Pemekaran Daerah Berpotensi Memicu Konflik Antaragama dan Etnis
Oleh
ADHI KUSUMAPUTRA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kebijakan pemekaran wilayah yang bertujuan memajukan daerah tertinggal di Indonesia berpotensi memunculkan konflik jika dilakukan tanpa pertimbangan terhadap unsur demografis warga setempat. Kabupaten Mamasa di Sulawesi Barat menjadi wilayah pemekaran daerah yang dinilai rentan disusupi kepentingan politik karena berkaitan dengan permasalahan etnis serta agama yang turut melingkupi.
Hal itu menjadi bahasan dari disertasi milik wartawan Kompas, Mohammad Subhan, pada sidang doktoral berjudul ”Rivalitas Elite dalam Konflik Etno-Religius: Dinamika Konflik Pemekaran Daerah di Mamasa”, di Auditorium Juwono Sudarsono Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Selasa (23/10/2018). Dalam sidang gelar doktor ke-96 Universitas Indonesia itu, pembahasan mengenai pemekaran Kabupaten Mamasa dianggap rentan ditunggangi kepentingan politik.
Dua kubu etnis penduduk, yaitu Mandar dan Toraja Mamasa, terdampak oleh kebijakan pemekaran daerah pada 2002. Perubahan dominasi antaretnis penduduk itu memengaruhi etnis Mandar yang beragama Islam sebagai kaum dominan menjadi minoritas dengan jumlah 20,8 persen. Sementara itu, etnis Toraja Mamasa yang beragama Kristen menjadi lebih dominan sejumlah 72,3 persen setelah pemekaran.
”Dari situ, timbul ketakutan sebagian etnis penduduk yang disulut isu dominasi penduduk beragama Kristen. Hal ini yang rentan dimanfaatkan oleh kepentingan politik di kemudian hari,” ujar Subhan seusai sidang doktoral.
Peneliti pembimbing Iwan Gardono Sudjatmiko, dalam sesi sidang, mengatakan, temuan itu penting untuk dijadikan referensi konflik hubungan antarsuku yang rumit. Hal itu juga menjadi kritik terhadap kebijakan pemerintah yang belum berbasis riset dan melibatkan aspirasi warga.
Ia mengatakan, moratorium pemekaran daerah yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 semestinya melalui kajian lebih lanjut. Sebab, dampaknya dapat berpengaruh terhadap fasilitas sosial yang ada di wilayah pemekaran.
Selain itu, keberadaan kaum minoritas adalah hal yang dinilai khas selalu dibawa dalam kepentingan politik untuk kasus semacam ini. ”Tampak bahwa ketakutan kaum minoritas selalu dibawa oleh kepentingan politik. Hal itu menandakan negara kurang menjamin keamanan warga dalam beragama,” kata Iwan di tengah sesi sidang.
Peneliti senior Centre for Strategic and Internasional Studies, J Kristiadi, yang hadir dalam sidang tersebut menilai penelitian itu turut menggambarkan lanskap politik Indonesia. Menurut dia, kepentingan politik di Indonesia sangat mudah menggunakan simbol serta atribut agama.
”Hal ini karena penggunaan kedua hal tersebut merupakan jalan yang paling mudah untuk menyusupi ranah akal sehat. Melalui kedekatan agama dan ras, orang-orang kerap tidak lagi berpikir soal rasionalitas,” kata Kristiadi.
Ia selanjutnya mengemukakan, penelitian konflik antaretnis dan agama itu menandakan bahwa bukan agama yang menjadi penyebab persoalan, melainkan lebih pada manusia yang berada dalam institusi agama tersebut.
”Dalam politik, nilai-nilai agama semestinya menuntun orang untuk memperkuat sifat amanah, bukan untuk dijadikan kendaraan,” kata Kristiadi. (ADITYA DIVERANTA)