Saatnya Mencermati Isu Spesifik
Apresiasi publik terhadap kinerja pemerintahan Jokowi-Kalla pada saat ini terlihat menurun jika dibandingkan dengan enam bulan lalu. Pengelolaan isu tampaknya mesti lebih tajam dilakukan oleh pemerintah.
Pengelolaan isu tampaknya mesti makin menjadi perhatian pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla. Menapaki tahun terakhir masa kerja menjadi periode rawan bagi setiap pemerintahan. Terlebih saat ini ada sejumlah pergeseran terkait apresiasi terhadap kinerja pemerintah.
Setelah menunjukkan tren apresiasi yang meningkat signifikan sejak April 2017 hingga April 2018, awal bulan Oktober ini terekam kecenderungan penurunan apresiasi. Survei periodik yang dilakukan Litbang Kompas pada 24 September–5 Oktober 2018 merekam penilaian kepuasan publik secara umum kini ada di angka 65,3 persen. Itu berarti turun 6,9 persen dibandingkan apresiasi publik pada April 2018 yang mencapai angka tertinggi selama ini, yakni 72,2 persen. Tingkat penurunan kali ini berada di luar rentang margin of error penelitian yang plus minus 2,8 persen.
Tingkat apresiasi publik pada saat ini setara dengan hasil survei tiga bulan pertama pemerintahan (Januari 2015) yang berada di angka 65,1 persen dan hasil survei dua tahun pemerintahan (Oktober 2016) di angka 65,9 persen.
Naik turun apresiasi publik menunjukkan serapan informasi dan persepsi publik terhadap berbagai langkah dan kebijakan yang pemerintahan Jokowi-Kalla. Namun, tak sekadar tindakan pemerintah, apresiasi juga terbentuk melalui keseluruhan isu dan peristiwa yang melingkupi periode enam bulan sejak April 2018 hingga awal Oktober lalu.
Dari empat indikator yang digunakan sebagai dasar penilaian kinerja, angka penurunan kepuasan tertinggi terjadi di bidang hukum, yaitu 9,5 persen. Pada April 2018, tingkat kepuasan bertengger di 66,0 persen dan kini jadi 56,5 persen. Penurunan apresiasi yang signifikan juga terjadi di bidang kesejahteraan sosial dengan apresiasi 65,7 persen atau turun 8,4 persen dari periode sebelumnya (74,1 persen).
Hal yang cukup mengejutkan adalah bidang ekonomi yang belakangan ini banyak diperbincangkan publik secara umum justru masih memiliki apresiasi relatif sama tinggi dengan enam bulan lalu. Kepuasan umum atas kinerja pemerintah bidang ekonomi relatif tetap di angka 51 persen meski jika ditilik lebih dalam ke aspek-aspek terinci beberapa sektor ekonomi terekam menurun.
Sementara itu, apresiasi terhadap bidang politik dan keamanan masih konsisten tinggi dan paling baik daripada tiga bidang indikator lain. Kepiawaian Jokowi dalam mengelola isu politik tampak jelas dari tingkat kepuasan publik yang mencapai 73,8 persen, hanya turun 2,1 persen dari enam bulan lalu.
Pergeseran apresiasi ini tentu menjadi catatan penting bagi Jokowi yang akan kembali mengikuti Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 berpasangan dengan KH Ma’ruf Amin.
Sejumlah Isu
Sepanjang enam bulan terakhir, ruang publik dipenuhi berbagai isu. Tak hanya isu politik dan ekonomi, tetapi juga terkait sejumlah bencana gempa bumi di Lombok, Nusa Tenggara Barat, serta di Palu, Sigi, dan Donggala, Sulawesi Tengah.
Isu tentang angka kemiskinan, lapangan kerja, rencana impor beras, nilai rupiah terhadap dollar AS, aksi ganti presiden, hingga kabar bohong Ratna Sarumpaet menghiasi pemberitaan berbagai media. Memasuki masa kampanye Pemilu 2019, berbagai peristiwa itu menjadi aspek yang berpengaruh bagi penilaian publik atas kinerja pemerintah.
Menguatnya nilai tukar dollar AS terhadap rupiah yang terjadi belakangan ini tampaknya memengaruhi persepsi di benak publik terkait tekanan atas perekonomian nasional. Hal itu terindikasi dari penilaian kepuasan publik atas kinerja pemerintah dalam mengendalikan nilai tukar rupiah paling besar mengalami penurunan angka kepuasan, yakni mencapai 13,8 persen.
