Mereka Tersingkir di Tanah Sendiri
Fransiska (28) termenung di rumahnya. Dulu, siang hari ia sibuk di ladang. Delapan tahun terakhir ia tidak lagi punya ladang karena dikonversi korporasi menjadi kebun sawit.
Fransiska kini tinggal di Kampung Semunying Bungkang, Kecamatan Jagoi Babang, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat. Tempat tinggalnya merupakan lokasi permukiman baru. Ia dan 31 kepala keluarga lain direlokasi dari lokasi permukiman lama. Ada yang direlokasi sejak 2008/2009.
Permukiman lama berjarak 500 meter dari permukiman baru. Kampung lama mereka beserta kebun karet dan ladang kini jadi hamparan perkebunan sawit. Kini semua berubah. Bahkan, tanah untuk pemakaman pun hampir tidak ada. Jarak pemakaman dengan tanaman sawit hanya sekitar 2 meter.
Masih jelas dalam ingatan Fransiska, suatu pagi tahun 2010, ia dan suami, Asbung (38), hendak menyadap karet di kebun mereka seluas 3 hektar. Setelah tiba di lokasi, kebun yang mereka tanami dengan susah payah telah digusur.
”Perusahaan kerap mengincar tanah kami, tetapi tidak kami berikan. Di samping kebun karet menjadi sumber penghasilan, harga yang ditawarkan tidak layak, Rp 1,5 juta per hektar. Ternyata kemudian mereka menggusur kebun karet secara paksa,” tutur Fransiska, Rabu (26/9/2018).
Karena kehilangan penghasilan, suami Fransiska menjadi buruh sawit di Malaysia. Baru tiga hari suami Fransiska bekerja di Malaysia, korporasi menggusur ladang mereka seluas 2 hektar.
Setelah menggusur ladang dan kebun karet, korporasi menawarkan ganti rugi sekitar Rp 70 juta. Fransiska dan suami terpaksa menerima uang itu mengingat semua lahan sudah diambil dan mereka tak memiliki apa pun.
Saat Fransiska pulang dari tempat saudara, rumah dan harta bendanya sudah habis dibakar. ”Padahal, ganti rugi itu hanya untuk penggusuran ladang dan kebun karet,” katanya.
Fransiska dan suami terpaksa mengikuti rencana relokasi oleh korporasi ke lokasi permukiman baru. Pada 2012, Fransiska dan suami adalah orang terakhir yang direlokasi. Merekalah yang paling gigih mempertahankan tanah.
Jeliman (54) punya cerita lain. Ia melepaskan ladang 4 hektar dan kebun karet 3 hektar kepada korporasi karena ada ”angin surga,” yakni janji sebagai petani plasma dan anaknya bisa sekolah gratis. Ternyata plasma tidak jadi dan anaknya pun putus sekolah.
Kisah Fransiska dan Jeliman dialami 30 kepala keluarga lain di kampung itu. Tanah yang dikonversi terdiri dari tanah adat sekitar 1.420 hektar, sawah sekitar 30 hektar, dan tanah individu termasuk kebun karet sekitar 117 hektar.
Hilangnya kemandirian
Warga kini terpaksa menjadi buruh di perkebunan dengan upah sekitar Rp 70.000 per hari. Semasa masih memiliki ladang dan kebun karet, kebutuhan primer dicukupi dengan berladang. Penghasilan dari berjualan sayur dan karet berkisar Rp 3 juta-Rp 4 juta per bulan. Kini, beras dan sayur harus dibeli dengan pendapatan yang sangat pas-pasan.
Adat istiadat yang ada pun hampir punah. Tradisi syukuran sehabis panen dan berkat untuk peralatan berladang nyaris hilang karena sudah tidak bisa berladang. Relasi sosial warga hancur.
Kisah serupa terjadi hampir di seluruh pedalaman. Hal itu tergambar dalam konflik tenurial di Kalbar. Data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Kalbar menunjukkan, pada 2015 ada 100 konflik, tahun 2016 meningkat jadi 115 konflik, dan pada 2017 jadi 127 konflik.
Ketua Badan Pengurus Harian Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalbar Stefanus Masiun mengatakan, luas Kalbar 14,7 juta hektar. Sebanyak 11,7 juta hektar sudah terbebani berbagai izin: sawit 4,5 juta hektar, tambang 2,7 juta hektar, hak penguasaan hutan 1,3 juta hektar, dan hutan tanaman industri 3,2 juta hektar.
Wilayah kelola masyarakat hanya tersisa 3 juta hektar. Padahal, menurut penelitian AMAN Kalbar, masyarakat lebih kuat secara ekonomi jika wilayahnya dikelola secara mandiri.
Pertumbuhan semu
Guru Besar Ilmu Ekonomi Universitas Tanjungpura, Pontianak, Eddy Suratman, menilai ekonomi Kalbar tumbuh, tetapi semu. Sejumlah indikator penting tak banyak berubah dengan adanya investasi. Indeks gini Kalbar tiga tahun terakhir stagnan 0,33. Artinya, tak ada perbaikan pendapatan antarkelompok.
Indeks Pembangunan Manusia 66,26, rendah dibandingkan angka nasional 70,81. Penurunan kemiskinan tidak signifikan. Persentase kemiskinan Maret 2017 sebesar 7,88 persen dan Maret 2018 hanya turun menjadi 7,77 persen. Kemiskinan Kalbar tertinggi se-Kalimantan.
Desa-desa jauh dari kemajuan. Gubernur Kalbar Sutarmidji mengatakan, dari 2.031 desa di Kalbar, baru satu desa mandiri. Sebanyak 452 desa belum dialiri listrik. Padahal, Kalbar penghasil minyak sawit mentah (CPO) terbesar kedua di Indonesia.
Kalbar tidak mendapatkan bagi hasil pajak ekspor karena CPO dari Kalbar diekspor melalui pelabuhan di Jakarta dan Sumatera. Padahal, potensi bagi hasil pajak ekspor Rp 1,8 triliun-Rp 2 triliun per tahun.
Sekretaris Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia Kalbar Idwar Hanis mengatakan, sawit merupakan investasi strategis yang memerlukan lahan luas. ”Saat ingin berinvestasi, kami mengajukan permohonan kepada pemerintah. Pemerintah yang menentukan lokasi,” ujarnya.