JAKARTA, KOMPAS - Pemerintah tidak ingin tergesa-gesa menyelesaikan pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Pertanahan yang diusulkan Dewan Perwakilan Rakyat. Selain ingin menyatukan suara atau pandangan di internal pemerintah, prinsip kehati-hatian dalam pembahasan juga dilakukan demi menciptakan sebuah regulasi yang adil bagi semua pihak.
Untuk menyatukan pandangan antar kementerian, Selasa (23/10/2018), Presiden Joko Widodo mengumpulkan sejumlah menteri di Istana Kepresidenan Jakarta. Rapat terbatas yang berlangsung tertutup itu dihadiri Menteri Koordinator bidang Perekonomian Darmin Nasution, Menteri Agraria dan Tata Ruang Sofjan Djajlil, Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono, serta Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly.
Seusai rapat, Darmin mengatakan, pandangan kementerian/ lembaga terkait sejumlah materi dalam RUU Pertanahan masih perlu disatukan lagi. "Setelah mendengar semua pandangan dari menteri-menteri terkait, ya memang masih perlu disatukan lagi. Presiden meminta kantor menko (kementerian koordinator) menyelesaikan bersama-sama," katanya.
Saat ini pemerintah dan DPR tengah membahas RUU tentang Pertanahan. Rancangan regulasi itu sebenarnya sudah dibahas pemerintah dan DPR pada periode 2009-2014, tetapi gagal disahkan karena pemerintah tidak satu suara. Karena itu DPR periode 2014-2019 kembali mengusulkan RUU Pertanahan kepada pemerintah pada tahun 2016. Namun hingga kemarin, DPR dan pemerintah belum juga berhasil menyelesaikan pembahasan RUU Pertanahan.
Darmin menjelaskan, persoalan RUU Pertanahan relatif rumit dan kompleks. Pasalnya RUU itu dibahas setelah regulasi sektoral sudah dibuat secara terpisah. "Ceritanya panjang dan ruwet, karena UU kita ini sudah terlanjur sendiri-sendiri," tuturnya.
Basuki membenarkan jika kementerian-kementerian belum satu suara. Menurut dia, ada sejumlah materi atau isu dalam RUU Pertanahan yang masih perlu disinkronkan. "Jadi (pemerintah) belum solid, masih ada komentar-komentar di kementerian-kementerian," katanya.
Pemerintah menyimpulkan, terdapat 10 isu krusial dalam RUU Pertanahan yang masih harus dikaji secara mendalam. Diantaranya sistem pendaftaran lahan tunggal; pengendalian, penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah dan ruang; pembentukan bank tanah untuk kepentingan umum; pelaksanaan reforma agraria; pembentukan pengadilan pertanahan; pendaftaran hak atas ruang di bawah da di atas tanah, serta perairan; dan lainnya.
Wujudkan keadilan
Banyaknya isu-isu krusial yang akan diatur dalam RUU Pertanahan, membuat pemerintah memutuskan untuk tidak tergesa-gesa menyelesaikan pembahasan bersama DPR. Apalagi, RUU Pertanahan dibuat untuk menciptakan keadilan bagi masyarakat. "Pak Presiden bilang tidak perlu tergesa-gesa, karena ini merupakan momentum untuk meningkatkan keadilan," ujar Basuki.
Selain itu penyusunan regulasi pertanahan juga akan dijadikan momentum untuk menyelesaikan konflik lahan karena sampai saat ini sengketa lahan masih banyak terjadi. Menurut Basuki, 67 persen perkara di Mahkamah Agung merupakan konflik lahan.
Sementara secara terpisah, Wakil Ketua Komisi II DPR A Hakam Naja mengatakan, sebenarnya pasal-pasal dalam RUU Pertanahan yang diajukan DPR periode 2014-2019 sama persis dengan isi RUU yang sama yang diusulkan DPR periode sebelumnya. Seluruh fraksi di Komisi II juga sudah memiliki pendapat yang sama soal pasal-pasal dalam RUU Pertanahan. Pembahasan menjadi lambat, karena pemerintah belum satu suara.
"Jadi masih ada ego sektoral di kementerian-kementerian, masing-masing masih ngotot pendapatnya karena memang sudah ada UU sektoral," tuturnya.
Komisi II mengharapkan, pemerintah dapat segera menyamakan pandangan. Sebab DPR menargetkan, Indonesia sudah bisa memiliki UU Pertanahan sebelum masa jabatan DPR berakhir pada September 2019. DPR tidak ingin kegagalan pengesahan RUU Pertanahan pada tahun 2014 kembali terulang.
Jika RUU Pertanahan kembali gagal disahkan, lanjut Hakam, silang sengkarut regulasi yang menyangkut pertanahan akan terus terjadi. Sebab tiap-tiap sektor, seperti kehutanan, pertambangan, perkebunan, memiliki regulasi sendiri. UU Pertanahan itulah yang nantinya mengharmonisasi semua regulasi terkait pertanahan.
Selain itu jika RUU tak selesai dibahas, Indonesia tidak akan memiliki disain besar pengelolaan lahan. Reforma agraria akan sulit terwujud, karena pemerintah tidak memiliki regulasi yang mengatur detail atau teknis untuk melaksanakan ketentuan UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.