Menjadi Berdaya-Setara dengan Teknologi
Dunia teknologi seringkali dikaitkan dengan kaum laki-laki. Namun, teknologi terbukti membuat perempuan lebih bedaya dan setara. Peningkatan akses tak sekadar mengatasi ketidaksetaraan, tetapi juga melompatkan potensi demografinya.
Eva Hikmasari, seperti keponakan dan sepupunya, bergabung sebagai pengemudi Go-Jek. Mereka menjalani profesi yang sama, tukang ojek!
Sebelum memutuskan jadi mitra Go-Ride, Eva adalah ibu rumah tangga dengan dua anak. Motifvasinya bergabung didasari keinginan menambah pemasukan keluarga. Suaminya bekerja sebagai pengemudi truk kargo dengan penghasilan yang dirasa kurang mencukupi.
Area kerja Eva di sekitaran daerah wisata Kuta dan Sanur, Bali. Dia berangkat kerja pukul 10.00 pagi dan pulang pukul 19.00. Pendapatan bersih yang biasa diperolehnya lebih dari Rp 200.000. Jumlah yang menurutnya cukup menutup pengeluaran sehari-hari. Dia juga rajin mengumpulkan poin bonus agar bisa menambah pendapatan.
Pagi merupakan waktu paling banyak pesanan Go-Ride. Lalu pada siang hingga sore, permintaan layanan Go-Send dan Go-Food lebih dominan. “Anggota keluarga lain lebih dulu bergabung Go-Jek. Di antara kami tidak ada kompetisi karena kami percaya rezeki sudah ada yang mengatur," ujarnya.
Sebagai ibu rumah tangga, Eva mengaku gagap dengan teknologi digital. Namun, sejak bergabung Go-Jek, dia mau tidak mau belajar fitur-fitur layanan di gawainya, seperti peta digital, aplikasi penerjemah bahasa, dan sistem pembayaran secara elektronik. Eva juga akhirnya mengenal aneka produk perbankan.
"Konsumen saya rata-rata turis. Mereka kadang kasihan melihat perempuan seperti saya jadi pengemudi ojek sehingga beberapa kali justru saya yang dibonceng. Padahal, saya sudah tegaskan tidak mau (dibonceng)," kata Eva.
Kejadian itu tidak membuat Eva minder. Sebaliknya, dia justru terpacu melakoni profesinya. Dia merasa menjadi perempuan berdaya dengan memiliki pendapatan sendiri, tingkat literasinya terhadap dunia digital atau produk perbankan bertambah.
Evy Shalom, orang tua tunggal dengan tiga orang anak, sama seperti Eva. Evy sudah dua tahun melakoni profesi sebagai mitra pengemudi Go-Jek. Bedanya, Evy bergabung di layanan Go-Car sebagai pengemudi.
Sebelumnya, Evy punya bisnis katering. Namun bangkrut karena masalah legalitas. "Saya mencoba bangkit dengan bergabung Go-Car. Saya selalu berusaha berpikir positif, Tuhan akan memberikan jalan keluar, saya bekerja demi anak-anak," ujarnya.
Sisi positif digital
Eva dan Evy jadi perwakilan mitra perempuan Go-Jek dalam pertemuan dengan Melinda Gates di Nusa Dua, Bali, 11 Oktober 2018. Melinda Gates mengunjungi Indonesia sebagai bagian dari pekerjaannya Co-Chair dari Pathways for Prosperity Commission on Technology and Inclusive Development.
Dalam pertemuan, Eva dan Evy menceritakan pengalamannya sebagai mitra dan bagaimana teknologi digital membantu meningkatkan mata pencaharian.
Pathways for Prosperity Commission on Technology and Inclusive Development diluncurkan Januari 2018 oleh Melinda Gates, Sri Mulyani Indrawati (Menteri Keuangan Indonesia), dan Strive Masiyiwa (pendiri dan ketua eksekutif Econet). Organisasi ini mengumpulkan beragam pemimpin dari pemerintah, bisnis, dan akademisi untuk mendorong percakapan global tentang cara memaksimalkan perubahan teknologi agar mendukung pembangunan yang inklusif.
Chief Corporate Affairs PT Go-Jek Indonesia, Nila Marlita menjelaskan, Go-Jek ditunjuk oleh Pathways karena inovasinya dianggap membantu kesejahteraan banyak orang. Menurut dia, 12 persen dari total mitra pengemudi Go-Jek adalah perempuan. Mereka seringkali mendominasi prestasi mitra dengan performa bagus.
Dalam kultur perusahaan, ada upaya agar seluruh mitra hidup dalam pendapatan ekonomi berkelanjutan. Contohnya, Go-Jek menggunakan pendekatan inklusi keuangan. Seluruh mitra pengemudi difasilitasi akses ke lembaga perbankan dan asuransi sekaligus diajari bertransaksi nontunai.
Chief of Commercial Expansion Go-Jek, Catherine Hindra Sutjahyo memandang, di luar masih banyak orang selalu mengaitkan teknologi digital dengan robot yang menggantikan pekerjaan manusia. Stigma ini coba dihapus oleh Pathways for Prosperity Commission on Technology and Inclusive Development.
"Banyak sisi positif teknologi digital bermanfaat bagi pembangunan manusia, terutama untuk pemberdayaan dan kesetaraan perempuan. Sebagai seorang perempuan, mereka ingin membangun peluang bisnis dan berdaya," ujar dia.
Produktivitas
Populasi perempuan di Indonesia hampir setengah dari total populasi. Jika dilihat dari usianya, 86 juta perempuan berada pada usia produktif, kisaran 20-64 tahun. Oleh karena itu, investasi pada perempuan dan remaja perempuan sangatlah penting.
Direktur Eksekutif Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Perempuan (UN Women’s), Phumzile Mlambo-Ngcuka menuturkan, peran perempuan dalam perekonomian berkelanjutan cukup signifikan. Sayangnya, mereka masih terkendala berbagai hambatan mulai dari aspek sosial, politik, dan budaya.
Kini peran perempuan dalam pembangunan berkelanjutan sangat penting di tengah tekanan ekonomi global. Sektor perdagangan bisa lebih menggeliat jika perempuan diarahkan menjadi pengusaha. Namun, butuh kebijakan holistik untuk mewujudkannya.
Produktivitas perempuan bisa ditingkatkan dari segi pendidikan dan keahlian karena menentukan jumlah penghasilan. Dari penelitian UN Women’s, perempuan hanya digaji 60-75 persen dari gaji pria. Hal itu karena produktivitas dan mobilitas perempuan dinilai rendah daripada pria.
Menurut Sri Mulyani, dalam kasus Indonesia, peningkatan akses keuangan bagi perempuan menjadi semakin mendesak bukan hanya karena kebutuhan untuk mengatasi masalah ketidaksetaraan, tetapi karena potensi demografinya. Oleh karena itu, pemerintah berupaya meningkatkan akses perempuan dalam keuangan, terutama layanan perbankan.
"Isu-isu yang dihadapi perempuan ketika mengakses keuangan harus disikapi secara holistik, melampaui masalah persyaratan kredit dan biaya," kata Sri Mulyani.
Pemerintah mencoba mengatasi masalah melalui peningkatan akses perempuan ke instrumen keuangan, yakni dengan pelatihan pengusaha, program literasi keuangan, serta peningkatan alokasi kredit usaha rakyat (KUR) dari Rp 120 triliun tahun lalu jadi Rp 123,53 triliun tahun ini. Pemerintah juga mengalokasikan Rp 100 miliar untuk mendukung pembiayaan perusahaan rintisan dengan suku bunga rendah 4,5 persen.