Meniti Siklus Bisnis dan Antisipasi Tata Dunia Baru
Peribahasa mengatakan, tidak ada pesta yang tidak berakhir. Bonanza komoditas Indonesia yang dimulai sekitar 2004 berakhir sekitar 2012 dengan rata-rata pertumbuhan triwulanan 5,8 persen (sudah termasuk 2008-2019 saat terjadi krisis keuangan global).
Gejala ini terlihat dari data makro, seperti pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) dengan rata- rata pertumbuhan triwulanan (year-on-year) selama 2005 sebesar 6 persen, dibandingkan rata-rata 4,3 persen periode 2001-2004. Periode 2014 akhir, sampai triwulan III-2018, perekonomian Indonesia bergerak melawan arah angin (against the wind). Seperti lazimnya dalam konsep Keynesian, untuk mempertahankan momentum pertumbuhan, pemerintah baru mencoba memberlakukan kebijakan kontra-siklikal (counter-cyclical) melalui pengeluaran pemerintah dan penyederhanaan regulasi. Meski terdengar sederhana, implementasi kontra-siklikal ini tidak mudah karena ada beberapa kendala dari dalam negeri maupun luar negeri.
Pertama, mulai masuknya generasi milenial (lahir 1980-an dan 1990-an) sebagai tenaga kerja ataupun konsumen. Generasi milenial punya kegemaran gaya hidup affluent dengan konsumsi barang-barang dan jasa berkualitas tinggi, termasuk melakukan perjalanan, kuliner, dan berbagai hiburan lain. Jika industri dalam negeri tak dapat menghasilkan barang dan jasa sesuai selera mereka, potensi ini akan dipenuhi sebagian besar oleh impor.
Hal yang sama terjadi jika industri barang-barang konsumsi itu, meski diproduksi di dalam negeri, mengandalkan bahan baku, bahan penolong, dan bahan antara impor. Struktur impor tak banyak berubah sejak 2008 hingga kini. Sekitar 75 persen adalah bahan baku, barang penolong, dan barang antara; 10 persen barang konsumsi; dan 15 persen barang modal. Dengan demikian, kebijakan stimulus punya potensi risiko meningkatkan impor yang, kalau tidak diimbangi dengan peningkatan ekspor, berisiko neraca perdagangan berbalik menjadi defisit.
Kendala kedua, perkembangan teknologi yang menghasilkan teknologi (disrupsi) yang menghemat tenaga manusia sehingga setiap kebijakan stimulus ekonomi (pump priming) hanya punya efek pengganda kecil. Untuk itu, kebijakan stimulus ekonomi tersendiri perlu dirancang khusus untuk menghasilkan penciptaan tenaga kerja yang lebih besar, misalnya yang berbasis perdesaan atau sektor jasa publik di perkotaan.
Kendala ketiga, perubahan geopolitik dan aliansi perdagangan dunia sebagai akibat bangkitnya paham neo-proteksionisme yang membuahkan eskalasi perang dagang dunia. Gejala ini sudah terasa setelah muncul pemerintah baru di AS yang mengedepankan kepentingan penciptaan lapangan kerja dalam negeri yang dianggap merosot karena hubungan perdagangan tidak adil antara AS dan mitra. Taktik negosiasi dengan ancaman pengenaan tarif mengubah tatanan perdagangan dunia yang memberikan disrupsi pada rantai pasok yang selama ini ada. Dampak lebih jauh adalah pada pergerakan arus modal portofolio dunia yang mengacaukan negara-negara yang baru bangkit ekonominya (emerging market) dengan hasil akhir yang sulit diprediksi.
Perubahan aliansi perdagangan
Dalam kasus AS-China, kegagalan negosiasi menimbulkan perang tarif di antara kedua negara. Untuk mencapai kesepakatan, gaya negosiasi AS adalah mengancam untuk memperluas cakupan barang ekspor China ke AS yang kena tarif. China membalasnya dengan hal yang sama (tit for tat). Bahkan, selain produk pertanian, China telah mengurangi drastis impor minyak dari AS. Disrupsi pada arus perdagangan dunia yang mengguncangkan rantai pasok ini sebenarnya selain ancaman juga peluang baru untuk membuat rantai yang baru dengan jangkar di Asia yang mungkin akan berkembang menjadi blok tersendiri.
