Direktur Sumber Daya Energi, Mineral, dan Pertambangan pada Badan Perencanaan Pembangunan Nasional atau Bappenas Josaphat Rizal Pramana memberikan ilustrasi menarik tentang model pengelolaan sumber daya alam di Indonesia, khususnya mineral dan batubara. Seperti penjual gado-gado yang memiliki simpanan emas begitulah yang terjadi di Indonesia tentang bagaimana kekayaan tambang itu dikelola.
Dalam perumpamaan yang disampaikan Rizal dalam sebuah diskusi di Jakarta, beberapa waktu lalu, penjual gado-gado kurang beruntung dalam bisnisnya lantaran sepi pembeli. Namun, untuk menutup kerugian dalam pembukuan, penjual itu mengambil sebagian simpanan emas untuk dimasukkan ke dalam pembukuan sehingga tak merugi atau bahkan justru untung. Sampai suatu masa, simpanan emas itu benar-benar habis dan si penjual bangkrut.
Ilustrasi itu mengingatkan kebijakan pemerintah baru-baru ini untuk menutup defisit transaksi berjalan akibat tingginya impor minyak dan gas bumi. Kebijakan itu adalah menambah kuota ekspor batubara sebanyak 100 juta ton. Itu belum memasukkan angka target produksi tahun ini yang sebanyak 485 juta ton. Dari penambahan kuota ekspor tersebut diharapkan bisa diperolah devisa sebesar 1,5 miliar dollar AS.
Seharusnya, menurut Rizal, penjual gado-gado itu tidak memasukkan simpanan emasnya ke dalam pembukuan penjualan yang sedang merugi. Caranya adalah dengan menginvestasikan simpanan emas sebagai modal membangun bisnis yang lain. Ringkasnya, emas (ilustrasi dari kekayaan mineral dan batubara di Indonesia) harus menjadi modal penggerak pembangunan, bukan sebagai komoditas yang menjadi sumber penerimaan utama negara.
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, produksi batubara dipatok menurun dari 425 juta ton pada 2015 menjadi 400 juta ton pada 2019. Pasokan batubara harus memperkuat kebutuhan industri dan pembangkit listrik di dalam negeri, bukan sebagai komoditas yang diekspor untuk mengeruk devisa. Faktanya berbicara lain.
Pada 2015, produksi batubara jauh melampaui perencanaan menjadi sebanyak 461 juta ton. Pada 2016 sempat menurun lantaran faktor harga yang rendah menjadi 456 juta ton. Selanjutnya, produksi kembali naik menjadi 461 juta ton pada 2017 dan tahun ini ditargetkan lebih tinggi menjadi 485 juta ton.
Pemerintah beranggapan, komoditas batubara masih efektif diperjualbelikan untuk mendapatkan devisa. Apalagi, pada saat negara mengalami defisit transaksi berjalan, memperbanyak penjualan batubara adalah cara paling mudah dan cepat. Harga batubara saat ini juga sedang tinggi-tingginya, yaitu di kisaran 100 dollar AS per ton.
Dari keseluruhan produksi batubara, sekitar 25 persen dipasok untuk kebutuhan dalam negeri, khususnya kebutuhan pembangkit listrik dan industri. Sisanya diekspor. Besarnya porsi ekspor dibandingkan pemanfaatan di dalam negeri ibarat sebuah satire bahwa Indonesia berbaik hati membantu memperkuat ketahanan energi negara lain.
Apalagi, sesuai sifatnya yang tak bisa diperbarui, batubara suatu saat nanti akan habis. Apa yang akan terjadi bagi Indonesia seandainya cadangan batubara benar-benar habis? Dengan apa nanti defisit transaksi berjalan ditambal? Cadangan batubara kita hanyalah 3 persen dari seluruh cadangan yang ada di dunia. Ironisnya, Indonesia menjadi eksportir batubara terbesar di dunia.
Hal inilah yang harus menjadi perhatian para pengambil kebijakan di negeri ini. Batubara, emas, tembaga, nikel, bauksit, dan jenis mineral lainnya suatu saat pasti akan habis. Sebaiknya, sebelum masa itu benar-benar tiba, pemerintah harus meninjau ulang kembali kebijakan pemanfaatan kekayaan sumber daya alam tersebut.
Apakah simpanan emas akan dikurangi untuk menutup keuangan penjualan gado-gado yang merugi? Atau, simpanan emas dipakai untuk investasi lain yang lebih menguntungkan? Yang jelas, jangan wariskan generasi mendatang dengan kebangkrutan.