Para penjual narkotika kini beroperasi ilegal dengan intaian ancaman hukuman mati. Namun, bangsa Indonesia pernah melewati masa saat narkotika bernama opium dijual secara sah dan terang-terangan.
Oleh
J Galuh Bimantara
·5 menit baca
Para penjual narkotika kini beroperasi secara ilegal dengan intaian ancaman hukuman mati. Namun, bangsa Indonesia pernah melewati masa saat narkotika bernama opium dijual secara sah dan terang-terangan. Bahkan, produksi opium sempat dikuasai pemerintah kolonial Belanda. Jejak pabriknya ada di kawasan yang sekarang bernama Salemba, di Kecamatan Senen, Jakarta Pusat.
Arkeolog Candrian Attahiyat adalah salah satu pengulik riwayat bisnis opium di Hindia Belanda. Ia pada Kamis (27/9/2018) mengajak Kompas menelusuri jejak bisnis candu halal mulai dari seberang Stasiun Cikini di Jakarta Pusat, masuk ke Jalan Cikini Ampiun lalu menuju Gang Ampiun, di Kelurahan Pegangsaan, Kecamatan Menteng, Jakarta Pusat. Gang Ampiun punya kaitan dengan riwayat opium.
Cikini Ampiun berlokasi di sebelah Cikini Gold Center. Dari sana, kaki melangkah masuk ke gang selebar 1,5-3 meter. Candrian menemui M Soleh (71), seorang warga senior di RT 011 RW 001 Kelurahan Pegangsaan.
Soleh yang lahir dan besar di sana menuturkan, nama Gang Ampiun muncul karena dulu terdapat asrama atlet di lokasi yang sekarang menjadi Hotel DoubleTree di Cikini. Menurut dia, para legenda olahraga seperti pelari Sarengat dan pemain bulu tangkis Rudi Hartono pernah tinggal di sana. Mereka adalah para juara, atau champion, di masanya.
“Ampiun itu sebenarnya Champion. Karena orang kampung, biar gampang menyebutnya, Ampiun saja dah. Dulu kan betawinya totok banget di sini,” ucap Soleh. Asrama atlet tersebut sepengetahuan dia belum tergolong tua, baru ada di dekade 1970-an atau 1980-an.
Namun, Candrian berpendapat lain. Berdasarkan peta koleksi Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda, dengan judul Plattegrond von Batavia, Gang Ampiun tertulis sebagai G. Amfioen, bersisian dengan rel kereta yang merupakan percabangan dari jalur rel . Menurut keterangan sumber, peta itu berasal dari tahun 1947.
Artinya, peta tersebut membantah kaitan antara nama Gang Ampiun dengan asrama atlet, karena nama gang sudah muncul jauh sebelum asrama berdiri. Ampiun malah menjadi petunjuk soal keberadaan pabrik opium. Candrian mengemukakan, Ampiun adalah “nama gampang” opium.
Rel yang berdekatan dengan Gang Ampiun berdasarkan peta itu juga merupakan petunjuk lain soal bisnis candu. Ke arah timur laut, rel bercabang dua. Satu rel masuk ke opiumfabriek (pabrik opium), satu lagi masuk ke sebuah tempat di Gang Kenari, yang dulu merupakan stasiun bernama Stasiun Salemba. Dengan demikian, jaringan rel tersebut berperan untuk lalu lintas opium, yaitu bahan mentah opium masuk ke pabrik untuk diolah, dan produk opium kemudian didistribusikan ke berbagai tempat.
James R Rush dalam buku versi terjemahan Bahasa Indonesia berjudul Candu Tempo Doeloe: Pemerintah, Pengedar dan Pecandu 1860-1910, mencatat, opium di Jawa sudah jadi komoditas penting dalam perdagangan regional saat orang-orang Belanda pertama kali mendarat di pulau ini akhir abad ke-16. Tidak ada yang tahu kapan opium mulai masuk dan siapa pembawanya, tetapi kala itu, para saudagar Arab terkenal karena membawa opium ke Asia.
