Duit Bau
Ibarat Jakarta dapat nangkanya, Bekasi dapat getahnya.
Kondisi seperti itu sepertinya bisa untuk menggambarkan tempat pembuangan sampah akhir (TPA) Bantargebang, Bekasi. Sekian ribu ton sampah Ibu Kota dibuang ke TPA Bantargebang. Sejak awal keberadaannya tahun 1990, tempat pembuangan sampah itu mengkhawatirkan akan menimbulkan masalah, terutama polusi bau.
Bupati Bekasi saat itu, Suka Martono, mengingatkan, di sekitar TPA terbesar di Indonesia dengan luas 100 hektar itu, Pemkab Bekasi berencana membangun kota terpadu di atas lahan seluas 1.500 hektar. Suko juga berharap kehadiran TPA itu tidak akan menimbulkan masalah baru bagi masyarakat Bekasi.
Gubernur DKI Jakarta Wiyogo Atmodarminto kala itu pun menjamin, TPA Bantargebang tidak akan mencemari lingkungan sekitarnya. Alasannya, TPA Bantargebang akan dikelola secara profesional dengan menggunakan teknik sanitary landfill. Sampah rumah tangga dari masyarakat akan dipadatkan dulu di tempat pembuangan sampah sementara (TPS) sebelum dibawa ke TPA Bantargebang.
TPA Bantargebang itu juga, menurut rencana, didesain sedemikian rupa dengan kisi-kisi di bawah yang akan menampung air dari sampah (leachet) yang kemudian akan ditampung dan diolah di sebuah kolam besar. Setelah diproses dan aman, air pembuangan sampah itu akan dibuang ke perairan umum. Sementara tanah-tanah yang menjadi pembuangan sampah akan ditutup kembali dengan tanah dan lahannya dipergunakan untuk kepentingan lain.
Namun, rencana tersebut tidak berjalan mulus sebagaimana mestinya. Setelah hampir 30 tahun berlalu, masalah dan ”cekcok” antara Pemprov DKI Jakarta dan Pemkab Bekasi pun terjadi berulang kali. Berbagai persoalan muncul dan berulang, termasuk tidak sesuainya pengelolaan sampah seperti dijanjikan. Menimbulkan bau dan polisi kepada masyarakat sekitar. Kedua tetangga tersebut juga tidak jarang saling ancam terkait TPA Bantargebang, perjanjian kerja sama serta kompensasinya.
Rabu (17/10/2018) kembali terjadi pencegatan truk sampah DKI Jakarta yang akan membuang sampah di TPA Bantargebang. Bahkan, petugas Dishub Kota Bekasi menyita 12 kunci truk sampah tersebut. Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi menegaskan, pencegatan truk sampah DKI tersebut terkait semua pihak yang harus memenuhi hak dan kewajibannya sebagai bentuk dari kerja sama.
”Sekarang seolah-olah tidak ada perjanjian kerja sama. Seolah-olah kami tidak bermitra,” kata Rahmat yang mengaku sulit berkomunikasi dengan Anies Baswedan.
Salah satu kesepakatan tersebut adalah Pemprov DKI Jakarta harus membayar ”uang bau” kepada Bekasi sebagai kompensasi penggunaan TPA Bantargebang. Tahun 2018, DKI Jakarta mengalokasikan Rp 202,9 miliar untuk uang kompensasi bau untuk Pemkot Bekasi. Sudah dibayar atau belum? Kepala Biro Tata Pemerintahan DKI Premi Lasari memastikan uang kompensasi tahun 2018 itu sudah dibayarkan semuanya kepada Pemkot Bekasi (Kompas, Kamis 18/10/2018).
Persoalan sampah Ibu Kota sepertinya sudah tidak bisa lagi menggunakan cara tradisional seperti saat ini. Pemprov DKI Jakarta harus melakukan terobosan sehingga tidak lagi bergantung kepada daerah lainnya sebagai tempat pembuangan sampah.
Teknologi penanganan sampah sudah demikian maju dari 30 tahun lalu sejak TPA Bantargebang itu dibangun. Penanganan sampah di Swedia, misalnya bisa menjadi contoh bagaimana mereka memanfaatkan sampah menjadi energi atau kegunaan lain. Konon, hanya 1 persen sampah rumah tangga masyarakat mereka yang dikirim ke tempat pembuangan sampah. Sebanyak 99 persen sampah rumah tangga di Swedia didaur ulang untuk kegunaan lain, 50 persen lainnya menjadi bahan baku atau sumber energi. Dua tahun lalu 2,3 juta ton sampah rumah tangga dibakar untuk energi. Bahkan, untuk kebutuhan bahan bakar energi, negara itu sampai harus mengimpor sampahnya dari negara lain, seperti dari Norwegia, Inggris, dan Irlandia.
Semua teknologi baru penanganan sampah tersebut bukan tidak mungkin diadopsi untuk penanganan sampah Ibu Kota. Kereta bawah tanah (mass rapid transit) segera beroperasi di bawah tanah Ibu Kota. Padahal, 30 tahun, pembangunan kereta bawah tanah seperti itu dianggap tidak mungkin dilakukan di Jakarta dengan alasan kondisi geografis dan tanah Ibu Kota tidak memungkinkan, seperti sering disampaikan sejumlah pejabat saat ini.
Penanganan sampah Ibu Kota pun saatnya disesuaikan dengan zamannya, tidak terus berkutat di persoalan ”uang bau”.