JAKARTA, KOMPAS- Pemahaman lintas budaya dalam perspektif multikulturalisme menjadi semakin penting dimiliki warga perkotaan seperti Jakarta. Hal ini menyusul relatif semakin terbukanya arus informasi dan relatif mudahnya akses transportasi yang memungkinkan mobilitas orang dari berbagai latar belakang kebudayaan untuk saling berinteraksi.
Model pemahaman ini menuntut adanya penerimaan terkait sejumlah perbedaan yang dimiliki dan pengakuan atas kesetaraan terhadap kondisi yang beragam. Aktivis pendidikan multikultural, Ai Nurhidayat, Senin (22/10/2018) menyebutkan salah satu tantangan terkait pemahaman dalam konteks tersebut adalah kebutuhan terkait proses yang relatif panjang.
Lapisan pertama proses tersebut adalah kesadaran pada berbagai keragaman yang ada. Lapisan selanjutnya terkait dengan penerimaan atas keberagaman tersebut. Barulah di proses berikutnya, interaksi dengan keluaran positif serta produktif bagi masyarakat secara keseluruhan bisa diharapkan.
Ai merupakan Ketua Yayasan Darma Bakti Karya, sebagai penaung SMK Bakti Karya Parigi di Pangandaran, Jawa Barat. Sekolah tersebut mendidik siswa dan siswi dengan berbagai latar belakang budaya dan agama berbeda-beda dari berbagai wilayah di Indonesia dengan beasiswa penuh selama tiga tahun, asrama dan makan gratis, serta bebas biaya tiket pergi pulang.
Menurut Ai yang berpengalaman dalam memberikan pemahaman damai pada sebagian kelompok masyarakat, sejumlah proses lain juga mesti dilalui sebelum kesepakatan ihwal perdamaian dimiliki. Proses ini, imbuhnya, membutuhkan pemahaman detail mengenai masing-masing identitas dan peran sebagai pendamai serta fungsi untuk memahamkan konteks dan sejarah keberadaan masing-masing pihak.
Pada wilayah perkotaan seperti Jakarta, mobilitas antar warga dengan berbagai keragaman juga cenderung akan semakin intensif. Sebelumnya, ekonom demografi yang juga guru besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Prof Aris Ananta PhD menyebutkan bahwa di masa ini dan berikutnya, orang-orang asing dari negara lain akan makin banyak datang ke Indonesia.
Demikian pula dengan mobilitas antarpenduduk di Indonesia, berupa interaksi antar suku-suku dan kelompok etnis yang beragam. Menurut Aris, pola mobilitas non permanen yang terdiri atas mobilitas wira wiri (pola tinggal acak di berbagai kota dengan waktu bebas), musiman (perpindahan ajeg dari satu kota ke kota lain secara mingguan atau bulanan), dan ulang alik (perpindahan ajeg dari satu kota ke kota lain secara harian) akan semakin bertambah.
Pada sisi lain, mobilitas permanen berupa migrasi cenderung akan menurun. Akan tetapi pada saat ini, hal penting untuk melakukan analisis terkait perubahan interaksi penduduk tersebut, berupa data mobilitas non permanen relatif belum dimiliki.
“Kita perlu data mobilitas non permanen, termasuk (mobilitas) wira wiri,” kata Aris saat dihubungi pada Senin (22/10/2018). (INK)