Wajah yang Tak Tunggal
Hari-hari ini makin kerap muncul klaim-klaim kebenaran yang menegasikan kelompok lain meski sesama pemeluk agama. Banyak kalangan gelisah dengan kondisi ini. Festival Film Madani memanggungkan wajah Islam yang tak tunggal.
Festival ini menghadirkan 15 film dari dalam dan luar negeri. Juga dari rentang tahun yang panjang. Beberapa di antaranya Pagar Kawat Berduri (1961), Titian Serambut Dibelah Tujuh (1982), Bid’ah Cinta (2017), Timbuktu (2014), Fatima (2015), dan Never Leave Me (2017). Festival ini digelar Rabu (17/10/2018) sampai Minggu (21/10) di sejumlah tempat, seperti Djakarta Theater XXI, IFI Thamrin, Kineforum, Binus JWC Campus, dan Binus Alam Sutera.
Semua film pada festival ini bercerita tentang wajah Islam dengan berbagai ragamnya. Dari film-film itu terlihat jelas, ekspresi beragama itu bisa sangat majemuk akibat dari banyak faktor. Mulai dari faktor tafsir, politik, sampai budaya.
Mari simak, misalnya, Never Leave Me yang berkisah tentang anak-anak korban perang saudara di Suriah. Isa (Isa Demlaki) yang berusia 14 tahun itu ditinggal mati ayah dan ibunya. Dia lalu tinggal di panti asuhan di Turki. Kepedihan masih menyesakkan dadanya. Sesekali di kala sendiri, dia merogoh tas dan menciumi kerudung ibunya.
Cerita Isa terjalin erat dengan derita Ahmad Husrom (11) yang ayahnya menghilang. Dia didera harapan untuk suatu hari bertemu kembali. Di tengah mereka berdua ada Motaz (10), yang ditinggal ibunya menikah lagi dan ia dibiarkan hidup di panti asuhan. Motaz, yang memiliki suara pas-pasan, ingin ikut kontes menyanyi agar dapat mencuri perhatian ibunya dan bersedia mengasuhnya kembali. Dia rindu ibunya.
Kekuatan film ini terletak pada setiap aktor yang sebenarnya bukan aktor profesional. Mereka memerankan diri sendiri dalam film tersebut. Sutradara Aida Begic melakukan riset dan menemukan para korban perang saudara ini. Lalu, ia melatih mereka berakting.
Aida lahir dan besar di Bosnia. Dia juga korban perang Bosnia pada era 1990-an. Referensi pengalaman itu menjadi benang merah baginya dalam meramu cerita. Akting para aktor memang jauh dari mengagumkan ditilik dari sisi profesionalisme, tetapi tetap menyentuh. Pesan film ini sangat jelas, tak ada yang tersisa dari peperangan selain kehancuran.
Jika Never Leave Me berkisah dampak perang, Timbuktu memberikan peringatan. Film ini menggambarkan ancaman dari kelompok Islam yang dengan sangat kaku berupaya keras menerapkan hukum Islam hasil tafsiran mereka sendiri.
Digambarkan di sebuah perkampungan selalu muncul polisi moral yang menyelidik dan menyidik setiap warga. Mereka, misalnya, melarang warga menyanyi, merokok, atau bermain bola. Warga yang melanggar akan dicambuk, bahkan dirajam.
Dalam situasi seperti itu, Kidane (Ibrahim Ahmed) hidup damai bersama istri (Satima) dan dua anaknya (Toya dan Issan). Hingga suatu hari, dia terlibat perkelahian dan lawannya tewas. Perkelahian terjadi ketika Kidane mendatangi lawannya itu untuk meminta pertanggungjawaban karena ia membunuh sapi kesayangan Toya. Kidane pun terancam hukuman mati.
Di sini, sutradara berkebangsaan Mauritania, Abderrahmane Sissako, memainkan dramaturgi berlatar kota di Mali itu dengan baik.
Konflik terkait fundamentalisme seperti itu juga muncul dalam Bid’ah Cinta karya Nurman Hakim. Dia membangun narasi pertentangan sesama umat Islam yang berbeda dalam menafsir ajaran agama. Hakim membangun narasi lewat jalinan cinta Khalida (Ayushita Nugraha) dan Kamal (Dimas Aditya). Kamal adalah anak pemuka agama yang cenderung puritan, Haji Jamat (Ronny P Tjandra). Bersama Ustaz Jaiz, Jamat menentang cara beragama ayah Khalida, Haji Rohili. Mauludan, tahlilan, mendoakan orangtua di kuburan, dan aktivitas lain yang biasa dilakukan Rohili dianggap bidah oleh kelompok Haji Jamat.
Sebaliknya, barisan Rohili menuding Jaiz terlalu kaku dalam beragama. Bahkan, penampilan Jaiz dan rekan-rekannya yang berjenggot, memakai jubah, dan celana cingkrang itu dituding mirip teroris.
Kedua kelompok tadi bersikap dan bertindak berdasarkan prasangka, yang terus dipelihara hingga memunculkan kebencian. Hakim lewat film ini menawarkan tabayun, saling memahami, sehingga ketemu titik tengah.
Relevan
Film Bid’ah Cinta sangat relevan menggambarkan kehidupan keberagamaan bangsa Indonesia. Apalagi ketika politik identitas makin menguat saat ini. Jika terus memperbesar prasangka buruk, tanpa komunikasi yang memadai dan mencoba memahami kelompok lain, konflik bakal pecah. Masih banyak masalah lain yang perlu dibahas bersama daripada sekadar mengurusi cara beribadah orang lain.
Hal ini sedikit banyak tecermin juga dalam film Fatima garapan Philippe Faucon yang banyak menggunakan latar Perancis. Film ini menonjolkan wajah Islam dalam arus modernitas. Berkisah tentang Fatima (Soria Zeroual), seorang janda yang berjuang membesarkan kedua anaknya, Nesrine (18) dan Souad (15). Nesrine ingin masuk sekolah kedokteran. Fatima yang kesulitan berbahasa Perancis dan bekerja sebagai tukang bersih-bersih itu harus menjual perhiasannya untuk membiayai Nesrine.
Sementara Souad muncul sebagai pemberontak. Dia menilai ibunya tak berguna karena tak dapat berbahasa Perancis dengan baik. Fatima mencurahkan beban perasaan, termasuk harapan terhadap kedua anaknya, dengan menulis berlembar-lembar surat dalam bahasa Arab. Nesrine tersentuh saat membacakannya.
Selain empat film tadi, tentu banyak film lain yang juga menarik. Festival Film Madani layak mendapat apresiasi. ”Ide dasarnya, kami akan menghadirkan living Islam, yakni Islam yang dihayati, dijalankan, dan dipraktikkan sehari-hari di berbagai belahan dunia,” kata anggota Dewan Festival, Putut Widjanarko.
Anggota Dewan Festival lainnya, Inaya Wahid, berharap festival ini menjadi inspirasi bahwa tafsir tunggal atas keislaman justru akan menumpulkan hati dan umat.