JAKARTA, KOMPAS — Organisasi antarbangsa multilateral, seperti Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), makin kehilangan pengaruh. Padahal, perang dagang di antara dua negara adidaya, Amerika Serikat dan China, dapat dicegah dengan keberadaan WTO yang kuat. Pengambilan konsensus yang lambat dan tidak efektif menjadi penyebab menurunnya legitimasi WTO.
Akademisi Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada, Poppy Sulistyaning Winanti, mengatakan, keanggotaan WTO yang sangat besar—164 negara—menyebabkan proses pengambilan konsensus untuk setiap kesepakatan dagang menjadi lambat.
”Sangatlah susah bagi seluruh negara untuk menyetujui sebuah konsensus. Banyak negara kehilangan kepercayaan terhadap WTO yang berada pada kondisi stagnan,” ujar Poppy di Jakarta pada Sabtu (20/10/2018) siang dalam diskusi bertajuk ”Are We on The Verge of A Trade War and How Can We Fix It?”.
Dalam diskusi itu, hadir mantan Wakil Menteri Perdagangan Mahendra Siregar, Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Shinta Widjaja Kamdani, Ketua Departemen Ekonomi Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri, serta Direktur Eksekutif Asian Trade Centre Deborah Elms.
Pengambilan konsensus yang lambat dan permasalahan internal yang berlarut-larut menjadi penyebabnya. Persoalan-persoalan itu antara lain sejumlah perundingan yang mandek, hasil negosiasi yang tidak seimbang, dan pemilihan anggota Badan Penyelesaian Sengketa (DSB) dan Badan Banding (AB) WTO yang belum kunjung selesai (Kompas, 21/10/2018).
Padahal, sejak WTO didirikan pada 1994, organisasi tersebut telah memberikan kontribusi yang besar terhadap pertumbuhan ekonomi global. Yose mengatakan, selama 20 tahun terakhir, sekitar seperlima dari pertumbuhan perdagangan global dimungkinkan dengan kehadiran WTO. ”Rata-rata per tahun 5 persen pertumbuhannya, dan seperlima dari angka itu berasal WTO,” ucap Yose.
Tren ketidakpercayaan negara terhadap entitas organisasi multilateral—baik global maupun regional—terlihat pada keputusan Inggris untuk keluar dari Uni Eropa dan renegosiasi NAFTA (Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika Utara) yang diinisiasi oleh Amerika Serikat.
Utamakan regional
Akibat langkah WTO yang lambat, lanjut Poppy, negara-negara anggota WTO pun cenderung menyusun perjanjian perdagangan bebas (free trade agreement) secara bilateral.
”Jadi, negara yang ingin melakukan perjanjian perdagangan dengan negara lain akan langsung bertemu secara bilateral,” ucap Poppy.
Hal senada disampaikan oleh Shinta. Ia mengatakan, tren perjanjian perdagangan antarnegara saat ini semakin sempit. Perjanjian perdagangan tidak akan mengatur secara umum, tetapi akan langsung terkait pada industri atau komoditas secara spesifik.
Shinta menuturkan, Wakil Presiden AS Mike Pence dalam kunjungannya ke Indonesia menyampaikan, AS cenderung melakukan kerja sama perdagangan bilateral dan dengan spesifik.
Oleh karena itu, ujar Shinta, Kadin telah mengidentifikasi industri yang dinilai kompetitif untuk bersaing dan memiliki daya tarik untuk diatur dalam sebuah perjanjian bilateral dengan negara lain.
”Industri tekstil kami telah mampu bersaing dengan negara-negara produsen tekstil lainnya dan beberapa perusahaan AS sudah menunjukkan ketertarikan. Untuk memproduksi tekstil, kita juga butuh kapas dari Amerika. Jadi bisa cocok,” tutur Shinta.
Sementara itu, Debora menilai, perjanjian perdagangan multilateral regional lebih baik dibandingkan dengan perjanjian bilateral. ”Ada 60 negara di Asia, 10 negara ASEAN, dan belum termasuk Australia dan Selandia Baru. Skema Asia untuk Asia ini yang bagus,” ujarnya.
Victor Cha, penasihat Presiden George W Bush, menyatakan, perjanjian perdagangan bilateral memiliki bahaya bagi negara-negara kecil atau berkembang. Dalam jurnal International Security pada 2010, ia mengatakan, perjanjian bilateral lebih efektif digunakan oleh sebuah negara besar untuk mengontrol negara kecil dalam sebuah perjanjian perdagangan. Demikian sebaliknya, perjanjian perdagangan multilateral dapat digunakan oleh negara-negara berkembang.