Setelah hampir 40 tahun dunia mengenal HIV/AIDS, kabar memprihatinkan ihwal stigmatisasi masih saja bermunculan. Hari-hari ini, marak pemberitaan tentang pro kontra upaya pengucilan dan pengusiran tiga anak terinfeksi HIV/AIDS dari kawasan Samosir, Sumatera Selatan.
Memprihatinkan, karena ternyata pemahaman sindrom HIV/AIDS belum meluas dan merata. Bisa jadi sikap para ahli menghadapi masalah kesehatan ini di awal-awal kemunculannya—plus amplifikasi media—turut berkontribusi terhadap sikap masyarakat sekarang.
Dalam sejarah kesehatan modern, tidak ada penyakit yang upaya penanggulangannya begitu intensif, dan masif seperti HIV/AIDS. Dalam bukunya The Coming Plague (1995), Laurie Garrett menggambarkan pasien sindrom HIV/AIDS pertama yang datang ke klinik swasta di Los Angeles, Amerika Serikat: kurus kering, mulut berjamur, dan menderita infeksi paru oportunistik yang dikenal sebagai Pneumocystis carinii pneumonia (PCP). Secara paralel, pasien dengan gejala serupa muncul di pelbagai klinik di seluruh dunia.
HIV/AIDS dengan cepat menjalar ke pelbagai negara, benua, dan menjadi pandemi. Hingga 30 tahun setelah diidentifikasi, sindrom ini menyebabkan lebih dari 1 juta orang meninggal akibat HIV/AIDS dan 37 juta orang hidup dengan HIV/AIDS di seluruh dunia. Tidak mengherankan bila dunia mengerahkan seluruh sumber daya dan dananya.
Konferensi AIDS Internasional misalnya, berlangsung setiap tahun dari 1985-1994, sejak Konferensi I di Atlanta, AS, hingga Konferensi X di Yokohama, Jepang. Baru setelah itu, konferensi diselenggarakan setiap dua tahun sekali. PBB pun sejak 1994 membentuk lembaga AIDS (UNAIDS) untuk mempercepat upaya memahami penularan, memutus rantai, sekaligus mengembangkan obatnya. Meski terlambat jauh, Indonesia juga membentuk Komisi Penanggulangan AIDS tahun 2006.
Namun, kekhawatiran menghadapi korban pandemi yang terus meningkat signifikan membuat upaya penanggulangan lebih berfokus pada cara mengobatinya. Baru dua tahun kemudian, Konferensi Internasional AIDS III di Washington DC, AS, aspek sosial budaya mulai mendapat perhatian.
Padahal, HIV/AIDS adalah masalah kesehatan yang muncul karena perilaku sosial. Sindrom ini tidak semudah flu, malaria, atau demam berdarah menular, karena penularannya spesifik melalui cairan tubuh. Penularan terjadi bila ada luka dan terpapar cairan tubuh yang terinfeksi. Dengan demikian, potensi penularan tidak hanya dari hubungan seksual, tetapi juga dari transfusi darah atau dari ibu pada bayi yang dilahirkannya.
Potensi penularan tidak hanya dari hubungan seksual, tetapi juga dari transfusi darah atau dari ibu pada bayi yang dilahirkannya.
Namun, dogma dan norma membuat pengidap HIV/AIDS rentan stigmatisasi. Apalagi, di awal pandemi, penularan lebih banyak terjadi di kalangan homoseksual, baru kemudian merambah perempuan dan anak-anak.
Sebenarnya, HIV/AIDS dapat diatasi sejak diperkenalkannya terapi antiretroviral (ARV) dalam Konferensi AIDS XI di Vancouver, Kanada, 1996. Kasus penularan dan kematian akibat HIV/AIDS pun menurun signifikan di seluruh dunia.
Mungkin karena itu pula, upaya sosialisasi pencegahan HIV/AIDS mengendor. Stigmatisasi jadi marak lagi.