Keagungan Haruku
Salah satu cara menjaga kewarasan adalah dengan memperbanyak jalan-jalan. Di pelosok-pelosok kampung yang mungkin tak dikenal, berserak kebajikan hidup. Bersentuhan dengan warga desa yang menebar kebajikan itu penting untuk mengimbangi paparan egoisme, individualisme, dan keserakahan kota.
Kesadaran itu muncul kembali ketika menjelajahi dan menginap semalam di Negeri Haruku, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku, akhir September lalu. Haruku merupakan salah satu pulau di Maluku yang terletak di sebelah timur Kota Ambon. Untuk menjangkaunya, perlu menyeberangi lautan. Permukiman ini menggunakan nomenklatur ”negeri” sebagai bentuk ketaatan pada adat.
Siang itu, Jumat (28/9/2018), kami meninggalkan Ambon menuju Tuhelu, tempat penyeberangan ke Haruku. Langit tidak begitu cerah, gumpalan mendung masih menggantung setelah sebelumnya turun rinai hujan. Belasan perahu cepat (speedboat) datang dan pergi Haruku-Ambon mengangkut penumpang. Para penumpang, apalagi pemilik perahu cepat, seolah tak begitu peduli dengan cuaca yang tak begitu bagus itu.
Permukaan air laut tak setenang di Teluk Ambon. Agak beriak meski tidak tampak gelombang besar datang. Setidaknya di lautan tak tampak buih-buih air, berarti gejolak air laut masih sangat aman untuk dilintasi perahu cepat. Kami memasuki perahu cepat. Total ada tujuh penumpang dan seorang pengemudi di perahu.
Perahu melaju dengan kecepatan tanggung, tetapi cukup membuat badan kami terguncang-guncang di tengah lautan. Aroma angin laut dan sinar matahari yang menyelinap di antara mendung membantu menghangatkan perjalanan.
Di tengah lautan itu, sebuah bangunan tampak berkilauan diterpa sinar matahari sore. ”Itu Gereja Ebenhaezer, nanti kita menepi di dekatnya. Mungkin sepuluh menit lagi,” kata pengemudi perahu cepat.
Seperti pulang kampung
Memasuki Negeri Haruku, hawanya seperti pulang ke kampung sendiri. Padahal, saya lahir di sebuah desa di pesisir Jawa Timur yang berjarak ribuan kilometer dari Haruku. Rasa seperti kampung sendiri ini muncul dari aroma pesisir yang didominasi angin laut, juga keramahan warganya yang membuat perasaan nyaman.
Kami melewati gang dan jalan utama Negeri Haruku. Jalanan bersih dan tertata, tidak seperti desa-desa di pesisir pantai pada umumnya. Di Jawa, misalnya, daerah pesisir pantai cenderung kumuh dan bau. Akan tetapi, tidak dengan Haruku. Bahkan, tak ada warga yang menjemur pakaian di pagar.
Hari itu Haruku banyak kedatangan tamu karena keesokan harinya berlangsung upacara Buka Sasi Lompa, yakni upacara adat yang menandai diperbolehkannya warga menangkap ikan lompa setelah beberapa bulan dilarang.
Malam hari sebelum upacara Buka Sasi Lompa, pemimpin Negeri Haruku, Raja didampingi Kewang (serupa pemegang otoritas hukum adat), berkeliling kampung dalam upacara Panas Sasi. Dengan membakar nyiur kering sebagai petunjuk jalan, rombongan ini berkeliling kampung dan berhenti di tujuh titik penting. Di setiap titik, Sekretaris Kewang, Ita Latuharhary, membacakan peraturan Negeri Haruku yang banyak berisi pantangan.
Pantangan itu, antara lain, dilarang menangkap ikan lompa sebelum masa sasi berakhir, dilarang memetik buah pala, cempedak, nanas, pinang, dan kenari. Buah tadi hanya boleh dipetik ketika sudah benar-benar matang. Ada juga aturan warga dilarang keluar rumah hanya memakai handuk atau menjemur pakaian di pagar rumah. Warga juga dilarang memaki atau menyumpah.
Penjelasan itu tadi menjawab mengapa jalanan begitu bersih dan rumah-rumah tertata. Jika melanggar, mereka dikenai denda Rp 10.000 sampai Rp 50.000. ”Bukan jumlah denda yang memberatkan, tetapi rasa malu jika melanggar dan ketahuan,” kata seorang warga.
Pagi harinya, warga berbondong-bondong menuju Sungai Learisa Kayeli. Ada yang membawa ember, tas plastik, sampai jala. Satu per satu menceburkan diri ke sungai yang bermuara ke laut itu. Air permukaan sungai hampir tak terlihat lagi, berganti dengan ratusan kepala manusia dan warna-warni pakaiannya.
Pesta di sungai
Di sungai ini, puluhan ribu ikan lompa hidup tenang karena warga dilarang menangkapnya. Mereka bebas kawin dan berkembang biak. Akan tetapi, pagi itu menjadi hari yang berbeda bagi para ikan lompa. Hari itu Buka Sasi Lompa yang berarti warga diperbolehkan menangkap ikan lompa sebanyak mereka bisa.
Begitu tifa ditabuh dan tahuri ditiup, warga langsung merangsek menangkap ikan lompa sambil berteriak penuh sukacita. Upacara Buka Sasi Lompa adalah pesta. Sekitar 15 menit kemudian, beberapa warga mulai naik ke darat meninggalkan sungai dengan memanggul ember penuh ikan lompa. Mereka orang-orang yang beruntung.
Yang tidak begitu beruntung hanya membawa puluhan ekor. Bahkan, ada yang tak berhasil menangkap seekor pun. Biasanya, mereka ini yang kurang persiapan. Tidak membawa ember, apalagi jala. Akan tetapi, mereka tetap merasakan kegembiraan.
Jangan khawatir, karena ini pesta, semua harus ikut gembira. Berapa pun banyak ikan yang didapat warga, tak boleh diperjual-belikan. Ikan-ikan tadi dibagi kepada sesama warga. ”Para janda dan anak yatim kami utamakan mendapat pembagian ikan lompa,” kata Kepala Kewang Negeri Haruku, Eliza Marthen Kissya (70).
Siang harinya, kami menikmati ikan lompa yang digoreng kering di rumah Ita Latuharhary. Di sini pula kami menginap. Pagi hari disiapkan teh hangat dan sarapan. Kami diperlakukan seperti sanak saudara sendiri. ”Semua orang adalah saudara,” kata Ita.
Warga selalu terbuka kepada para pendatang. Mereka meyakini perbuatan baik selalu berbuah kebaikan. Perbuatan baik kepada semua makhluk, termasuk berbuat baik kepada ikan lompa. Sebelumnya, ikan ini dibiarkan masuk sungai dan merasa nyaman. ”Segala sesuatu kalau kita lakukan dengan baik, semua akan merasa nyaman dan aman, termasuk ikan lompa,” kata Eliza.
Tampaknya falsafah itu juga yang memayungi alam pikir warga Haruku dalam memperlakukan tamu. Itulah kiranya alasan kami merasa nyaman dan tenang berada di kampung ini, serasa kampung sendiri. Inilah keuntungan kalau banyak jalan-jalan, menemukan kebaikan orang lain dan menimba kearifan hidup.