Candrian lantas mengajak melihat kawasan Gang Ampiun dan sekitarnya dari ketinggian, di suatu tempat di daerah Cikini. Dari sana, terlihat ada pola atap seng memanjang tanpa terputus seperti mengikuti suatu garis. Ternyata, atap seng itu mengikuti jalur rel masa lampau yang berdasarkan peta koleksi Universitas Leiden kemudian bercabang ke Kenari dan pabrik opium. Namun, rel tersebut sudah lenyap, berganti gang beraspal selebar 1,5 meter. “Jalan ini selebar rel kereta, terus ke timur ke arah Salemba,” ujarnya.
Di bawah seng, terdapat geliat aktivitas jual-beli karena kanan-kiri gang sudah menjelma kios-kios pasar tradisional, yang antara lain menjual daging, sayur-mayur, bumbu-bumbu, dan buah. Bersenggolan dengan pejalan kaki lain di sana tak terhindarkan karena sempitnya gang. Sejumlah pembeli juga menyempatkan berhenti melihat-lihat dagangan di beberapa kios sehingga turut memperlambat lalu lintas orang.
Jika terus berjalan ke arah timur hingga keluar dari area beratap seng, sebuah jembatan bakal dijumpai, membantu para pejalan kaki menyeberangi Kali Ciliwung. Jembatan itu rupanya sisa dari rel kereta kuno yang masih bertahan hingga sekarang.
Warga setempat tahu bahwa gang dan jembatan itu dulunya rel kereta. Bahkan, sebagian menjadi saksi ketika rel masih beroperasi. “Dulu di samping rel ada pohon-pohon. Waktu kecil, saya main di situ sama teman-teman, cari batu buat bikin rumah-rumahan,” kata Rosadah (76), penduduk RT 007 RW 001 Kelurahan Pegangsaan.
Namun, menurut Rosadah, tidak ada pengangkutan opium di jalur kereta itu. Yang ada, lalu lalang kereta barang mengangkut antara lain batu, pasir, dan kayu. Material-material itu lantas diturunkan ke stasiun di Kenari. Soal percabangan rel ke arah pabrik opium pun warga tidak mengetahuinya. Soleh menambahkan, rel dan kereta di sana tidak terlihat lagi pada 1970-an.
Candrian kemudian memandu perjalanan semakin ke timur. Ia menuju kampus Universitas Indonesia di Salemba, lantas berjalan ke bagian dalam area kampus, hingga menghadap bangunan berdinding tinggi dan beratap seng. Pada salah satu pintu ruangan, terdapat petunjuk bertuliskan “R. KULIAH FKUI KIMIA 3”. Inilah tujuan dari perjalanan bersama Candrian, yakni menjumpai bangunan bekas pabrik opium. Bangunan pabrik antara lain menjelma menjadi Fakultas Kedokteran serta Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI.
Pabrik opium Salemba, yang ketika penjajahan oleh Belanda masuk wilayah Weltevreden, merupakan perwujudan usaha Belanda untuk sepenuhnya memonopoli bisnis opium. Monopoli dijalankan oleh perusahaan Belanda Nederlandsche Handel-Maatschappij (NHM). “NHM adalah inkarnasi VOC (Kongsi Dagang Hindia Timur Belanda). Kalau VOC monopoli rempah-rempah, ini monopoli candu,” kata Candrian.
Menurut Candrian, NHM menerima hak monopoli candu pada 1 Januari 1827, tiga tahun pasca berdiri. Awalnya, NHM hanya memonopoli impor bunga opium atau poppy ke wilayah Hindia, lantas pembuatan opium dijalankan oleh pemegang hak produksi atau pak yang tersebar di berbagai daerah. NHM lantas memonopoli pula produksi opium. Untuk memenuhi permintaan di Hindia, dibuatlah pabrik opium yang besar di Salemba tahun 1894.
Jalur rel yang terhubung dengan pabrik opium tadi, walaupun belum bisa dipastikan dari cerita warga ada-tidaknya rel yang masuk ke pabrik, menunjang proses produksi dan distribusi. Kereta dari Pelabuhan Tanjung Priok membawa bunga opium yang diangkut dengan kapal dari tempat asalnya, terutama India. Setelah bahan diolah di pabrik, produk opium didistribusikan ke seluruh Jawa sampai ke Bali.
Nilai transaksi opium di Hindia belum diketahui. Namun, keuntungan yang amat besar dari penjualan opium mampu memodali pembangunan kota. “Hampir semua bangunan di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 dibiayai dari candu,” kata Candrian.