Warga Berkulit Gelap Jadi Target, Operasi Pendatang Gelap di Thailand Dikritik
Oleh
Elok Dyah Messwati
·4 menit baca
Saking banyaknya pendatang gelap, Pemerintah Thailand mulai rajin ”bersih-bersih”. Guna membersihkan para pelanggar visa dan imigran gelap, polisi Thailand menggelar operasi yang disebut ”X-Ray Outlaw Foreigner”. Namun, operasi ini justru menimbulkan pertanyaan terkait profil ras karena yang diburu adalah kebanyakan orang ”berkulit gelap”.
Puluhan juta wisatawan datang ke Thailand setiap tahun. Hal ini karena hidup di Thailand sangat murah. Negara itu juga memiliki pantai yang indah. Bahkan, banyak wisatawan mencari sensasi di industri seks Thailand yang begitu ramai.
Namun, karena penegakan hukum lemah, perbatasan negara yang keropos, dan mental korupsi aparat, Thailand menjadi salah satu pusat kejahatan transnasional. Otoritas Thailand pun mengintensifkan operasi ”X-Ray Outlaw Foreigner” sejak sekitar setahun lalu.
Lebih dari 1.000 warga asing telah ditangkap dalam beberapa pekan terakhir. Sebagian besar orang yang ditangkap terkait visa mereka melewati batas masa tinggal (overstay) atau kedaluwarsa.
Meskipun sebagian besar yang tertangkap adalah migran dari negara-negara tetangga, muncul kekhawatiran operasi itu diarahkan untuk menangkap warga asing berdasarkan warna kulit. ”Tugas kami adalah mengklasifikasikan mereka berkulit gelap yang baik dan mereka yang mungkin melakukan kejahatan,” kata Kepala Biro Imigrasi Thailand Surachate Hakparn.
Surachate mengatakan, operasi itu bertujuan untuk membersihkan para wisatawan yang visanya kedaluwarsa, juga penjahat atau pelaku penipuan dengan kedok asmara yang berusaha memikat warga lokal dan kemudian ditipu atau dimintai uang. Para penipu itu, ujar Surachate, umumnya adalah warga Nigeria atau Uganda.
Target operasi
Pada awal operasi, pada satu malam di Distrik Nana, Bangkok, yang ramai pada awal Oktober ini, sekitar 75 petugas polisi Thailand berdiri dalam barisan untuk mendengarkan pengarahan. ”Target yang mencurigakan adalah orang-orang berkulit gelap. Pertama, kita cari orangnya, lalu kita minta paspor mereka,” kata seorang perwira polisi dalam pengarahan itu.
Para polisi itu pun mulai bergerak dan menghentikan para tersangka, termasuk tiga orang dari Mali yang langsung diuji di tempat untuk membuktikan bahwa mereka bebas narkoba. Pada pukul 23.55, 30 orang, sekitar setengahnya adalah warga berkulit hitam, telah ditangkap. Hanya satu wisatawan dari wilayah Kaukasia, yakni seorang warga Perancis, yang tertangkap karena merokok ganja.
Staf Surachate tidak bersedia memberikan rincian tentang kewarganegaraan para wisatawan atau migran yang telah ditangkap pada malam itu.
Muncul kekhawatiran operasi itu diarahkan untuk menangkap warga asing berdasarkan warna kulit.
Dalam dua minggu pertama Oktober, polisi menangkap seorang warga negara Korea yang dicari Interpol karena melakukan serangan seksual, dan menangkap satu tim yang terdiri atas empat orang Nigeria dan 16 warga Thailand yang diduga terlibat dalam penipuan berkedok asmara. Mereka juga menemukan seorang warga Laos yang visanya telah kedaluwarsa 11 tahun lebih.
Reputasi Thailand sebagai tempat untuk kabur, dikombinasikan dengan aturan visa yang longgar, bisa menjadi masalah bagi penegakan hukum. Otoritas junta militer yang merebut kekuasaan pada tahun 2014 membenarkan bahwa mereka menjanjikan stabilitas di tengah-tengah protes jalanan dan pergolakan politik.
Peringatan aktivis HAM
Namun, kelompok-kelompok penggiat hak asasi manusia memperingatkan bahwa ada pengungsi dan pencari suaka yang transit melalui Bangkok dalam perjalanan ke negara ketiga untuk memperoleh permukiman kembali juga terjerat dalam operasi polisi Thailand karena mereka tidak memiliki perlindungan hukum.
Menurut perkiraan kelompok nirlaba Fortify Rights, ada sekitar 100 orang dewasa dan 30 anak-anak, terutama dari Pakistan, Suriah, dan Somalia. ”Penangkapan oleh imigrasi Thailand juga menimpa pengungsi dan pencari suaka, mereka memasukkan anak-anak muda ke tempat yang buruk, seperti penjara, dan tampaknya operasi itu menarget orang-orang Asia Selatan dan Afrika,” kata Brad Adams, Direktur Asia Human Rights Watch.
Thailand hingga saat ini tidak ikut meratifikasi konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mengakui pengungsi. Thailand juga pernah menjadi berita utama pada 2015 karena mendeportasi lebih dari 100 warga Uighur ke China.
Lebih dari 70 warga Kristen Pakistan ditangkap dan ditahan bulan ini oleh polisi Thailand dengan tuduhan masuk secara ilegal. Visa mereka kedaluwarsa meskipun mereka hanya transit hendak ke negara ketiga. Mereka mengungsi karena menghindari penganiayaan terkait agama di Pakistan.
Namun, pihak berwenang di Thailand tetap tidak menyesali peristiwa penangkapan para pengungsi atau pencari suaka itu. Menurut Surachate, Thailand kini justru menjadi ”rumah” bagi lebih dari 6.000 warga asing yang seharusnya sudah meninggalkan Thailand.
”Untuk membersihkan rumah kami, kami menyambut wisatawan yang baik dan mendeportasi mereka yang ilegal agar Thailand memiliki stabilitas,” kata Surachate. (AFP)