan terus, ya,” kata dokter Ares dari Rumah Sakit Umum SIS Al Jufri, Palu, seusai memeriksanya. Isnada lega.
Irawati, bidan tenda kesehatan, mengatakan, kesadaran ibu-ibu memeriksakan kandungan cukup baik. Sebanyak 30 ibu hamil tinggal di pengungsian Balaroa memeriksakan kandungan lewat ultrasonografi (USG). Namun, kualitas gizi asupan bagi ibu hamil masih jadi catatan.
Mereka banyak mengonsumsi mi instan dan minuman dalam kemasan. Padahal, semua sangat berbahaya bagi janin. Dia khawatir dampak buruk janin akan berlanjut sampai anak dilahirkan dan besar kelak.
”Ibu-ibu, nanti bilang sama suaminya, sediakan sayur hingga buah agar ibu dan bayi sehat,” kata Irawati kepada pasiennya.
Sejauh ini, kondisi kesehatan ibu hamil di pengungsian relatif baik. Namun, selain makanan tidak sehat, mereka juga mengalami keterbatasan akses untuk memeriksakan kesehatannya.
”Untuk menjamin mereka tetap sehat, kami berkeliling memeriksa kondisi kesehatan sekaligus mengingatkan bahaya makanan mengandung pengawet,” ujar Ares.
Makanan sehat
Hidup minim pilihan itu juga yang coba diputus sukarelawan kesehatan di tenda makanan tambahan. Dua minggu terakhir, sukarelawan rutin memberi makanan sehat bagi anak berusia di bawah 12 tahun di pengungsian, sebagian besar anak balita, sehari dua kali. Selain di Balaroa, hal serupa dilakukan di posko pengungsian Petobo, Tondo, dan Kawatuna.
”Kami ingin menekan kemunculan kasus baru anak pendek pada anak pengungsian. Korban bencana biasanya melupakan masalah gizi karena terdesak keadaan,” kata Irawati, koordinator pemberian makanan tambahan bagi anak dan anak balita di posko pengungsian Balaroa.
Berdasarkan data Kemenkes tahun 2015, persentase anak balita pendek di Sulteng berada di urutan kelima tertinggi di Indonesia, sebesar 23,9 persen. Padahal, ambang batas yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia sebesar 20 persen.
Sesi pemeriksaan kandungan dengan USG sudah hampir usai saat Sandi (25), warga Duyu, Kota Palu, datang ke Balaroa bersama istrinya, Delta (21), yang hamil tiga minggu. Buruh bangunan ini sadar, terlalu berbahaya bagi istrinya. Jalan menanjak. Cuaca panas terik. ”Saya ingin jaga kesehatan istri dan kandungannya. Anak pertama soalnya,” kata Sandi.
Akan tetapi, Sandi agak panik saat Delta bercerita dilarang dokter makan terlalu banyak mi instan. Sebagai gantinya, Delta harus sering makan buah dan sayur yang tak mudah didapat di pengungsian.
Sebelum tinggal di pengungsian, karena minim informasi, dia jarang membawa istrinya periksa kandungan sedetail itu. Mereka kini juga tidak punya simpanan uang. Namun, demi anak, dia berjanji segera cari kerja apa saja untuk beli sayur dan buah.