Ketika yang Datang Bukan yang Diundang
Bagai tamu tak diundang. Bencana datang dan pergi tanpa permisi. Tak ada yang mampu memastikan kapan terjadi. Hanya saja, bukan berarti sebagai manusia tak bisa mengantisipasi menuju kesiapan menghadapi bencana. Kemajuan teknologi semestinya mampu menjadi pijakan menangani kebencanaan agar semua orang paham dan siap untuk selamat.
Seseorang teman menceritakan, sahabatnya yang memahami adanya gempa bumi itu mengatakan bahwa gempa terjadi karena ada pengeboran minyak. Bumi menjadi lubang besar sehingga terjadilah gempa karena tak lagi seimbang dan banyak lubang di dalamnya.
Ternyata sosialisasi kebencanaan harus terus disebarluaskan. Bangku sekolah saja pun mungkin tak cukup mempelajari kebencanaan tanpa pemahaman perkembang teknologi mendukung mitigasi.
Bencana alam merupakan bentuk dari dampak buruk proses yang terjadi di alam terhadap kehidupan bumi. Orang melihat dan memahami proses alamiah kehidupan bumi sebagai bencana. Beberapa alasan menjadi pembenar karena dipandang merusak tatanan kehidupan manusia yang sedang berlangsung.
Seperti gempa Lombok pada 5 Agustus 2018, mencatat korban meninggal 555 orang. Lalu, gempa-tsunami Palu, Sulawesi Tenggara, terjadi pada 28 September 2018 dengan jumlah korban meninggal 2.256 orang. Semua itu merupakan proses alam. Namun, terkadang manusia menganggap alam tengah murka.
Padahal, manusia berada dalam satu alam dengan segala peristiwanya yang mungkin tak terhindarkan. Dengan segala daya upaya, orang berusaha menghindari dampak buruk dari proses alam yang akan selalu terjadi dengan meningkatkan pemahaman terhadap proses alam dari yang bersifat subyektif-emosional sampai ke tingkat teknik-rasional.
Sekretaris Badan Geologi Antonius Ratdomopurbo, Sabtu (20/10/2018) pekan lalu, menjelaskan, dengan mengambil contoh dalam mitologi Yunani, letusan Gunung Etna di Pulau Sisilia, Italia, dipercaya terjadi karena raksasa typhoon yang bertempat tinggal di bawah gunung tersebut menggeliat. Maka, geliatnya menyebabkan gunung bergerak dan meletus.
Berkat perkembangan ilmu pengetahuan, lanjut Purbo, arah aliran magma basaltik Etna dapat ditelusuri sehingga aliran magma naik ke permukaan pun, peneliti dapat mendeteksi pergerakannya. Orang tidak lagi menghubungkan keberadaan raksasa typhoon, yang muncul dari keterbatasan pemikiran manusia waktu itu, dengan pergerakan magma.
”Apa pun kejadian alam, orang berusaha keras memahami dan mencari tahu sebab musabab, mekanisme, dan dampaknya. Munculnya institut-institut ilmu kebumian di berbagai penjuru dunia juga merupakan bentuk dari upaya manusia dalam mempelajari bagaimana cara menghadapi gejala, perilaku, dan kejadian alam,” kata Purbo.
Melalui ilmu pengetahuan, lanjutnya, orang pun berkembang dapat memahami struktur bumi sampai ke dalam-dalamnya dan dapat menentukan apakah suatu bagian pada struktur bumi itu berwujud padat atau cair beserta sifat-sifat lainnya dan kandungannya. Namun, kejadian alam masih saja selalu dipandang sebagai bencana bagi manusia tanpa ada sisi positif.
Orang tentunya harus melihat bencana alam sebagai ketidaktepatan penyesuaian manusia terhadap dinamika bumi. Banyak orang menempati wilayah yang sangat rawan bencana walaupun banyak wilayah yang lebih aman.
Daerah-daerah yang sering dilanda gempa bumi, terutama pada lingkaran api Pasifik (Ring of Fire), termasuk daerah yang padat penduduk, seperti Jepang, Filipina, Indonesia, dan Amerika.
Akhirnya manusia dihadapkan pada pilihan untuk tetap hidup di daerah rawan bencana alam. Namun, tetap sekaligus mengeluarkan segala upaya untuk meminimalkan dampak bencana alam.
Apalagi di Indonesia, titik rawan gempa bertambah dari 214 titik pada periode (2010-2017) menjadi 295 titik tahun ini. Secara singkat ilmu pengetahuan dan teknologi masih terus dituntut untuk menjawab permasalahan bencana alam, apa pun bencana yang sampai saat ini masih juga terus berlangsung.
