BANYUWANGI, KOMPAS — Pemerintah Kabupaten Banyuwangi untuk kedelapan kalinya sukses menggelar sendratari kolosal Gandrung Sewu. Agenda wisata yang kembali masuk kalender wisata nasional itu tidak hanya menyedot wisatawan, tetapi juga menyebarkan pesan-pesan positif kepada khalayak.
Tahun ini, sendratari Gandrung Sewu bertema ”Layar Kumendung” dari syair lagu ”Gadrung”. Sendratari itu mengisahkan masa-masa terakhir Bupati Banyuwangi pertama Mas Alit bersama rakyatnya.
Bupati Mas Alit dikisahkan dijebak Belanda ikut berlayar dari Banyuwangi ke Semarang. Di tengah jalan, saat kapal di daerah Gresik, kapal diserang perompak. Mas Alit dikabarkan tewas.
Ditemui seusai gelaran, Menteri Pariwisata Arief Yahya menyatakan, Festival Gandrung Sewu layak masuk kembali dalam 100 kalender wisata nasional. ”Tim kurator Kemenpar menilai kualitas pelaksanaan Gandrung Sewu terus menunjukkan peningkatan,” ujar Arief di Pantai Boom, Banyuwangi, Sabtu (20/10/2018).
Tahun 2019 akan menjadi tahun keempat Gandrung Sewu menjadi agenda wisata nasional. Digelar tahun 2013, masuk agenda wisata nasional tiga tahun terakhir.
Sendratari ditampilkan bersama gerak tari 1.173 penari gandrung, 60 pemeran drama, dan 65 pemusik tradisional. Gelaran itu disuguhkan di Pantai Boom berlatar Selat dan Pulau Bali.
Untuk masuk kalender wisata nasional, sebuah perhelatan harus bersaing dengan lebih dari 200 ajang lain se-Indonesia. Gandrung Sewu dinyatakan layak karena punya keunggulan tiga nilai pertunjukan seni, yaitu creativity, cultural, commercial (3C).
Arief juga melihat langsung pertunjukan itu menggeliatkan ekonomi daerah. Bandara Banyuwangi mencatat rekor penumpang tertinggi. ”Sejak berdiri 2010, untuk kali pertama jumlah penumpang di Bandara Banyuwangi 1.664 orang sehari, sebelumnya 1.200 hingga 1.400 orang,” ungkap Executive General Manager Bandara Banyuwangi Anton Marthalius.
Semangat perjuangan
Koreografer dan sutradara Gandrung Sewu, Dwi Agus Cahyono, mengatakan, melalui gerak tari dan lagu, ia ingin mengobarkan semangat perjuangan kepada kaum muda. ”Berkesenian Gandrung salah satu cara tetap menjaga rasa cinta Banyuwangi,” ujarnya.
Budayawan Banyuwangi, Aekanu Hariyono, mengatakan, Gandrung bagian perjuangan rakyat Banyuwangi menjaga kedaulatan Tanah Air. Zaman dahulu, Gandrung menjadi cara pejuang memata-matai Belanda.
”Tarian Gandrung memiliki hubungan yang sangat kental dengan tarian seblang yang menjadi bagian dari ritual bersih desa masyarakat Osing. Apabila Seblang digunakan untuk mengusir pegebluk, Gandrung digunakan untuk mengusir penjajah,” ujar Aekanu.
Saat itu, gandrung ditarikan para pejuang pria. Mereka diundang hadir menghibur lewat tari-tarian di pos-pos yang didirikan Belanda. Ketika mulai lengah, perlawanan dilancarkan.
Kini, gandrung menjadi bagian melindungi generasi muda dari masifnya serangan budaya dari luar yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kebangsaan. ”Daripada anak-anak muda terjerumus ke pergaulan yang salah, orangtua ataupun guru bisa mengarahkan anak-anaknya berkesenian lewat tari gandrung,” ujar Anas.
Gelaran Gandrung Sewu tak hanya menjadi tontonan semata. Aneka pesan diselipkan. ”Dengan ilmu hidup kita lebih mudah, dengan seni hidup lebih indah, dengan agama hidup lebih terarah,” pesan pelawak Cak Ali yang turut serta dalam gelaran tersebut.