Tofan (48), warga Desa Samudrajaya, Tarumajaya, Kabupaten Bekasi, sudah mengantre untuk memeriksakan gatal-gatal di sekujur tubuhnya di Puskesmas Kecamatan Tarumajaya sejak pukul 08.30, Senin (22/10/2018). Namun, hingga tiga jam berselang, petugas tak kunjung memanggil namanya.
"Semoga saja sebelum jam 12, saya sudah bisa masuk. Soalnya malas juga kalau harus menunggu lagi, badan saya nanti semakin menjadi gatalnya," ucap bapak dua anak ini.
Bagi Dani (52), warga Tarumajaya, antrean merupakan momok tak berkesudahan di Puskesmas. Ia pun menyiasatinya dengan datang sekitar pukul 11.00, karena biasanya pasien lain sudah pulang. Waktu tunggu pun bisa lebih pendek.
"Kalau dokternya banyak, saya juga yakin orang-orang tidak perlu nunggu sampai 2 jam lewat. Dulu waktu awal-awal kesini, datang pagi pulangnya siang juga. Jadi, saya lebih baik datang agak siang saja," tuturnya.
Selain menambah dokter, kata Yati (33), warga Desa Segarajaya, fasilitas puskemas perlu ditambah dengan alat rontgen. Alat tersebut dibutuhkan agar warga tak perlu dirujuk ke rumah sakit yang jaraknya jauh.
Sumantri, Pelaksana Administrasi Puskesmas Tarumajaya, mengakui kurangnya dokter. Saat ini, hanya ada enam dokter, yaitu empat dokter umum dan dua dokter gigi. Mereka berjaga secara bergiliran. "Pelayanan di puskesmas pun tidak bisa secepat yang diharapkan," ujarnya.
Penambahan dokter diusulkan saban tahun, tetapi belum direspons Dinas Kesehatan. "Penambahan dokter terakhir pada 2011," kata Sumantri.
Sumantri mengatakan, Puskesmas Tarumajaya melayani rata-rata 250 pasien sehari. Itu belum termasuk pasien di Instalasi Gawat Darurat (IGD). Berdasarkan kebutuhan itu, perlu tambahan setidaknya dua dokter.
Keterbatasan dokter juga terasa di wilayah lain. Onah (32), warga Desa Ridogalih, Kecamatan Cibarusah, mengandalkan jasa mantri atau bidan untuk pengobatan. Selain jumlah dokter terbatas, warga segan mendatangi dokter. “Kami takut, takut bayarnya mahal,” ujar Onah.
Kekhawatiran itu juga membuatnya memilih melahirkan di rumah, 15 tahun silam. Persalinan ditangani dukun beranak, namun terjadi permasalahan yang tidak bisa ditangani sehingga mereka harus memanggil bidan. “Sejak itu, saya enggak mau melahirkan lagi. Saya takut,” kata ibu satu anak itu.
Belum imbang
Badan Pusat Statistik mencatat, pada 2015, dari total 23 kecamatan di Kabupaten Bekasi, ada 13 kecamatan yang tak memiliki rumah sakit. Warga mengandalkan puskesmas, posyandu, dan balai kesehatan.
Camat Muaragembong Junaefi mengatakan, di wilayahnya terdapat satu Puskesmas utama dan empat Puskesmas pembantu. Meski demikian, pelayanan pelayanan masih terbatas, antara lain tak bisa melayani rawat inap. Saat harus dirujuk ke rumah sakit, warga yang tengah tak berdaya harus berjuang lebih keras.
"Warga harus pergi ke Cikarang untuk mendapatkan pelayanan di rumah sakit. Untuk menuju ke sana, butuh waktu perjalanan 3-4 jam," ujar Junaefi, kemarin.
Penambahan infrastruktur dan dokter kian mendesak karena kini penduduk Kabupaten Bekasi mencapai 3,5 juta orang. Selayaknya warga Bekasi berhak mendapatkan fasilitas dan pelayanan kesehatan yang mumpuni. (Lorenzo Anugrah Mahardhika)