Noktah Merah Kemanusiaan
Ngeri tertancap di benak ketika menonton karya pemenang penghargaan UOB Painting of the Year (Indonesia) 2018. Karya bernuansa merah daging berjudul ”Angs’t (Angst)” yang memenangi ajang itu ditorehkan seniman muda asal Madura, Suvi Wahyudianto (26). Sekali pandang, lukisan abstrak itu segera bicara tentang gugatan kekerasan terhadap kemanusiaan.
Dengan Madura sebagai data, menurut Suvi, ”Angs’t” menjadi bahasa dari alur sebuah cerita. Dalam bahasa Inggris yang merupakan serapan dari bahasa Jerman, ”Angs’t” bermakna kecemasan atau ketakutan. Kecemasan yang hadir kali ini muncul karena memori traumatik pada masa lalu. Dan memori dalam karya ini berbicara tentang peperangan.
”Saya punya sahabat ketika mengungsi pulang ke Madura. Ia penuh dengan luka. Saya ingat betul ada bekas sayat di lengannya. Kemudian di kupingnya. Luka-luka itu terus saya ingat sebagai tanda. Bahwa luka adalah sesuatu yang ditinggalkan oleh perang,” kata Suvi.
Perang tersebut mengacu pada ketegangan antara suku asli Dayak dan pendatang dari Madura di Sampit, Kalimantan Tengah, pada Februari 2001, yang menewaskan 500 orang. ”Ada dalam diri saya tumpukan memori, tumpukan pengalaman. Ketika saya pertama kali melihat tubuh saya sebagai identitas Madura. Di mana akumulasi identitas ada banyak tragedi dan peristiwa. Salah satunya peristiwa perang konflik etnis di Kalimantan ini,” tambahnya.
Memakai media campuran (resin, plastik, enamel, dan pigmen) pada pelat aluminium, ”Angs’t” menonjolkan penggunaan material plastik. Dengan tekstur menyerupai daging, kengerian dimunculkan dari hadirnya pigmen merah darah. Kengerian semakin hadir karena di sana ada unsur raba dan ada unsur timbul.
Plastik adalah bungkus terluar, sama seperti kulit pada tubuh manusia yang juga hanya sekadar bungkus. Kehadiran plastik melambangkan bahwa konflik kemanusiaan hanya terjadi di atas permukaan kulit. Kita sering kali lupa bahwa esensi sebagai manusia justru terletak di bawah kulit: bahwa kita adalah sama- sama daging.
”Karya ini titik tolak untuk memikirkan itu semua. Bahwa yang ditinggalkan perang dan konflik itu hanya luka dan hangus, dan kita enggak dapat apa-apa. Ini otokritikku sebagai seniman terhadap kenyataan hidup sekarang,” ujar Suvi.
Dewan juri yang terdiri dari seniman kontemporer Entang Wiharso, kolektor seni Wiyu Wahono, dan penulis sekaligus kritikus seni Bambang Bujono tak kesulitan ketika memutuskan karya yang menjadi pemenang. ”Karya yang baik. Begitu lihat, ada sesuatu yang powerful. Kami merasakan. Saya bolak-balik melihat yang lain, lalu balik lagi. Dan karya ini sangat integral dengan konsep yang dituliskan,” kata Entang.
Batas konvensional
Selain Suvi, pemenang lainnya untuk kategori seniman profesional adalah Ajeng Martia Saputri (Gold Award), Hudi Alfa (Silver Award), dan Lenny Ratnasari Weichart (Bronze Award). Gugatan terhadap kemanusiaan juga mengemuka dari karya Ajeng berjudul ”Universe Under Our Skin”. Karya kolase rok anak- anak ini digambari dengan bentuk biomorfis yang mengesankan bentuk sel yang diperbesar.
Ajeng juga berbicara tentang identitas dalam bahasa berbeda. Menggunakan karya berupa baju anak-anak, ia mempersoalkan bahwa secara kodrati manusia memiliki unsur bentukan sel yang sama di bawah kulit. Perbedaan yang terjadi hanyalah terjadi di kulit, hanya serupa baju yang membungkus tubuh kita. Karya akrilik pada kanvas milik Hudi bertajuk ”Urban Solitary” juga mempersoalkan persoalan kemanusiaan tentang tumpukan sampah modern.
Tanpa setetes pun cat, Lenny memunculkan figur-figur pada koyakan kawat aluminium. Karya ”Yang Ibu Ajarkan” ini menyodorkan tantangan tersendiri di seni lukis yang sudah telanjur identik dengan kanvas dan cat warna. Karya ini pun dekat dengan relief, karena dimensi yang timbul dari obyek-obyek yang dihadirkan.
”Aku membentuk dari lembaran aluminium. Aku melipat, aku mengunci. Aku bisa mengamati suatu bentukan. Aku tetap pematung dengan karyanya,” kata Lenny.
Keragaman karya para pemenang menunjukkan bahwa penyelenggara tak lagi mengacu pada batasan konvensional. Lukisan tak lagi sekadar karya dua dimensi dengan medium yang dicatkan atau digoreskan. Peserta dibebaskan menggunakan teknik dan material apa pun. Batasan bahwa lukisan adalah karya seni rupa dua dimensi juga diperlonggar dengan ketentuan ketebalan karya tidak boleh lebih dari 5 sentimeter.
”Seni rupa modern bukan tumbuh dari Indonesia. Bukan evolusi dari gerobak menjadi mobil. Ada konsepsi yang menurut saya layak dikaji. Istilah painting mengandung kata paint atau cat. Apakah lukisan terikat dengan cat? Saya melepaskan diri dari istilah itu. Sehingga saya bisa menerima ketika ada seniman yang mengirim karya tanpa cat,” kata Bujono.
Pameran bersama
Dalam kategori seniman pendatang baru (emerging artist), Seno Wahyu Sampono (25) meraih penghargaan UOB Most Promising Artist of The Year dengan karya ”Introspeksi Diri”. Lukisan dengan media campuran ini adalah kolase dari 288 panel seukuran kartu remi yang bercerita tentang berbagai kenangan. Karya ini merupakan proses refleksi diri yang sekaligus menjadi pengingat untuk menjadi pribadi yang lebih baik.
Selanjutnya, lukisan para pemenang dari kategori seniman profesional dan pendatang baru pada kompetisi UOB Painting of the Year 2018 akan dipamerkan di Gedung Galeri Nasional pada 8-19 November. Pemenang UOB Painting of the Year (Indonesia) 2018 juga akan berkompetisi di ajang UOB Southeast Asian Painting of The Year dan akan menjalani program residensi satu bulan di Fukuoka Asian Art Museum Jepang.
Presiden direktur PT Bank UOB Indonesia Kevin Lam menyebut bahwa kompetisi UOB Painting of the Year yang sudah berjalan ke delapan kalinya ini merupakan wujud dukungan UOB terhadap generasi baru seniman Indonesia untuk berkarya dengan menghubungkan mereka ke berbagai kesempatan di panggung seni lokal ataupun internasional.
”Kami percaya bahwa seni mampu membawa perubahan positif dalam kehidupan bermasyarakat. Seni menjadi oase atau kesejukan dalam konsep kemanusiaan yang terus terpelihara,” tambahnya.