Antisipasi Banjir, Kali Ciliwung Dikeruk dan Sampah di Manggarai Dibersihkan
JAKARTA, KOMPAS — Sampah di Pintu Air Manggarai mulai dibersihkan dan Sungai Ciliwung mulai dikeruk. Ini merupakan upaya pengendalian banjir yang terus dilakukan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Namun, jika ingin benar-benar memutus mata rantai banjir, pemerintah harus lebih tegas.
Dari pantauan Kompas pada Senin (22/10/2018) sekitar pukul 12.00, di Pintu Air Manggarai, sampah yang mengalir di Kali Ciliwung masih tertahan oleh balkal atau pelampung berbahan high density polyethylene (HDPE) sekitar 3-5 meter dari depan pintu air.
Ketua Satuan Pelaksana Badan Air Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Rohmat mengatakan, pengerukan sampah dilakukan sejak pukul 07.00. Sampah kemudian diangkut lima truk pengangkut sampah yang bergerak secara mobil, untuk ditaruh sementara ke daerah Jalan Perintis Kemerdekaan, Pulogadung, Jakarta Timur, dan akhirnya dibuang ke TPA Bantargebang, Bekasi.
Ekskavator tak hentinya mengeruk sampah dari kali dan memindahkannya ke bantaran kali sebelum dimasukkan ke truk pengangkut. Truk pengangkut yang digunakan mampu menampung hingga 9 kubik. Tumpukan sampah siang itu lebih dari 1 meter.
”Hari ini sampah diangkut sebanyak 15 kali oleh lima truk yang mobile. Sejak Sabtu (20/10/2018), sampah yang tertahan sudah diangkut sebanyak 70 kali oleh truk yang sama. Untuk berjaga-jaga adanya kiriman sampah lagi dari Bogor, ekskavator dan truk akan tetap di sini 24 jam,” tutur Rohmat.
Sampah didominasi ranting, daun, dan batang kayu. Namun, ada juga sampah masyarakat, seperti styrofoam, bungkus makanan, sandal, pampers, botol plastik, dan bola.
Tak hanya persoalan sampah. Agar aliran air di Kali Ciliwung lebih lancar, pengerukan lumpur dilakukan. Pengawas Pengerukan Dinas Sumber Daya Air DKI Jakarta, Agus Suparyono, menjelaskan, pengerukan lumpur di Kali Ciliwung di bawah Jembatan Ciliwung di Kampung Melayu, Jakarta Timur, berguna untuk membuat aliran air menjadi lancar dan banjir dapat lebih dikendalikan.
Saat ditemui di Jembatan Ciliwung Kampung Melayu, Agus mengatakan, endapan lumpur jika tidak dikeruk akan membuat aliran air terhambat. Pengerukan lumpur dilakukan dari Jembatan Ciliwung Kampung Melayu hingga Jembatan Jatinegara yang berjarak sekitar 1.400 meter.
Ada tiga ekskavator amfibi yang digunakan untuk mengeruk lumpur dan memindahkannya ke pinggiran kali. Lumpur kemudian diangkut dengan ekskavator long arm ke truk peralatan dan perbekalan (alkal). Enam truk bermuatan 20 ton digunakan untuk mengangkut lumpur setiap hari.
Tak hanya lumpur, sampah pun terkeruk. Agus menyebutkan, lumpur akan dibawa ke Jalan Raya Gudang Peluru, Cilincing, Jakarta Utara. Pengerukan lumpur sudah berjalan satu minggu dan akan terus dilakukan hingga dua bulan ke depan.
Pintu Air Manggarai aman
Operator PA Manggarai Djamali menyatakan, status PA Manggarai hingga saat ini aman sebab ketinggian air masih di angka 565 sentimeter. Angka ini masih aman karena berada di bawah ketinggian 750 sentimeter.
”Kami selalu berkoordinasi dengan operator pintu air yang bertugas di Katulampa, Depok, dan semua operator pintu air di Jakarta. Laporan ketinggian air pun selalu kami berikan kepada Dinas Sumber Daya Air setiap jam. Jika dalam kondisi waspada bahkan kritis, laporan akan kami lakukan minimal 5 menit sekali,” tutur Djamali.
Sebagai pintu pertama yang dialiri air dari Kali Ciliwung, PA Manggarai berperan penting dalam pengendalian banjir. Djamali menyampaikan, dalam kondisi normal seperti sekarang pun, semua pintu air dibuka, baik PA Kanal Barat maupun PA Ciliwung Kota.
”Untuk tiga pintu Kanal Barat memang selalu dibuka semua. Aliran airnya akan mengalir ke Karet, Tanah Abang, hingga Muara Angke. Berbeda dengan PA Ciliwung Kota yang akan mengalirkan air ke PA Istiqlal. Saat ini baru dibuka 30 sentimeter,” papar Djamali.
”Jika hujan terus turun di daerah Puncak, Bogor, dan status Kali Ciliwung di Katulampa meningkat, selama 10-11 jam air tersebut akan sampai di PA Manggarai. Kami akan bersiap dengan menambah bukaan khususnya di pintu Ciliwung Kota,” lanjutnya.
Penanganan belum serius
Pengamat tata kota Nirwono Joga mengatakan, belum ada ketegasan pemerintah dalam menangani banjir. Sungai masih dijadikan tempat membuang limbah dan hajat. Selain itu, bantaran sungai pun masih dijadikan tempat tinggal warga.
”Sungai sebenarnya memiliki aturan. Lebar bantaran sungai seharusnya setengah dari lebar sungainya. Misalnya, lebar sungai 30 meter, maka lebar bantaran sungai seharusnya 15 meter ke kanan dan 15 meter ke kiri. Tapi, nyatanya, kan, sudah dibeton bahkan dibangun rumah-rumah warga,” tutur Nirwono.
Sementara untuk tepian waduk, danau, dan situ, selebar 50 meter dari tepi badan air tidak boleh ada bangunan. Selain itu, di atas saluran air pun masih ditemukan bangunan liar.
Jika memang ingin memutus mata rantai banjir, pemerintah daerah harus melakukan rehabilitasi saluran air, revitalisasi waduk, danau, dan situ, serta normalisasi atau naturalisasi sungai. Sayangnya, dari 13 sungai di Jakarta, tak ada satu pun sungai yang sudah dinormalisasi.
”Normalisasi sungai memang membutuhkan langkah yang bertahap. Ketika bantaran sungai sudah dibebaskan, normalisasi bisa dilakukan. Misalnya, satu tahun satu sungai, dalam lima tahun, kan, sudah ada lima sungai yang dinormalisasi,” kata Nirwono.
Selain aliran air, daerah resapan juga perlu menjadi perhatian pemerintah. Hal ini dapat dilakukan dengan memperbanyak ruang terbuka hijau dan membangun banyak sumur resapan serta kolam penampung untuk persiapan memasuki musim hujan. (SHARON PATRICIA)