Untuk kasus AS versus Meksiko dan Kanada, AS memperoleh konsesi pada menit-menit terakhir yang diklaim menyelamatkan blok perdagangan Amerika Utara (NAFTA). Dengan Uni Eropa (UE), untuk sementara terjadi gencatan senjata. Dalam perjanjian baru NAFTA, AS dapat konsesi: kendaraan yang diproduksi di AS dan Meksiko harus memiliki minimal 75 persen kandungan lokal dari AS dan/atau Meksiko untuk dapat bebas tarif. Perjanjian ini menjadi tembok penghalang bagi produsen suku cadang Asia untuk memasuki pasar Amerika Utara dan akan mengubah rantai pasok dari industri kendaraan bermotor di Asia.
Jika kendaraan diproduksi di Meksiko, sekitar 40-45 persen suku cadang akan didatangkan dari AS. Jika suku cadang diproduksi di Meksiko, upah pekerja minimal harus 26 dollar AS per jam. Kanada dalam menit-menit terakhir, untuk menghindari risiko terisolasi, akhirnya bergabung dengan pakta baru perdagangan ini. Kanada memberikan konsesi akan membuka 3,5 persen dari pasar produk peternakan untuk produsen AS. Perjanjian NAFTA yang baru yang sekarang disebut USMCA (US Mexico Canada) ini melemahkan harga saham di Jepang sebagai power house industri otomotif dunia.
Yang terjadi berikutnya, euforia bahwa AS akan kembali jadi pusat kekuatan (power house) manufaktur dunia. Harga saham di AS sempat naik tajam, sementara harga saham dan nilai tukar di Asia melemah akibat arus modal portofolio berbalik kembali ke AS. Euforia ini dengan cepat berakhir ketika bank sentral AS menaikkan bunga acuan sehingga balas jasa obligasi pemerintah naik. Pemodal pasar saham menanggapi ini dengan gelisah sehingga dalam waktu singkat indeks Dow Jones kehilangan 1.100 poin, termasuk tertinggi sepanjang sejarah, meski saham utilities, seperti listrik, gas, dan air minum, tetap diminati. Media massa menanggapi ini sebagai sesuatu yang aneh di pasar saham di AS (something is weird with the stock market). Terjadi kebingungan massal di kalangan investor tentang arah investasi. Pasar saham, pasar barang, dan nilai tukar jadi saling terkait sebagai akibat dari timbulnya neo-proteksionisme di AS.
Kinerja ekonomi dalam meniti siklus bisnis
Dalam situasi lingkungan internal dan eksternal seperti itu, strategi pemerintah adalah memberikan stimulus pada perekonomian domestik sekaligus meningkatkan daya saing/kapasitas produksi nasional. Melihat pengalaman krisis di Argentina dan Turki, perekonomian tak dapat dipacu melebihi daya dukungnya. Strategi pertumbuhan tinggi dengan inflasi relatif tinggi seperti terjadi di China tahun 1990-an tidak dapat begitu saja diaplikasikan di negara-negara lain karena sistem pemerintahan yang berbeda.
Dengan melihat kendala nomor satu di atas, sejak triwulan IV-2014 hingga triwulan III-2018 Indonesia menganut strategi steady growth dan low inflation, yaitu pertumbuhan yang terukur, tak usah terlalu tertinggi dengan rata-rata 5 persen/tahun, dibarengi inflasi terkendali di bawah 4 persen/tahun.
