Para penyintas memerlukan pendampingan terus menerus pascabencana. Tak hanya soal hunian layak, tetapi juga bakal hidup seperti apa kelak di kemudian hari.
Usia Syamil Azla baru tiga minggu. Kulitnya masih kemerahan. Balita itu lahir sehari sebelum rumahnya di Petobo dirusak gempa 28 September lalu. Sejak itu, bersama orangtuanya, ia tinggal berdesakan di tenda darurat bersama pengungsi.
Tiga hari pertamanya tidaklah mulus. Syamil hanya mendapat air mineral. Tak ada asupan ASI ibunya, Anita (38), yang masih terguncang. Seminggu lewat, giliran perut Syamil bermasalah. Kepanasan saat siang, diterpa angin dingin malam, perutnya kembung.
Syukurlah, dua hari lalu, Syamil bisa tidur pulas. Panas tenda pengungsian terusir. Orang tuanya dapat jatah hunian sementara (huntara) "Jateng Gayeng" di Petobo, Kota Palu.
Tinggal di Blok 6 No. 30, mereka menghuni ruangan 3 meter x 4 meter. Syaiful (36), ayah Syamil, memodifikasinya dengan menyekat ruang bayi dan dapur. Bahannya sisa material rumah mereka. “Rumah panggung kami tidak roboh. Namun, saat ditinggal mengungsi, banyak material rumah, seng hingga kayu dijarah,” kata Syaiful, Senin (22/10/2018).
Sanawiyah (78), kini juga tak perlu jaket tebal saat malam. Tinggal di Blok 12 No. 63, ia merasa jauh lebih hangat. “Seusia saya tidak mudah tidur berdesakan. Tubuh selalu kesakitan setiap bangun pagi,” kata dia.
Lantainya masih tanah. Namun, di sekelilingnya berparit mencegah genangan. Hanya lansia, ibu hamil, punya balita, dan orang sakit yang diprioritaskan.
Terpaksa kembali
Sebagian penyintas beruntung tinggal di huntara. Namun, ribuan lain tinggal di tenda darurat yang sempit, panas, dan minim sanitasi. Itu mendorong mereka kembali ke reruntuhan rumah perekam luka dan duka.
Nurfiah (43) warga Tondo, Kota Palu, misalnya, kembali ke rumah yang menewaskan keponakannya. Ia tetap memasang tenda di atas reruntuhan. Hanya 100 meter dari pantai, deburan ombak pantai terdengar jelas.
“Tiga minggu tinggal di sana (pengungsian) sungguh tidak nyaman. Lebih baik di sini saja,” kata dia.
Muhammad Yunus (63) warga Dupa, Kota Palu, melakukan hal sama. Bosan berpindah pengungsian dari perbukitan hingga tengah kota, ia pulang. Ia dirikan hunian berdinding dan beratap seng di lahan ia kehilangan cucunya, Rahmah Khoriah (16), akibat tsunami. Di dinding rumah berukuran 3 x 4 meter itu ia tuliskan penyemangat: Badai Pasti Berlalu.
Semangat itu jelas energi Sulteng bangkit. Namun, tanpa bekal mitigasi, kembali ke rumah berisiko mematikan. Pemerintah patut bergerak cepat dengan membangun huntara. Huntara jadi transisi dari tenda pengungsian ke hunian tetap.
Memang, tak semudah membalik telapak tangan. Berlimpah bantuan logistik, rencana pembangunan huntara belum ideal. Tahap pertama dipastikan dibangun 1.200 unit, setara 15.000 bilik. Satu bilik bisa menampung 4-5 orang. Pembangunan ditargetkan rampung dua bulan.
Jumlah itu masih jauh dari cukup. Sebanyak 1.200 unit itu baru menampung 60.000 orang dari total 97.000 pengungsi. Menurut Gubernur Sulteng Longki Djanggola, kebutuhan itu akan dipenuhi secepatnya. Sejumlah pihak sudah berminat, salah satunya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebanyak 1.000 unit.
Revisi tata ruang
Revisi tata ruang kawasan bencana harus segera rampung. Aturan bakal adu kencang dengan warga yang kembali ke rumahnya pascabencana. Direktur Jenderal Tata Ruang di Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Abdul Kamarzuki menargetkan prosesnya selesai setahun.
Sekretaris Daerah Sulteng Muhammad Hidayat Lamakarate berharap, revisi tata ruang membantu pemerintah kota dan kabupaten mengedepankan pemahaman mitigasi bencana saat membangun wilayahnya.
Tantangan diperkirakan tak ringan. Sebagian warga berharap huntara dan revisi tata ruang tak menjauhkan mereka dari pekerjaan. “Seumur hidup, saya hanya bertani. Kalau dipindah, bagaimana hidup nanti setelah semua bantuan berhenti,” kata Samran (40), warga Petobo. Rumah dan sawah 500 meter persegi miliknya hancur.
Hasan (35) warga Lasoani, Kota Palu, juga berharap setelah tinggal di hunian baru tak sulit cari pekerjaan. Penambangan batu Petobo, tempat ia bekerja, hilang akibat likuefaksi. Pendapatan per hari Rp 50.000.
“Belum tahu lagi mau kerja apa. Entah sampai kapan saya harus begini. Saya ingin melupakan ini semua dengan bekerja. Tapi kerja apa?” kata ayah tiga anak itu.