Peta dan teknologi
Teknologi telah berkembang begitu pesatnya. Teknologi memberikan sarana yang hebat untuk mempercepat perkembangan ilmu pengetahuan. Begitu pula sejauh mana perkembangan teknologi menyumbang dalam mengembangkan ilmu pengetahuan atau minimal memahami sesuatu, termasuk kebencanaan.
Peta kawasan rawan gempa bumi yang terekam melalui kecanggihan teknologi, seperti citra satelit, menjadi referensi awal dalam tata ruang, terutama penerapan struktur bangunan tahan gempa. Konsep ini mengandung pemahaman, bukan gempa bumi itu sendiri yang menimbulkan malapetaka.
Keadaan tersebut menjadikan manusia ditantang untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan yang rawan gempa bumi guna mengurangi dampak bencananya. Tuntutan tata ruang saat ini merupakan satu-satunya peluang yang ditawarkan alam untuk dikelola secara harmonis sehingga bencana dapat diminimalkan.
Karena gempa bumi bersifat ”tak terprediksi”, usaha mitigasi harus memasuki domain probabilitas. BNPB berupaya secara maksimal menjawab tantangan bagaimana manusia dapat menyesuaikan diri dengan wilayah atau zona-zona rawan bencana, seperti gempa bumi. Jawabnya ada pada InaRISK.
Aplikasi portal berbasis internet yang diluncurkan BNPB pada November 2016 itu memuat data untuk mengidentifikasi risiko bencana di Indonesia. Siapa pun bebas mengunduh. Anda tinggal klik, unduh, dan memilih informasi apa pun terkait rawan kebencanaan. Portal ini mestinya bisa dimanfaatkan pemerintah daerah untuk menentukan kebijakan soal zonasi, terutama permukiman.
Begitu pula, Badan Geologi Kementerian ESDM pun memiliki pemetaan geologi yang lengkap jika semua pemerintah bersama aktif memanfaatkannya. Bencana tidak bisa diprediksi, tetapi juga masih bisa diantisipasi dengan membaca petanya. Basis aplikasi ini dikembangkan lagi pada penanganan gempa Lombok melalui aplikasi inarisk.bnpb.go.id/maptd.
Pengunduh dapat mengetahui mana saja pos pengungsian hingga mana saja rumah rusak dampak gempa Lombok. Lengkap dengan informasi patahan gempa.
Deputi I Pencegahan dan Kesiapsiagaan BNPB B Wisnu Widjaja menjelaskan, identifikasi risiko bencana merupakan langkah awal dari pencegahan bencana. ”Mulai dari data risiko bencana dapat disusun rencana penanggulangan bencana disesuaikan dengan rencana pembangunan, baik nasional, provinsi, kabupaten, maupun kota. Bahkan, data risiko bencana menjadi langkah awal sistem peringatan dini yang sedang dikembangkan BNPB menjadi multihazards early warning system,” kata Wisnu.
Hanya saja, menurut Wisnu, InaRISK belum banyak dimanfaatkan, khususnya pemerintah daerah dalam penyusunan tata ruang. Ia pun menyadari sosialisasi harus terus digencarkan.
Penanganan Gunung Agung, Bali, dan gempa bumi Lombok, Nusa Tenggara Barat, yang belum lama ini terjadi, lanjut Wisnu, mampu menjadi percontohan betapa teknologi sangat membantu dalam penanganan ataupun pengambilan kebijakan.
Aplikasi Qlue, misalnya, berbasis pengambilan foto-foto melalui akses open camera (telepon seluler berbasis Android) yang dipakai BNPB menyusun titik-titik pengungsian. Masyarakat berpartisipasi dan bersama berkirim foto untuk menunjukkan titik-titik korban dan pengungsian. Hal ini efektif terutama untuk distribusi bantuan dan logistik.
”Partisipasi masyarakat ini pertama menggunakan open camera saat BNPB menangani bencana Gunung Agung lalu. Hingga sekarang, warga masih berkomunikasi dan informasi menjadi cepat untuk mengetahui situasi terkini gunung dari berbagai sisi,” kata Wisnu.
Maka, bencana seperti gempa bumi pun sepertinya masih bisa diminimalkan korban jiwa. Tentu saja, jika sejak awal pemahaman mitigasi terus diperluas seluas-luasnya. NTB memasuki tahap membangun kembali mulai 25 Agustus 2018. Begitu pula warga Bali mulai terus berdamai dengan letusan Gunung Agung yang masih bisa muncul setiap saat. Karena kesiapsiagaan hadapi bencana itu tetap berawal dari diri sendiri, keluarga, dan komunitas.