Hingga akhir survei pada 5 Oktober 2018, pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS jika dihitung sejak awal tahun tercatat 12 persen, yaitu dari Rp 13.542 per dollar AS (2 Januari 2018) menjadi Rp 15.182 per dollar AS. Respons publik atas kondisi ini sudah terekam pada survei periode April 2018, ketika kepuasan atas langkah-langkah pemerintah untuk menangani depresiasi rupiah sebesar 39,7 persen dari sebelumnya 51 persen pada Oktober 2017.
Publik tampak memahami, kondisi ekonomi dalam negeri juga dipengaruhi faktor eksternal, seperti perang dagang AS-China dan kenaikan harga minyak dunia. Hal ini terindikasi dari jawaban responden yang menilai faktor eksternal sebagai hal yang paling memengaruhi harga barang saat ini. Meski demikian, publik tetap mengharapkan kemampuan pemerintah dalam menanggulangi dampak kondisi itu, terutama terkait harga kebutuhan di dalam negeri.
Penanganan atas persoalan hukum juga mengoreksi tingkat kepuasan publik kepada pemerintah. Jual beli kasus hukum jadi salah satu yang paling rendah apresiasinya. Adapun pemberantasan terorisme, narkoba, dan korupsi relatif masih diapresiasi lebih banyak responden.
Dalam enam bulan terakhir, publik disuguhi deretan proses hukum kasus korupsi besar. Kasus itu misalnya korupsi dalam pengadaan KTP elektronik yang melibatkan mantan Ketua DPR Setya Novanto, kasus Pembangkit Listrik Tenaga Uap Riau-1 yang melibatkan mantan Menteri Sosial Idrus Marham, serta penangkapan sejumlah kepala daerah dan anggota DPRD.
Pengungkapan kasus-kasus itu di satu sisi menunjukkan prestasi bahwa pemberantasan korupsi kian gencar dijalankan demi mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Namun, di sisi lain, fakta bahwa sejumlah tersangka pernah menjadi bagian dari pemerintahan juga membuat persepsi publik melemah. Tingkat apresiasi publik terhadap kinerja pemberantasan korupsi kini jadi 57,0 persen dari sebelumnya 63,2 persen pada April 2018.
Kesejahteraan sosial
Di tengah sejumlah program, seperti jaminan kesehatan nasional dan jaminan pendidikan, yang dilakukan pemerintahan Jokowi-Kalla, keraguan—meski masih bersifat relatif—juga mulai muncul di bidang kesejahteraan sosial.
Isu tentang kemiskinan dan lapangan kerja, penyesuaian prosedur layanan BPJS, dan kekurangan dana BPJS di tengah upaya subsidi oleh negara jadi faktor yang terlihat menggoyahkan keyakinan publik. Jika sebelumnya angka kepuasan publik terhadap bidang kesejahteraan sosial adalah yang tertinggi, kini angkanya mulai tergerus. Dalam survei ini, tingkat kepuasan bidang kesejahteraan sosial ada di angka 67,9 persen, menurun dari periode survei sebelumnya yang mencapai 77,2 persen.
Meski demikian, sejumlah aspek kesejahteraan sosial, seperti pemerataan pembangunan, perhatian kepada nelayan dan petani, dan pembangunan pasar tradisional, tetap meraih apresiasi tinggi dari responden.
Selain tingkat kepuasan atas kinerja pemerintah, pada survei kali ini, penurunan juga terjadi pada citra diri Jokowi. Citra positif Presiden Jokowi kini ada di angka 81,9 persen atau turun 4,9 persen dari citranya pada April 2018 (86,8 persen). Meski demikian, angka di atas 80 persen ini masih tergolong tinggi dan menjadi modal sosial yang kuat bagi Jokowi.
Persepsi publik atas kinerja pemerintahan jadi krusial karena Jokowi kembali maju sebagai calon presiden di Pemilu 2019. Berdasarkan hasil survei, tren citra atas diri Jokowi dari periode Januari 2015 hingga Oktober 2018 membentuk pola senada dengan tren kepuasan atas kinerja pemerintahannya. Meskipun jika dilihat dari angka, citra presiden lebih tinggi dibandingkan kepuasan atas kinerja pemerintah.
Saat ini, tingkat keyakinan publik terhadap perbaikan bidang-bidang politik, hukum, ekonomi, dan kesejahteraan sosial masih tinggi, rata-rata 75,0 persen. Kini saatnya Jokowi-Kalla memanfaatkan keyakinan itu untuk mengoreksi faktor-faktor yang menjadi sebab dari penurunan tingkat kepuasan. Apakah masalah itu merupakan problem lapangan, manajemen, atau faktor komunikasi politik?
Penggarapan terhadap isu spesifik harus dilakukan mengingat publik bisa terganggu jika isu yang sebenarnya tidak berkaitan secara langsung dengan kehidupan mereka ternyata semakin mendekat dan dirasakan menekan mereka.