JAKARTA, KOMPAS – Hak imunitas advokat kembali dipersoalkan dengan diajukannya uji materi Undang-undang Advokat ke Mahkamah Konstitusi. Kalangan advokat merasa belum mendapatkan kejelasan mengenai hak imunitas bagi kelompok profesi itu ketika dewan kehormatan advokat tidak diberi kesempatan memberikan penilaian etik dan itikad baik yang dijadikan syarat bagi imunitas mereka di dalam UU Advokat.
Saat ini persidangan uji materi mengenai hak imunitas advokat itu memasuki tahap pembuktian dengan menghadirkan saksi dan ahli. Para pemohon yang semuanya merupakan advokat, yakni Yohanes Mahatma Pambudianto, Hermawanto, Herwanto, Tubagus Ikbal Nafinur Aziz, dan Firly Noviansyah, mengajukan uji materi terhadap Pasal 16 UU Advokat yang berbunyi, “Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik untuk pembelaan klien dalam sidang pengadilan.”
Para pemohon menilai pasal itu belum jelas dalam memberikan hak imunitas kepada advokat, terutama karena ada syarat “itikad baik” yang ukurannya belum jelas, serta pihak yang menilai ada atau tidak adanya itikad baik itu belum ada. Sebuah dewan kehormatan advokat yang bersifat tunggal belum ada dalam tata kelola organisasi profesi advokat di Tanah Air. Masing-masing organisasi advokat kini memiliki dewan kehormatan, yang kriteria etika dan ukuran penetapan itikad baiknya bisa jadi berbeda-beda antara satu dengan yang lain.
“Tata cara untuk mengadili advokat itu kan tidak ada. Sebelum advokat dinyatakan bisa dituntut secara pidana atau perdata, semestinya merujuk pada Pasal 16 UU Advokat, yakni bila ia tidak melakukan tugasnya dengan itikad baik. Nah siapa yang berhak menilai seorang advokat itu bekerja sesuai dengan itikad baik ataukah tidak? Seharusnya peran itu dimainkan oleh dewan kehormatan advokat, tetapi apakah dewan kehormatan itu dilibatkan saat seorang advokat ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus pidana dan perdata? Kenyataannya kan tidak,” kata Herwanto, salah satu pemohon, Selasa (23/10/2018) di Jakarta.
Kuasa hukum pemohon, Victor Santoso Tandiasa mengatakan, pihaknya menginginkan MK untuk memberikan tafsir ulang mengenai ukuran itikad baik itu, serta pelibatan dewan kehormatan advokat bagi advokat yang diduga melakukan tindak pidana atau berkasus dalam perkara perdata. Dengan demikian, setiap advokat yang diduga melanggar aturan bisa terlebih dahulu diperiksa oleh dewan kehormatan guna melihat apakah advokat itu melakukan tugasnya sesuai itikad baik ataukah tidak.
Selama ini, pada praktiknya penegak hukum bisa langsung menetapkan advokat menjadi tersangka dalam kasus pidana, bilamana advokat itu dinilai menghalang-halangi atau merintangi penyidikan, atau tidak bekerja dengan itikad baik. Namun, tidak ada mekanisme pemeriksaan organisasi bagi advokat bersangkutan yang dijadikan pertimbangan bagi penegak hukum untuk memroses perkara yang melibatkan advokat itu.
“Kalau penilaian “itikad baik” itu hanya dilakukan oleh penegak hukum, tentu sifatnya bias, karena bisa saja karena penegak hukum tidak senang atau tidak berkenan dengan upaya pembelaan yang dilakukan oleh advokat, maka advokat itu dianggap merintangi penyidikan. Misalnya, karena advokat menjalankan hak retensi, yakni hak menahan penyerahan sesuatu yang menjadi milik klien, termasuk dokumen atau berkas tertentu, bisa saja dia dinilai merintangi penyidikan. Padahal, hak itu diatur dan diakui,” kata Victor.
Merintangi penyidikan
Di sisi lain, sifat dasar advokat memang merintangi penyidikan yang tidak sesuai ketentuan dengan maksud melindungi hak-hak terdakwa atau tersangka. Artinya, upaya merintangi penyidikan itu harus berdasarkan hukum, yakni bilamana suatu penyidikan itu tidak dijalankan sesuai UU, dan hak-hak terdakwa atau tersangka dirugikan.
“Tujuan pembelaan ialah untuk memastikan hak tersangka atau terdakwa diberikan. Bila penyidikan ternyata tidak menjamin hak-hak itu diberikan, tentu advokat melakukan pembelaan, yang dengan kata lain bisa dimaknai merintangi jalannya penyidikan yang tidak sesuai ketentuan itu,” katanya.
Uji materi tentang hak imunitas advokat sebelumnya pernah diajukan oleh kalangan advokat dalam kaitannya dengan kasus penetapan Fredrich Yunadi, mantan advokat Setya Novanto, sebagai tersangka dalam kasus obstruction of justice atau perintangan penyidikan yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tahun 2017. MK tidak mengabulkan permohonan tersebut.
Tahun 2013, permohonan uji materi terkait dengan hak imunitas advokat juga diajukan kalangan advokat, terutama untuk frasa “dalam sidang pengadilan.” Para pemohon ketika itu meminta mahkamah untuk menafsirkan hak imunitas advokat di dalam Pasal 16 UU Advokat itu tidak berlaku hanya di dalam sidang, melainkan juga di luar sidang. MK mengabulkan pemrohonan uji materi itu, dengna pertimbangan sepanjang advokat itu melakukan tugasnya dengan itikad baik.
Juru bicara MK Fajar Laksono Soeroso mengatakan, kendati pasal yang sama telah beberapa kali diuji materi di MK, dan MK telah memberikan putusan, bukan berarti pasal itu tidak bisa diuji kembali. Syarat untuk sebuah ketentuan bisa diuji materi kembali ialah bila ada alasan atau argumentasi yang berbeda bila dibandingkan dengan perkara sebelumnya yang telah diputuskan oleh MK.
“Kalau MK meneruskan perkara ini, maka ada hal-hal yang membuat perkara itu tidak nebis in idem (sama dengan perkara sebelumnya yang telah diputus hakim). Artinya ada argumentasi baru yang diajukan oleh pemohon. Pasal itu dimungkinkan untuk diuji kembali, sepanjang pemohon memberikan argumenatsi baru terkait dengan persoalan itu. Apakah permohonan itu dikabulkan ataukah tidak tergantung keyakinan dan pertimbangan hakim,” ujar Fajar.
Editor:
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.