Pada tahun 2014 inflasi 8,36 persen, tahun 2015, 2016, dan 2017 turun tajam menjadi 3,35, 3,02, dan 3,61 persen. Untuk 2018 diperkirakan tetap terkendali 3,7 persen hingga akhir tahun meski ada tekanan depresiasi rupiah. Kualitas pertumbuhan jadi tujuan utama dari jalur pertumbuhan-inflasi (growth-inflation path) yang dapat diterjemahkan menjadi pertumbuhan dengan menjaga daya beli, memberikan kesempatan kerja kepada masyarakat, dan memperbaiki pemerataan.
Untuk mencapai tujuan ini, investasi swasta tampaknya tak cukup kuat sendirian melakukan jump start ekonomi. Metode ekonometri sebab-akibat Granger Causality menunjukkan, setelah 2005 pertumbuhan PDB lebih menyebabkan pertumbuhan investasi, terutama untuk mesin dan perlengkapan, daripada sebaliknya. Investasi swasta lebih banyak menunggu peluang usaha yang ditimbulkan pertumbuhan ekonomi ketimbang melakukan inisiatif awal (moving ahead of the curve). Ini menjelaskan mengapa pemerintah mengambil inisiatif memusatkan diri pada pemberian stimulus pada perekonomian lewat pembangunan infrastruktur yang mendorong permintaan masyarakat dan sekaligus menciptakan kapasitas produksi nasional.
Dampak pertama pembangunan infrastruktur adalah perbaikan persepsi dunia tentang iklim usaha secara umum di Indonesia. Pada periode 2015-2018 persepsi ini digambarkan dalam berbagai indikator daya saing. Pada 2017 indeks peringkat kemudahan berusaha melejit dari posisi ke-106 menjadi ke-91, lonjakan 15 anak tangga sehingga Indonesia masuk 10 negara dengan perbaikan tercepat (biggest climber).
Indeks daya saing pada 2017, posisi Indonesia naik dari posisi ke-41 menjadi ke-36. Hasil yang konsisten diperoleh dari survei Indeks Kinerja Logistik (LPI) yang pada 2018 Indonesia berhasil mendaki 17 anak tangga ke peringkat ke-46 dari 160 negara. Salah satu penyebabnya adalah meningkatnya indikator ketepatan waktu (timeliness) yang menduduki peringkat ke-41 dunia. Yang masih jadi pekerjaan rumah adalah indeks kepabeanan yang masih statis di peringkat ke-62. Semua hasil survei itu sangat bermanfaat sebagai alat guna menambah kepercayaan diri untuk melakukan hal-hal yang lebih baik lagi. Beberapa penyelenggaraan perhelatan akbar yang sukses, seperti Asian Games dan pertemuan IMF-Bank Dunia, juga turut memperkuat persepsi bahwa Indonesia aman untuk investasi.
Pembangunan infrastruktur tulang punggung bersama dengan program padat karya dari dana desa, dan pembangunan ekonomi inklusif yang dipelopori BUMN, seperti hutan sosial, BUMDes, balai ekonomi desa yang berorientasi pariwisata inklusif dibarengi bantuan pembiayaan seperti KUR, angka elastisitas tenaga kerja Indonesia telah meningkat dari 0,22 pada paruh akhir dari periode bonanza komoditas (2010-2014) jadi 0,53 pada 2015-2017. Naiknya elastisitas menunjukkan meningkatnya daya serap tenaga kerja. Pada 2015-2017, 1 persen pertumbuhan PDB meningkatkan kesempatan kerja 0,53 persen.
Angka koefisien gini juga turun dari 0,41 di tahun terakhir bonanza komoditas pada 2012 jadi 0,40, 0,391, dan 0,389 pada 2016, 2017, dan 2018. Penurunan ini sebagian karena inflasi terkendali di bawah 4 persen. Pada 2018 BPS mencatat angka kemiskinan adalah yang terendah sejak 1999, yaitu 9,82 persen dari jumlah penduduk.
