A Prasetyantoko -- Pengajar di Unika Atma Jaya, Jakarta
·4 menit baca
Beriringan dengan 4 tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla, Kementerian Ketenagakerjaan menetapkan kenaikan Upah Minimum 2019 sebesar 8,03 persen. Proses teknis penentuannya tak sulit karena sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 tentang pengupahan. Intinya, besaran kenaikan upah minimum tahun yang akan datang merupakan penjumlahan (perkiraan) angka inflasi dan pertumbuhan ekonomi di tahun berjalan.
Tahun ini, meskipun dasar hukumnya sudah jelas, aspek politisnya besar karena terkait dengan Pemilihan Umum (Pemilu) legislatif dan presiden. Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mengajukan keberatan dengan kenaikan upah minimum 2019 dan menuntut agar kenaikannya 20-25 persen, berbasis pada survei pasar kebutuhan hidup layak di beberapa kota yang mereka lakukan.
Sementara, dari sisi pengusaha, kenaikan 8 persen dirasakan berat, karena lingkungan bisnis sedang bergejolak. Tekanan terutama dari depresiasi nilai tukar rupiah dan kenaikan harga minyak dunia. Beratnya dunia usaha juga tercermin dari penurunan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia oleh Dana Moneter Internasional (IMF) dari 5,2 persen pada 2018 dan 5,3 persen pada 2019 menjadi 5,1 persen untuk 2018 dan 2019.
Terkait kenaikan upah minimum, pemerintah sebagai pihak ketiga dalam hubungan industrial menekankan peningkatan produktivitas. Jika kenaikan upah minimum tak diimbangi dengan kenaikan produktivitas, maka secara makro akan semakin menekan laju pertumbuhan ekonomi. Sayangnya, dalam banyak kajian di berbagai tempat, kenaikan upah minimum lebih sering tak mampu mendongkrak kinerja dan hanya berfungsi mengejar ketertinggalan kenaikan harga yang bersifat kewajiban. Untuk meningkatkan kinerja, dibutuhkan paket kompensasi di luar upah minimum melalui skenario yang lebih kompleks.
Tantangan Teknologi
Selain problematika teknis dan politis, penetapan upah minimum juga menghadapi tantangan jauh lebih besar yang dampaknya bisa sangat mematikan, yaitu implikasi revolusi teknologi. Dalam kajian sederhana Pusat Kajian Pemberdayaan Masyarakat (PKPM) Unika Atma Jaya pada 2013, banyak pengusaha pakaian jadi dan sepatu tingkat menengah memilih mengganti tenaga kerja dengan mesin ketimbang harus mengikuti kenaikan upah minimum.
Bahkan, relokasi ke provinsi lain yang upah minimumnya lebih rendah tak menjadi pilihan, mengingat penentuan upah minimum sarat dengan proses politik yang serba tak pasti. Sederhananya, bagi pengusaha dengan modal cukup, mengganti tenaga kerja dengan mesin (teknologi) merupakan pilihan strategi terbaik.
Laporan Pembangunan Dunia 2019 terbitan Bank Dunia berjudul “The Changing Nature of Work” mengulas secara komprehensif berbagai tantangan dunia kerja, termasuk di negara berkembang. Seperti ditulis di laporan itu, sebuah perusahaan rintisan di Atlanta (AS) berhasil membuat robot yang mampu menjahit secara otomatis dengan kecepatan tinggi dengan harga yang lebih murah dari tenaga manusia. Majalah Forbes (edisi 22/05/2018) mengulas rencana pabrik sepatu Adidas menggunakan teknologi printer tiga dimensi untuk memproduksi sepatu secara massal. Melalui teknologi itu, konsumen bisa menyesuaikan ukuran dan selera secara personal dalam sistem produksi massal dengan harga lebih murah serta proses produksi relatif cepat. Jika teknologi seperti ini mulai digunakan memproduksi barang secara massal, maka tenaga manusia akan tersingkir di banyak sektor industri.
Adopsi kecerdasan buatan, komputer yang mampu belajar dari data, ketersediaan data raksasa, serta dukungan teknologi yang makin andal, baik di bidang kecepatan internet, teknik penyimpanan awan, maupun integrasi ekosistem melalui internet untuk segala, akan muncul dua tantangan pokok.
Pertama, seperti ditunjukkan dalam riset perusahaan konsultan Deloitte, pada 2030 jenis pekerjaan yang ada sekarang ini ada akan hilang hampir separuhnya, sementara ada beberapa pekerjaan baru yang saat ini belum ada. Kedua, diperlukan keterampilan baru yang harus disiapkam pencari kerja di era-revolusi industri. Riset lain memperkirakan, 40 persen pekerja AS pada 2020 akan bersifat kontrak, akan masuk dalam era-gig economy.
Bayangkan jika negara maju memproduksi barang secara massal, tak ada lagi pesanan dalam jumlah besar jika berinvestasi langsung di bidang itu. Mereka mampu memenuhi sebagian besar kebutuhan produk yang selama ini banyak dipasok negara berkembang akibat pemanfaatan robot. Teknologi akan mengubah rantai pasok industri global, sehingga kita pun harus berbenah.
Tahun ini, pemerintah fokus pada peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Nampaknya, program ini harus dilanjutkan pada 2019, bahkan pada periode kepemimpinan presiden 2019-2024. Kita bisa bersaing jika kualitas SDM memadai dan penguasaan teknologi menjadi salah satu keterampilan dasar yang diperlukan.
Indeks Modal Manusia (HCI) 2018 menunjukkan, Indonesia di peringkat ke-87 dari 157 negara. Artinya, kualitas SDM kita secara umum di bawah rata-rata.
Hingga tahun keempat ini, pemerintah Presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla sudah melakukan banyak hal. Namun, masalah yang muncul dan pekerjaan rumah yang harus diselesaikan ternyata jauh lebih banyak. Jika semuanya dilakukan dengan benar, dampak kemajuan baru benar-benar dirasakan pada beberapa tahun ke depan. Perebutan kekuasaan yang berlebihan, apalagi membabi-buta dalam Pemilu, sama sekali tak ada gunanya, karena hanya akan melumpuhkan kemampuan kita sebagai bangsa menghadapi tantangan masa depan yang luar biasa.