Warga Bantargebang Butuh Kerja Sama DKI-Bekasi
BEKASI, KOMPAS – Warga Kecamatan Bantargebang, Bekasi, Jawa Barat, berharap perseteruan antara Pemerintah Kota Bekasi dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta segera diselesaikan. Warga membutuhkan kerja sama kedua pihak untuk menanggulangi bau dan pencemaran lingkungan yang diperkirakan semakin parah saat musim hujan.
Polemik pembuangan sampah dari Jakarta ke Bantargebang disebabkan ada beberapa butir perjanjian kerja sama antara Pemprov DKI dan Pemkot Bekasi yang tidak sesuai rencana.
Marga (80), warga RT 2 RW 5 Kelurahan Cikiwul, Kecamatan Bantargebang, Bekasi, mengatakan, ketika musim hujan, bau sampah jauh lebih kuat daripada saat musim kemarau. Bau sampah di musim hujan bukan hanya ditiupkan angin, tetapi juga terbawa air yang mengalir ke halaman rumah warga.
Menurut Marga, soal bau dan air kotor yang datang seiring musim hujan itu hingga kini belum bisa ditangani pengelola. “Lainnya sih sudah ada perkembangan. Jalan sudah lumayan bagus dan sampah tidak berserakan sebanyak dulu,” katanya.
Hal senada diungkapkan salah satu warga RT 1 RW 3 Kelurahan Ciketing Udik, Bantargebang, Udin (61). “Musim hujan sudah dekat, jangan sampai pemerintah berantem saat rakyat membutuhkan,” katanya.
Udin mengatakan, sebagai warga biasa, ia tidak begitu paham penyebab perselisihan Pemkot Bekasi dan Pemprov Jakarta. Yang ia inginkan, jangan sampai perselisihan itu membuat warga terlunta karena tak terurus.
Di sisi lain, Udin menyatakan, sejak 2014, TPST Bantargebang banyak dibenahi dan semakin tertata rapi.
Yani (43), warga RT 1 RW 2 Kelurahan Sumur Batu, Bantargebang, Bekasi, mengatakan, meskipun warga terbiasa dengan bau, namun ceritanya bakal beda saat musim hujan datang.
Di sisi lain, ia menerima rutin bantuan langsung tunai (BLT), yang merupakan bagian dari kompensasi bagi warga. BLT diberikan tepat waktu.
Dana kemitraan
Kepala Unit Pelaksana Teknis Tempat Pembuangan Sampah Terpadu TPST Bantargebang Asep Kuswanto mengatakan, dana kompensasi Rp 194 miliar sudah dibayarkan DKI ke Bekasi, Mei 2018.
“Dana kompensasi itu selalu dibayarkan tepat waktu untuk digunakan sebagai biaya perbaikan dan pemulihan lingkungan, biaya kesehatan, serta BLT Rp 200.000 per bulan,” kata Asep.
Adapun persoalan antara dua pemda ini terkait dana kemitraan. "Dana kemitraan bergantung pada kemampuan finansial Pemprov Jakarta,” ujar Asep.
Menurut Asep, pembicaraan resmi kedua pemda itu dijadwalkan Rabu pekan ini.
Pembahasan akan fokus pada dana bantuan kemitraan yang diajukan Bekasi, pertengahan Oktober ini. Bekasi mengajukan proposal bantuan kemitraan Rp 2,09 triliun untuk 41 proyek.
Menurut Asep, tahun 2018 ini, DKI dipastikan belum bisa memberikan dana kemitraan yang diajukan Bekasi sebab belum teranggarkan di APBD maupun APBD-P DKI Jakarta. Dana kemitraan paling cepat dikucurkan pada 2019. Jumlahnya pun tak langsung Rp 2,09 triliun dalam satu kesempatan, sebab jumlahnya dinilai terlalu besar. Prioritasnya untuk proyek yang terkait pengangkutan sampah dari Jakarta. “Seperti jalan layang itu, kan memang berhubungan dengan jalur distribusi truk sampah DKI,” kata Asep.
Asep mengatakan, pekan lalu, Biro Tata Pemerintahan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sudah melakukan verifikasi lapangan untuk dua proyek yang diajukan, yaitu pembangunan jalan layang di Rawa Panjang dan Cipendawa. Pemeriksaan lapangan ini dilakukan untuk memastikan dana kemitraan dari DKI Jakarta dimanfaatkan secara efektif.
Menurut Asep, persoalan yang kini terjadi tidak menghambat tiga proyek yang sedang dikerjakan yaitu pembuatan tempat pencucian truk sampah, penambahan instalasi pengolahan sampah, dan pembangunan pembangkit listrik tenaga sampah. “Pengelola akan tetap fokus melakukan perbaikan dan penambahan fasilitas yang diperlukan,” ujar Asep.
Provinsi DKI Jakarta masih akan sangat tergantung pada Bantargebang sebagai satu-satunya tempat pembuangan akhir sampah paling tidak hingga 2022. Hal ini karena instalasi pembakaran sampah (ITF) Sunter baru akan selesai pembangunannya sekitar 2022-2023. Kapasitas pengolahan sampah ITF Sunter berkisar 2.000-2.200 ton per hari. Kapasitas ini hanya sekitar sepertiga volume sampah yang dibuang ke Bantargebang. Kendati demikian, ITF Sunter diharap menjadi alternatif lain pengolahan akhir sampah Jakarta selain dibuang ke Bantargebang.
Wakil Wali Kota Bekasi Tri Adhianto Tjahyono mengatakan, pihaknya menginginkan komunikasi langsung dengan Gubernur DKI Anies Baswedan untuk membahas persoalan ini. Menurut dia, komunikasi perlu dilakukan untuk mengevaluasi kerja sama antara kedua daerah.
Menurut dia, komunikasi perlu dilakukan untuk mengevaluasi kerja sama antara kedua daerah. Kota Bekasi dan DKI Jakarta telah menandatangani kesepakatan kerja sama setelah pemindahan pengelolaan Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang dari pihak swasta kepada Pemerintah Provinsi DKI. "Dalam kesepakatan itu, ada 41 kegiatan yang sudah disetujui," ujar Tri.
Adapun 41 kegiatan tersebut antara lain pembangunan jalan layang (flyover) Rawapanjang dan Cipendawa. Selain itu, ada pula pembangunan pusat kesehatan masyarakat dan sekolah internasional. Seluruhnya membutuhkan dana hibah dari DKI.
Namun, kata Tri, dana hibah dari DKI terus turun dibandingkan 2017. Pada 2018, anggaran dana hibah sekitar Rp 190 miliar. "Dalam KUA-PPAS 2019 pun dananya hampir sama," kata Tri.
Menurut dia, Kota Bekasi tidak mempersoalkan nominal dana hibah yang akan diberikan. Poin penting dari dana hibah itu adalah sesuai dengan kebutuhan. DKI pun perlu mempertimbangkan manfaat dari hibah tersebut. "Jangan hanya melihat di tataran formal, tetapi dipertimbangkan bahwa membangun DKI perlu juga membangun daerah-daerah di sekitarnya," kata Tri.
Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi mengatakan, pihaknya juga tengah mengevaluasi persoalan ini. Setelahnya, ia akan mengirim surat kepada Anies. "Senin atau Selasa akan kami kirimkan. Terserah Pak Anies kelanjutannya seperti apa," kata Rahmat. (Pandu Wiyoga)