Setelah 2005-2006, manufaktur tak lagi jadi penggerak utama pertumbuhan. Secara perlahan sektor perdagangan, hotel, dan restoran mulai berbagi peran dengan manufaktur. Selanjutnya peningkatan mobilitas masyarakat antara kota dan desa sebagai akibat kian baiknya konektivitas juga turut menghubungkan perkotaan dan perdesaan dalam suatu aglomerasi kesempatan kerja yang memberikan akses pada penduduk untuk meningkatkan kesejahteraan.
Program-program sosial, seperti sertifikasi tanah, kartu sehat, dan kartu pintar, turut ”memformalkan” masyarakat di sektor informal yang selama ini hidup di luar arus utama daya beli (circular flow of national income). Berkembangnya sektor jasa, terutama perdagangan, hotel, dan restoran di kota-kota menengah, seperti Semarang, Yogyakarta, Palembang, dan Manado, turut memperkuat tren ini.
Menyikapi perubahan tata perdagangan dunia
Dari kacamata ekspor Indonesia, dunia sebelum dan sesudah triwulan IV-2017 sangat berbeda. Perbaikan nilai riil ekspor mulai terlihat di triwulan III-2016 dengan membaiknya pertumbuhan menuju ke positif setelah negatif berturut-turut triwulan I-2015 hingga triwulan II-2016. Momentum pemulihan pertumbuhan ekspor terus berlanjut hingga triwulan IV-2017, tepatnya sampai November. Seperti lazimnya, pertumbuhan impor juga naik mengikuti kebutuhan barang input yang diimpor maupun karena meningkatnya kegiatan ekonomi domestik. Meski demikian, masih terjadi gap sehat antara ekspor dan impor yang mengisyaratkan surplus perdagangan.
November 2017 pasar dunia mulai mencium Trump akan melaksanakan janji kampanye untuk menekan mitra dagang, seperti China, UE, dan juga negara NAFTA, Meksiko dan Kanada, yang dianggap melakukan praktik tak fair dengan ancaman pengenaan tarif (mulai dari baja dan aluminium) untuk dapat konsesi. Ancaman perang dagang ini menimbulkan sentimen negatif di rantai pasok dunia sehingga menurunkan pertumbuhan ekspor Indonesia hingga di bawah pertumbuhan impor. Neraca perdagangan jadi defisit dan memperlebar defisit neraca berjalan ke sekitar 3 persen PDB.
Mulai saat itu rupiah tertekan, baik karena berkurangnya pasokan dollar dalam negeri maupun karena defisit perdagangan menimbulkan tekanan jual bagi saham Indonesia yang dimiliki asing, yang berarti ada arus modal portofolio keluar. Selama 2018 sampai Agustus secara akumulatif neraca perdagangan defisit, meski Maret dan Juni sempat surplus. Juli dan Agustus 2018 neraca dagang defisit berturut-turut. Sumber defisit Juli karena perkakas mesin dan alat mekanis, sementara Agustus adalah migas. Penundaan beberapa proyek infrastruktur dengan kandungan impor tinggi merupakan strategi yang dalam kemiliteran disebut menukar ruang dengan waktu. Perlu pengendali lalu lintas (traffic controller) untuk mengendalikan impor yang dapat dikontrol pemerintah baik langsung maupun lewat BUMN, misalnya migas. Antrean dapat dibuat sehingga impor tak dilakukan bersamaan. Defisit perdagangan sering digunakan sebagai indikator dashboard bagi para pemodal jangka pendek saham di pasar modal untuk menentukan posisi jual atau beli. Hasilnya, neraca perdagangan September 2018 kembali positif meski ekspor turun sebesar 6,5 persen dibandingkan bulan sebelumnya.
