JAKARTA, KOMPAS - Mahkamah Agung membatalkan tiga peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan yang mengatur penjaminan pelayanan katarak, persalinan dengan bayi lahir sehat, dan rehabilitasi medik. Dengan demikian, tidak ada lagi pembatasan manfaat bagi peserta program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat.
Permohonan uji materi terhadap tiga peraturan tersebut diajukan oleh Perhimpunan Dokter Indonesia Bersatu (PDIB) pada Agustus 2018. Perkara tersebut diputuskan majelis hakim yang terdiri dari Irfan Fachruddin, Is Sudaryono, Yulius pada Kamis (18/10/2018). Hingga kemarin salinan putusan lengkap itu belum tersedia di laman Mahkamah Agung (MA).
Ketiga peraturan dimaksud adalah Peraturan Direktur Pelayanan Kesehatan (Perdirjampelkes) BPJS Kesehatan Nomor 2 yang mengatur penjaminan layanan katarak, Nomor 3 yang mengatur penjaminan persalinan dengan bayi baru lahir sehat, dan Nomor 5 tentang penjaminan pelayanan rehabilitasi medik. Ketiganya dinilai oleh PDIB berpotensi merugikan pasien, dokter, juga fasilitas kesehatan.
Sekretaris Umum PDIB yang juga salah seorang pemohon uji materi, Patrianef, Senin (22/10/2018), mengatakan, PDIB tidak melihat cara lain selain menempuh jalur hukum dalam menyikapi polemik lahirnya tiga Perdirjampelkes BPJS Kesehatan tersebut. Meski Dewan Jaminan Sosial Nasional, Kementerian Kesehatan, Ikatan Dokter Indonesia (IDI), DPR, juga sejumlah organisasi profesi kedokteran menolak peraturan itu, BPJS Kesehatan tetap menjalankannya.
Ketiga perdirjampelkes BPJS Kesehatan tersebut, kata Patrianef, mencederai hak peserta JKN untuk mendapatkan pelayanan kesehatan terbaik dan berkualitas. “Tujuan permohonan uji materi itu adalah bagaimana agar tiga perdirjampelkes itu batal secara hukum. Dengan keputusan MA ini ketiga peraturan tersebut otomatis batal. Tidak ada lagi pembatasan manfaat bagi peserta JKN,” ujarnya.
Ketiga perdirjampelkes BPJS Kesehatan tersebut mencederai hak peserta JKN untuk mendapatkan pelayanan kesehatan terbaik dan berkualitas.
Kuasa hukum PDIB, Muhammad Reza Maulana, berargumen, Perdirjampelkes Nomor 2,3, dan 5 bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS, UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, dan Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan.
“Ada hak-hak pasien yang dilanggar oleh peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan BPJS Kesehatan itu,” katanya.
Poin yang menuai protes dalam Perdirjampelkes Nomor 2 tentang Penjaminan Katarak, antara lain, disebutkan bahwa BPJS Kesehatan menjamin pelayanan operasi katarak dengan visus kurang dari 6/18 preoperatif. Pembatasan ini dikhawatirkan membuat penderita katarak semakin banyak.
Dalam hal bayi baru lahir (Perdirjampelkes Nomor 3), meskipun terlahir sehat, setiap bayi perlu mendapat penanganan yang optimal karena berisiko mengalami kesakitan, kecacatan, bahkan kematian. Adapun pembatasan pada rehabilitasi medik (Perdirjampelkes Nomor 5) membuat terapi tidak optimal sehingga merugikan pasien.
"Karena Perdirjampelkes Nomor 2, 3, dan 5 dibatalkan oleh MA maka tidak ada lagi pembatasan manfaat JKN-KIS oleh BPJS Kesehatan. Kondisinya kembali pada aturan semula,” ujar Reza.
Pengendalian biaya
Kepala Humas BPJS Kesehatan Iqbal Anas Ma’ruf, menyatakan, meski belum menerima putusan lengkap permohonan uji materi tiga perdirjampelkes dari MA, BPJS Kesehatan akan menghormati dan mengikuti putusan tersebut.
Dia mengatakan, tiga perdirjampelkes itu terbit sebagai bagian dari upaya pengendalian pembiayaan agar program JKN lebih terjamin keberlanjutannya dan terwujud kendali mutu dan biaya. Sebab, klaim operasi katarak pada 2017 sebanyak Rp 2,65 triliun dari 376.527 kasus. Klaim bayi baru lahir sehat Rp 1,17 triliun karena unit cost bayi baru lahir sehat Rp 3,8 juta atau hampir sama dengan unit cost bayi lahir dengan operasi, yaitu Rp 5,4 juta.
Tiga perdirjampelkes itu terbit sebagai bagian dari upaya pengendalian pembiayaan agar program JKN lebih terjamin keberlanjutannya dan terwujud kendali mutu dan biaya.
Lalu, klaim rehabilitasi medik dan fisioterapi yang sebesar Rp 965 miliar atau sama dengan beban tiga penyakit katastropik, itu merupakan beban yang besar bagi BPJS Kesehatan. Itu sebabnya, jumlah rehabilitasi medik yang diterima pasien dibatasi.
Walaupun upaya pengendalian biaya kesehatan melalui pengaturan jaminan manfaat katarak, persalinan bayi baru lahir sehat, dan rehabilitas medik dibatalkan MA BPJS Kesehatan masih memiliki sejumlah upaya pengendalian lainnya. Satu yang sedang fokus diimplementasikan adalah rujukan daring. Harapannya, ini akan memudahkan pasien dan mengefektifkan pelayanan.
Untuk mengatasi masalah defisit anggaran program JKN, Ketua Umum Pengurus Pusat PDIB, James Allan Rarung, mengusulkan agar dibentuk tim kecil yang independen, terdiri dari para pakar yang bisa merumuskan secara detail langkah-langkah supaya manajemen pembiayaan dan pengelolaannya BPJS Kesehatan tak lagi defisit. Dia juga menyarankan agar BPJS Kesehatan kembali duduk bersama seluruh pemangku kebijakan untuk merumuskan kembali aturan yang tepat dan tidak membuat gejolak baik di lingkungan praktisi kesehatan maupun masyarakat.
“Kami tahu bahwa tindakan efisiensi dan efektivitas dalam pelayanan kesehatan di era JKN ini sangat perlu, dan hal itu memang harus dijalankan oleh BPJS Kesehatan. Akan tetapi, kendali biaya tidaklah boleh mengurangi mutu pelayanan kesehatan bahkan harus ditingkatkan,” ujarnya.