TENGGARONG, KOMPAS - Izin-izin usaha pertambangan di Kalimantan Timur, harus serius dievaluasi. Tewasnya Alif (16), korban ke-30 dalam kurun waktu 7 tahun, yang tercebur lubang eks tambang batu bara, harus menjadi musibah terakhir. Perusahaan yang melanggar aturan, harus diberi sanksi tegas, atau dicabut izinnya jika memang harus dilakukan.
Pradarma Rupang, Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim, mengungkapkan hal itu pada Selasa (23/10/2018) di Tenggarong. Pihaknya mendesak dicabutnya Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT TPS, dan perusahaan tersebut mesti menjadi pihak yang paling bertanggung jawab. Gubernur Kaltim Isran Noor juga didesak bergerak.
Alif ditemukan tewas, Senin (22/2018), di lubang bekas tambang konsesi perusahaan itu, di Kabupaten Kutai Kartanegara. Pada siang hari sebelumnya, siswa SMK itu, bersama lima temannya berniat memancing, namun lalu memutuskan berenang. Diduga kram, Alif tenggelam di kolam seluas 1 hektar dan sedalam 7-8 meter itu. Jarak lubang tambang dengan permukiman hanya 50-an meter, padahal mestinya minimal 500 meter.
Rupang menyebut, sanksi berupa pencabutan IUP operasi produksi perpanjangan, bisa dijatuhkan ke PT TPS. Perusahaan ini awalnya diketahui izinnya berakhir April 2016. Namun belakangan diketahui izin sudah diperpanjang, hingga tahun 2027.
“Pihak perusahaan adalah yang paling bertanggung jawab, baik itu yang izinnya masih berlaku, maupun tidak. Tali asih (santunan) jangan sampai menghilangkan tindak pidananya. Tanggung jawab harus sampai di tingkat pengadilan. Karena itu kami mendesak Kapolda Kaltim memproses kasus ini secara professional dan transparan. Selama ini, dari kejadian sejak 2011, kami tak melihat keseriusan dalam tata kelola tambang,” kata Rupang.
Secara terpisah, Kabid Minerba Dinas Pertambangan Kaltim Baihaqi mengakui rumitnya permasalahan ini. Namun ia masih menyimpan optimistis bahwa pasti ada hal yang bisa dilakukan demi tata kelola tambang yang lebih baik. Di Kaltim terdapat 1.400-an IUP.
“Pihak direksi perusahaan itu (PT TPS) sudah bisa kami hubungi. Kami segera bertemu. Kami melihat ada niat baik mereka untuk menghadapi apa yang terjadi. Ada peristiwa ini, tentu mereka harus bertanggung jawab,” kata Baihaqi.
Baihaqi menyebut, dia juga baru tahu perusahaan tersebut sudah memperpanjang izin operasi produksinya tahun 2017 lalu, untuk 10 tahun ke depan, hingga tahun 2027. Awalnya Baihaqi juga mengira izin PT TPS sudah berakhir tahun 2016. Sementara Rupang menyebut, itu berarti ada jeda waktu sebelum perpanjangan izin. Selama jeda, yang sekitar setahun, artinya perusahaan itu tidak berizin,
Menurut Baihaqi, pihaknya akan memastikan dulu apa pelanggaran yang dilakukan PT TPS. Misalnya, jarak lubang tambang dengan permukiman. Saat ini perusahaan itu tidak aktif (tidak menambang). Namun seharusnya PT TPS memasang rambu peringatan, pagar, atau juga menempatkan petugas jaga,” kata Baihaqi.
Sejak pertengahan tahun 2011, hingga sekarang, sudah 30 korban tewas tercebur lubang bekas galian tambang batu bara di Kaltim. Mayoritas adalah usia anak-anak. Dengan kenyataan masih ada ratusan lubang serupa, kondisi ini sangat berbahaya.
Kewenangan soal pertambangan, sejak tahun 2014, diberikan ke tingkat provinsi setelah sebelumnya dipegang kabupaten/kota. Baihaqi menyebut begitu banyak hal, termasuk permasalahan, yang akhirnya ditimpakan ke provinsi.