Ini pembelajaran kebijakan publik bahwa pembatasan impor secara selektif dapat saja digunakan untuk mengganti pembatasan impor secara yang luas yang punya potensi menghambat industri manufaktur berorientasi ekspor karena mereka butuh barang-barang input berkualitas yang harus diimpor. Depresiasi rupiah sendiri berfungsi sebagai automatic stabilizer yang mengerem pertumbuhan impor. Analoginya seperti mengobati flu, kapan cukup dengan parasetamol dan kapan harus menggunakan antibiotik. Tak boleh lupa juga lama pengobatan dan dosis yang tepat. Kebijakan yang efektif dalam jangka pendek mungkin tak efektif dalam jangka panjang, akan selalu diperlukan review dan feedback loop. Dalam jangka panjang kebijakan pengembangan energi alternatif sebagai pengganti bahan bakar fosil harus terus dikembangkan. Tren di AS menunjukkan penjualan mobil listrik mewah Tesla sudah melebihi Mercedes dan sebentar lagi akan melampaui penjualan BMW. Pergeseran seperti ini sebentar lagi mungkin akan merambat ke Indonesia.
Pelemahan rupiah sejak November 2017 adalah cermin situasi eksternal yang dihadapi Indonesia. Dalam jangka pendek BI menggunakan suku bunga dan cadangan devisanya untuk menegaskan ke pasar, BI siap jaga stabilitas rupiah. Dalam jangka menengah dan panjang, perlu perbaikan struktural perekonomian. Dalam neraca jasa 2017, neraca perjalanan dan neraca pendapatan sekunder masih positif, sekitar 4,2 dan 4,5 miliar dollar AS. Sektor pariwisata dapat meningkatkan wisatawan luar negeri dari segala kelompok pendapatan, lewat diferensiasi harga berdasarkan kualitas pelayanan. Untuk meningkatkan pendapatan sekunder berupa remitans, dalam jangka menengah keterampilan pekerja migran dapat ditingkatkan ke arah profesi formal, seperti juru rawat, juru masak, dan juru las.
Untuk meningkatkan penerimaan devisa bersih dari manufaktur, pekerjaan rumahnya adalah memperbaiki iklim usaha, khususnya bagi produsen skala menengah yang memproduksi bahan baku dan barang-barang antara untuk industri hilir. Tak kalah penting, menarik produsen skala menengah yang memproduksi bahan baku, bahan antara dari luar negeri dengan menggunakan perwakilan Indonesia di luar negeri untuk memberikan informasi pasar dan juga insentif bagi mereka untuk berlokasi di Indonesia. Untuk meningkatkan peranan manufaktur dalam jaringan produksi dan distribusi internasional, biaya logistik harus diturunkan dari 26 persen dari biaya produksi menjadi 16 dan 13 persen seperti di Thailand dan Malaysia. Truk dari pabrik di Jawa Barat ke Tanjung Priok, misalnya, harus dapat melakukan dua kali perjalanan sehari.
Penurunan dwelling time dari 4-6 hari di 2016 menjadi rata-rata 3 hari di 2018 masih dapat diperbaiki lagi jadi misalnya 2,9 hari. Sampai kini baru cabang industri permesinan (ISIC 38) yang didominasi industri mesin dan peralatan listrik dan industri otomotif dan suku cadang kendaraan yang sudah merambah jalur distribusi internasional dengan pangsa 5,35 dan 4,47 persen dari total ekspor non-migas. Dari pangsanya di 2018 industri-industri ini menduduki tempat ketiga dan keempat setelah bahan bakar mineral dan minyak nabati (kelapa sawit).
Persepsi risiko investasi jangka panjang Indonesia masih baik, ditunjukkan oleh currencyt default swap (CDS) yang relatif stabil tak menunjukkan kenaikan berarti, beda dengan ketika rupiah bergejolak di 2015. Penandatanganan 19 proyek infrastruktur pada pertemuan IMF-Bank Dunia di Bali memberikan contoh model penanaman modal asing yang membuka peluang bagi neraca modal untuk bergeser ke arus modal jangka panjang baik dalam penempatan ekuitas maupun surat utang. Dalam jangka panjang neraca modal akan lebih tak rentan terhadap pembalikan arus modal seperti terjadi jika modal portofolio jadi bagian yang dominan dalam pembiayaan defisit neraca berjalan. Hasil akhir adalah rupiah yang lebih stabil dalam jangka panjang.
Ari Kuncoro Guru Besar dan Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia